Terapi Ensefalopati Hepatikum pada Pasien Dewasa

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Terapi ensefalopati hepatikum perlu dilakukan dengan saksama karena sindrom ini berisiko menimbulkan komplikasi serius, seperti edema otak, kejang, herniasi otak, dan kematian. Ensefalopati hepatikum terjadi pada orang yang menderita gangguan fungsi liver berat atau mengalami portosystemic shunt. Ensefalopati hepatikum disebabkan oleh akumulasi substansi neurotoksik amonia dalam darah.[1]

Ensefalopati hepatikum pada pasien penyakit liver kronis secara klinis reversibel dan dapat ditangani dengan baik. Namun, pada kondisi yang terjadi secara akut, di mana terjadi peningkatan kadar amonia dengan cepat, ensefalopati hepatikum dapat memicu edema otak dan cedera pada struktur batang otak yang bisa berakhir dengan koma.[1]

Doctor,With,Human,Liver,Anatomy,Model.,Liver,Cancer,And,Tumor,

Gejala ensefalopati hepatikum muncul akibat insufisiensi liver atau adanya redirection aliran darah dari liver (portosystemic shunting). Konsensus International Society for Hepatic Encephalopathy and Nitrogen Metabolism mendefinisikan onset overt hepatic encephalopathy sebagai saat munculnya disorientasi atau timbulnya asteriksis.[2]

Ensefalopati hepatikum ditandai perubahan pada fungsi neurokognitif dan gangguan neuromuskular. Gejala bisa berupa kebingungan, perubahan kepribadian, disorientasi, hingga penurunan kesadaran. Tipikalnya, tanda awal meliputi penurunan kewaspadaan terhadap sekitar. Perubahan pola tidur-terjaga sering mendahului perubahan kesadaran atau gejala neuromuskular. Manifestasi neuromuskular meliputi bradikinesia, asteriksis, slurred speech, ataksia, hiperaktif refleks tendon dalam, dan nistagmus.[3,4]

Klasifikasi dan Penilaian Tingkat Keparahan Ensefalopati Hepatikum

Umumnya ensefalopati hepatikum dimasukkan dalam dua kategori, yakni overt (nyata) atau covert (tersembunyi).[3]

Kategori Covert

Kategori covert terdiri dari minimal hepatic encephalopathy dan West Haven grade I. Minimal hepatic encephalopathy tidak menunjukkan tanda nyata disfungsi kognitif tetapi sudah mengalami penurunan kognitif yang terdeteksi melalui pengujian psikometrik. Tes psikometrik yang menjadi standar diagnosis kondisi ini meliputi Repeatable Battery for the Assessment of Neuropsychological Status (RBANS), PSE syndrome test, number connection test atau Reitan test.[3,5,6]

Sementara itu, West Haven grade I meliputi perubahan perilaku (euforia atau ansietas atau iritabilitas), penurunan kewaspadaan, penurunan perhatian, dan perubahan pola tidur-terjaga (siang hari banyak tidur, sebaliknya terjaga pada malam hari).[3-8]

Kategori Overt

Overt hepatic encephalopathy masuk dalam West Haven grade II hingga IV. Grade II menunjukkan letargi atau apatis, kebingungan seperti disorientasi minimal untuk waktu atau tempat, perubahan kepribadian, dyspraxia, dan asteriksis.[3-8]

Grade III menunjukkan kebingungan atau disorientasi yang parah (somnolen, stupor tetapi masih responsif terhadap stimulus verbal), inkoherensi pada ucapan, kelihatan tertidur tetapi mudah terbangun (arousable). Sementara itu, grade IV berakhir dengan koma, tidak responsif terhadap nyeri atau stimulus apa pun.[3-8]

Triase Pasien

Pasien dengan ensefalopati ringan (grade I) dapat ditangani secara rawat jalan di mana pengasuh pasien perlu diberikan edukasi untuk mengenali perburukan gejala dan tanda ensefalopati agar bisa membawa pasien ke rumah sakit jika hal-hal tersebut terjadi.[8]

