Rasionalisasi Pemberian Albumin Intravena

Oleh :
dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An

Albumin intravena sering diberikan dalam bermacam kondisi klinis dengan tujuan untuk memperbaiki hemodinamik, membantu removal cairan, atau menangani komplikasi dari sirosis. Albumin adalah protein plasma yang memiliki peran penting untuk menjaga tekanan onkotik dan berfungsi sebagai pembawa berbagai molekul penting, termasuk obat-obatan, hormon, dan asam lemak.[1]

Albumin juga merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas yang cukup akurat pada setting kondisi emergensi dan perawatan pasien kritis. Selain itu, albumin merupakan indikator berbagai kegagalan organ terutama fungsi hepar dan ginjal. Pemberian albumin sering kali dilakukan pada kondisi seperti hipovolemia, sepsis, luka bakar, sirosis, atau pada pasien perioperatif. Penggunaan albumin telah diteliti dalam berbagai skenario klinis untuk menentukan manfaat dan risiko terkait terapi ini.[1]

Solution,In,The,Hands,Of,Nurse,Prepared,For,Intravenous,Use.

Sekilas tentang Fungsi Albumin

Albumin adalah protein yang diproduksi di hati dan bertanggung jawab atas 60% dari total protein plasma. Fungsi utamanya adalah menjaga tekanan onkotik koloid darah dan transportasi molekul obat dan hormon. Dalam konteks klinis, albumin digunakan untuk menangani hipoalbuminemia yang disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk sindrom nefrotik, luka bakar, sepsis, dan pasca-operasi besar. Namun, ada risiko terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan, seperti perubahan asam basa tubuh dan reaksi hipersensitivitas.[2]

Albumin dalam Terapi Intensif

Albumin berperan penting dalam menjaga tekanan onkotik plasma dan keseimbangan cairan tubuh. Di ruang perawatan intensif (ICU), larutan albumin 5% sering digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan hipoalbuminemia berat atau pasien yang mengalami syok dan gagal organ multipel. Meskipun albumin dapat membantu dalam mengatasi penurunan tekanan onkotik dan mengembalikan volume intravaskular, studi menunjukkan bahwa manfaat klinisnya dalam konteks ini tidak selalu lebih baik apabila dibandingkan dengan terapi cairan kristaloid atau koloid lainnya.[3]

Beberapa studi menyebutkan bahwa penggunaan albumin tidak secara signifikan mengurangi mortalitas ICU atau lama perawatan ICU dibandingkan dengan alternatif terapi lain. Zdolsek dan Hahn pada tahun 2022 membahas perbedaan kinetika antara albumin 5% dan 20%. Studi ini menemukan bahwa albumin 5% lebih cepat diekskresi melalui urine dibandingkan albumin 20% pada jam pertama setelah infus.[3]

Kedua jenis albumin memberikan ekspansi volume plasma yang bertahan lama, tetapi albumin 20% memiliki efek dehidrasi yang lebih signifikan. Namun, tidak ada perbedaan bermakna pada 5 jam pasca pemberian terapi albumin, yaitu dengan tingkat kebocoran plasma yang sama dan produksi urine yang sama.[3]

Pasien dengan kondisi kritis seperti sepsis sering kali mengalami hipovolemia dan kebocoran kapiler yang signifikan, menyebabkan penurunan kadar albumin. Albumin diberikan untuk memperbaiki volume intravaskular dan stabilitas hemodinamik. Secara keseluruhan, keputusan untuk menggunakan albumin dalam perawatan intensif dan emergensi harus disesuaikan kondisi klinis spesifik pasien, serta mempertimbangkan risiko dan manfaat yang ada.[4,5]

Tinjauan literatur menunjukkan bahwa pada pasien sirosis, rekomendasi penggunaan albumin adalah pada pasien dengan paracentesis lebih dari 5 liter per hari. Namun, untuk pasien rawat jalan dan kondisi lainnya, transfusi albumin dalam bentuk apa pun tidak direkomendasikan. Selanjutnya, pada pasien dengan luka bakar, penggunaan albumin 5% untuk resusitasi dini menunjukkan hasil yang cukup baik, tetapi tidak untuk penggunaan jangka panjang.[6]

Albumin pada Pasien Perioperatif

Pasien perioperatif, terutama yang menjalani operasi besar, sering kali mengalami penurunan kadar albumin plasma akibat respons inflamasi dan kehilangan cairan. Penurunan albumin berhubungan dengan peningkatan risiko komplikasi pasca-operasi dan durasi rawat inap yang lebih lama. Penelitian menunjukkan bahwa infus albumin selama periode perioperatif dapat menurunkan kadar sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, dan IL-6, serta CRP, yang terkait dengan peradangan, sehingga memperbaiki hasil klinis.[7,8]

Studi oleh Ehab Farag dan Zeyd Y. Ebrahim menyoroti penggunaan albumin pada pasien yang menjalani operasi kardiovaskular. Resusitasi dengan albumin membantu meningkatkan stabilitas hemodinamik, memperbaiki perfusi jaringan, dan mengurangi risiko edema paru. Albumin juga dapat mengurangi kebutuhan cairan total pada pasien, sehingga mengurangi risiko komplikasi terkait kelebihan cairan. Namun, efeknya untuk menurunkan angka kematian dan morbiditas jangka panjang pada periode perioperatif masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[9]