Keputusan memasukkan pasien untuk rawat inap pada ensefalopati grade II tergantung pada derajat letargi dan kebingungannya atau adanya indikasi ketidakpatuhan terhadap terapi atau pengasuh tidak dapat memonitor pasien dengan baik. Sementara itu, pasien dengan ensefalopati grade III hingga IV harus menjalani rawat inap di rumah sakit, khususnya di ruang perawatan intensif (ICU).[8]

Perawatan Suportif Secara Umum untuk Pasien Ensefalopati Hepatikum

Perawatan suportif pada pasien ensefalopati hepatikum mencakup dukungan nutrisi, menghindari dehidrasi, mengoreksi gangguan elektrolit, dan menyediakan lingkungan perawatan yang tenang dan aman.[3,8]

Tindakan pencegahan jatuh perlu diterapkan bagi pasien yang mengalami disorientasi. Pasien rawat inap dengan ensefalopati mungkin masuk dalam kondisi agitasi. Meski kondisi tersebut dapat pulih seiring pemberian terapi, pasien dapat menjadi sumber bahaya baik bagi dirinya sendiri maupun para caregiver. Penerapan restrain mungkin menjadi opsi yang aman jika dibandingkan dengan pemberian obat sedatif misalnya benzodiazepin. Pasien sirosis dekompensata amat sensitif dengan benzodiazepin karena terjadi peningkatan benzodiazepine receptor ligand pada otak.[8]

Sokongan nutrisi pada pasien ensefalopati hepatikum meliputi asupan energi berkisar dari 35–40 kkal/kg/hari, dengan komposisi protein 1,2–1,5 g/kg berat badan ideal/hari (bisa pula 1 g/kg berat badan aktual/hari).[10-12]

Pasien dengan ensefalopati ringan-moderat (grade I-II) dapat menjalani nutrisi peroral. Namun, bagi pasien ensefalopati berat memerlukan sokongan nutrisi parenteral. Pasien hendaknya diinstruksikan untuk makan sedikit-sedikit sepanjang hari dengan late night snack yang terdiri dari karbohidrat kompleks, guna mencegah puasa yang akan memicu produksi glukosa dari asam amino, dengan hasil akhir peningkatan produksi amonia yang dapat memperburuk ensefalopati.[12]

Terapi untuk Ensefalopati Hepatikum Overt

Terapi akut ensefalopati hepatikum overt diawali dengan identifikasi faktor pemicunya. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor seperti perdarahan gastrointestinal, infeksi (termasuk spontaneous bacterial peritonitis), hipokalemia atau alkalosis metabolik, dan insufisiensi ginjal. Selain itu, faktor pemicu lain dapat berupa hipovolemia, penggunaan sedatif, hipoglikemia, konstipasi, dan adanya oklusi vaskuler. Jika memungkinkan, faktor pemicu dikoreksi secepatnya.[3,7-9,13]

Langkah selanjutnya adalah terapi farmakologi untuk menurunkan konsentrasi amonia. Ada dua terapi utama untuk tujuan ini, yakni pemberian nonabsorbable disaccharide (laktulosa atau lactitol) dan antibiotik (rifaximin). Laktulosa atau lactitol bisa mengubah pH di usus menjadi lebih asam, bisa memodifikasi flora kolon dengan cara mengganti bakteri penghasil urease ke bakteri bukan penghasil urease, dan bisa mengurangi waktu transit di kolon. Semua hal ini bertujuan untuk mengurangi absorpsi amonia di usus.[14,15]