Haynes dan Bassiri juga menyatakan bahwa penggunaan albumin 20% dan 25% pada pasien dengan operasi kardiovaskular, terutama pasien “on pump”, tidak disarankan diberikan albumin sebagai flush dan cairan priming alat. Namun, untuk mengurangi kebutuhan cairan dan kejadian asidosis hiperkloremia, penggunaan albumin 20% dan 25% masih ada tempat walaupun tidak direkomendasikan kuat.[6]

Albumin pada Pasien Pediatrik

Pada pasien pediatrik, terutama bayi prematur atau anak-anak dengan penyakit kritis, kadar albumin yang rendah dapat memperburuk kondisi mereka. Penggunaan albumin pada pasien pediatrik harus dilakukan dengan hati-hati karena anak-anak memiliki karakteristik fisiologis yang berbeda dengan orang dewasa.[10]

Albumin biasanya diberikan pada kasus syok, edema berat, dan dehidrasi akut. Studi menunjukkan pemberian albumin dapat membantu memperbaiki hemodinamik dan fungsi organ pada pasien pediatrik kritis terutama pasien dengan kondisi hiperkloremia berat yang masih butuh terapi cairan yang masif.[10]

Hendarto dan Nasar menunjukkan bahwa penggunaan asam amino sebagai sumber energi pada pasien pediatri tidak dikhususkan pada larutan albumin tetapi kepada seluruh bentuk asam amino yang ada. Penggunaan albumin untuk nutrisi parenteral tidak direkomendasikan. Albumin pada pasien dengan nutrisi parenteral hanya diberi sebagai salah satu indikator laboratorium untuk asesmen awal terjadinya malnutrisi dan monitoring pemberian nutrisi parenteral.[11]

Chen, et al. menuliskan bahwa albumin merupakan prediktor mortalitas dan morbiditas pada pasien pediatri sakit kritis, tetapi suplementasi albumin sebagai tindakan gawat darurat ataupun volume expander harus dipertimbangkan secara rasional.[12]

Albumin sebagai Nutrisi Parenteral

Pada pasien yang tidak bisa menerima nutrisi secara oral atau enteral, albumin dapat diberikan sebagai bagian dari nutrisi parenteral. Albumin membantu mempertahankan tekanan onkotik dan mendukung fungsi metabolik pada pasien yang mengalami malnutrisi berat atau tidak dapat menerima makanan dalam jangka panjang. Pemberian albumin dalam konteks ini sering digunakan untuk pasien penyakit gastrointestinal atau pasca-operasi yang mengalami gangguan nutrisi serius.[13]

Hamdan dan Pucket menyatakan bahwa larutan albumin tidak direkomendasikan sebagai bagian dari pedoman standar dalam Total Parenteral Nutrition (TPN). TPN biasanya terdiri dari karbohidrat, protein (dalam bentuk asam amino), lemak, elektrolit, vitamin, dan mineral. Albumin tidak umum dimasukkan dalam TPN kecuali ada indikasi klinis tertentu, seperti hipoproteinemia berat atau kondisi medis yang memerlukan peningkatan kadar protein.[14]

Pertimbangan dalam Memberikan Albumin

Pada beberapa kasus misalnya kasus perioperatif albumin terbukti dapat memberikan manfaat klinis yang signifikan. Namun, untuk kasus sepsis dan kebutuhan cairan yang masif, termasuk memperbaiki hemodinamik dan mengurangi respons inflamasi, albumin pada konsentrasi rendah memiliki efek lebih baik daripada konsentrasi tinggi. Pada kasus lain, penggunaannya masih diperdebatkan, seperti kasus trauma atau pasien dengan kebutuhan cairan minimal, karena biaya yang tinggi dan risiko perburukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan manfaatnya.[15]

Pada semua pasien yang menerima albumin, pemantauan terhadap efek klinis sangat penting untuk memastikan efektivitas terapi dan menghindari efek samping seperti overload cairan. Pemantauan yang ketat membantu meminimalkan risiko komplikasi yang disebabkan oleh pemberian albumin, seperti gagal jantung atau edema paru.[10]

Kesimpulan

Albumin berperan penting dalam menangani berbagai kondisi klinis yang berhubungan dengan hipovolemia, sepsis, dan malnutrisi. Meskipun manfaatnya terlihat jelas pada beberapa kondisi, pemberian albumin harus dilakukan secara selektif berdasarkan indikasi klinis dan penelitian yang tersedia.

Menurut tata laksana terbaru dan bukti klinis yang ada, penggunaan albumin yang lebih rendah risiko adalah sediaan albumin 5% untuk resusitasi. Sementara itu, sediaan albumin 20% dan 25% lebih ditujukan untuk suplementasi albumin pada pasien sirosis yang menjalani paracentesis asites lebih dari 5 liter, pasien operasi kardiovaskular “on pump” yang dalam kondisi hiperkloremia berat yang masih membutuhkan transfusi dan cairan masif, dan pasien pediatrik dengan asidosis hiperkloremia. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk memahami peran albumin dalam kondisi klinis yang lebih luas.

Referensi