Dosis laktulosa oral yang diberikan adalah 30–45 mL (20–30 gram), 2–4 kali sehari dengan target pencapaian 2–3 kali tinja lunak (bukan diare) dalam sehari. Dosis ekuivalen untuk lactitol adalah 30–60 gram (bubuk) yang dilarutkan dalam 100 ml air, diberikan 2–4 dosis terbagi setiap hari. Preparat enema laktulosa dapat diberikan jika pasien tidak dapat mengonsumsi secara oral. Pemasangan tabung nasogastrik tidak direkomendasikan pada pasien ensefalopati hepatikum.[3,7,8]

Pada pasien yang tidak membaik status mentalnya dalam 48 jam setelah pemberian laktulosa atau lactitol, direkomendasikan untuk menambahkan rifaximin. Rifaximin merupakan antibiotik yang tidak begitu bisa diserap di saluran cerna, sehingga akan terbentuk konsentrasi antibiotik yang tinggi di usus. Hal ini dapat mengurangi produksi amonia melalui eliminasi bakteri penghasil amonia di kolon.[3,7-9,13]

Dosis rifaximin yang dianjurkan adalah 550 mg oral 2 kali sehari. Neomisin, vankomisin, dan metronidazol bisa menjadi alternatif jika rifaximin tidak tersedia. Namun, efikasinya belum terbukti secara konsisten pada studi klinis.[3,7,8]

Pada kondisi kronis, laktulosa atau lactitol disarankan untuk terus diberikan pada pasien yang mengalami ensefalopati rekuren. Selain itu, caregiver tetap perlu memantau faktor pemicu kondisi akut. Jika faktor pemicu telah ditangani tetapi rekurensi tetap terjadi, maka laktulosa atau lactitol dapat dikombinasi dengan rifaximin untuk jangka panjang. Tolerabilitas rifaximin pada pasien ensefalopati hepatikum telah diteliti aman hingga pemberian 24 bulan. Dosis laktulosa dan rifaximin pada kondisi kronis tidak berbeda dengan terapi fase akut.[3,8,14-16]

Terapi untuk Ensefalopati Hepatikum Covert

Pasien-pasien yang termasuk covert ensefalopati hepatikum dapat diberikan terapi laktulosa, tetapi keputusan untuk memulai terapi tersebut tergantung per individu sesuai hasil tes psikometrik dan derajat keparahan ensefalopati terhadap kualitas hidup.[8,9]

Peningkatan kadar serum amonia yang tidak disertai tanda klinis (memenuhi kriteria West Haven) ensefalopati hepatikum bukan menjadi indikasi memulai terapi. Sedapat mungkin, sokongan nutrisi oral dioptimalkan terlebih dahulu pada pasien ini.[8]

Terapi Penyerta untuk Ensefalopati Hepatikum

Ada sejumlah terapi penyerta yang dapat diberikan, meliputi L-ornithine-L-aspartate, branched-chain amino acids, polyethylene glycol, probiotik, flumazenil, dan zinc.[21-28]

L-ornithine-L-aspartate (LOLA)

Oral L-ornithine-L-aspartate (LOLA) menurunkan plasma amonia melalui peningkatan metabolisme amonia menjadi glutamin. Pada kondisi normal, amonia dikeluarkan dari tubuh melalui pembentukan urea di periportal hepatocyte atau melalui sintesis glutamin pada perivenous hepatocyte.[7,8,17]

Namun, pada pasien sirosis, aktivitas carbamoyl phosphate synthetase dan glutamine synthetase (enzim utama pada sintesis urea dan glutamin) mengalami gangguan dan kompensasinya terjadi peningkatan glutaminase flux yang memicu hiperamonia. LOLA berguna sebagai aktivator carbamoyl phosphate synthetase dan ornithine-carbamoyl transferase di periportal hepatocyte.[7,8,17]

Dalam meta analisis terhadap 4 uji klinis pasien dengan overt ensefalopati hepatikum, LOLA terbukti memperbaiki kondisi klinis jika dibandingkan plasebo. Namun, belum banyak data yang membandingkan LOLA dan terapi standar seperti laktulosa.[18,19]

Dalam uji klinis 40 pasien yang menjalani transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS), penggunaan LOLA sebagai profilaksis terbukti aman dan efektif mengurangi peningkatan konsentrasi amonia vena post-prandial. Namun, LOLA tampaknya tidak efektif untuk menurunkan mortalitas pasien ensefalopati hepatikum yang mengalami gagal liver akut.[20,21]

Branched-Chain Amino Acid (BCAA)

Peningkatan rasio plasma aromatic amino acids (AAA) terhadap BCAA pada penyakit sirosis liver berkontribusi untuk ensefalopati. Perubahan tersebut akan meningkatkan kadar prekursor AAA di otak untuk neurotransmitter monoamin dan menyebabkan perubahan eksitabilitas neuron.[8]

Beberapa percobaan klinis dan meta-analisis telah mengevaluasi efikasi infus BCAA dan menemukan bahwa BCAA bermanfaat pada perbaikan klinis ensefalopati tetapi tidak bermanfaat signifikan untuk mengurangi mortalitas.[22]

Percobaan klinis juga menemukan bahwa kombinasi diet protein rendah dan pemberian BCAA oral bisa memperbaiki performa mental pada ensefalopati hepatikum setelah 3 bulan. Namun, percobaan lainnya pada pasien sirosis dengan recurrent hepatic encephalopathy menemukan bahwa BCAA oral tidak bermanfaat signifikan untuk mortalitas pasien. Dengan adanya inkonsistensi bukti klinis, BCAA oral maupun infus belum direkomendasikan pada setiap pasien ensefalopati hepatikum.[3,23]

Polyethylene Glycol

Cairan polyethylene glycol (PEG), suatu cathartic, membantu ensefalopati hepatikum melalui peningkatan ekskresi amonia di tinja. Suatu penelitian membandingkan efikasi PEG dengan laktulosa pada 50 pasien sirosis rawat inap karena ensefalopati hepatikum. Grup intervensi mendapatkan 4 liter PEG dalam 4 jam yang dibandingkan dengan grup kontrol yang diberikan 20–30 gram laktulosa dalam 24 jam.[25]

Setelah 24 jam, pasien di grup PEG menunjukkan perbaikan pada skor algoritme ensefalopati hepatikum (HESA) jika dibandingkan dengan grup laktulosa. Selain itu, waktu rata-rata perbaikan ensefalopati hepatikum lebih singkat pada grup PEG. Hasil meta-analisis di tahun 2021 konsisten menyokong temuan tersebut.[24,25]

Probiotik

Probiotik memiliki potensi penurunan konsentrasi amonia darah melalui peningkatan kolonisasi bakteri acid-resistant yang tidak menghasilkan urease (Lactobacilli dan Bifidobacteria). Suatu tinjauan terhadap 21 percobaan dengan total 1420 pasien yang membandingkan probiotik dan plasebo menyimpulkan bahwa probiotik meningkatkan pemulihan dan mengurangi rekurensi overt ensefalopati hepatikum. Namun, probiotik tidak menunjukkan dampak yang bermakna pada mortalitas.[2,26]

Flumazenil

Flumazenil, antagonis reseptor benzodiazepin, bekerja melalui proses antagonisme dan memicu efek modulasi alosterik negatif pada reseptor benzodiazepin sentral. Tinjauan sistematik terhadap 14 uji acak terkontrol (867 pasien) menunjukkan bahwa flumazenil menghasilkan perbaikan gejala klinis ensefalopati bila dibandingkan plasebo tetapi tidak berdampak pada mortalitas. Flumazenil belum menjadi bagian terapi ensefalopati hepatikum, tetapi bisa dipertimbangkan pada pasien yang sudah mendapatkan terapi benzodiazepin sebelumnya.[7,27]

Zinc

Defisiensi zinc ditemukan pada pasien sirosis dan ensefalopati hepatikum. Zinc penting pada proses detoksifikasi amonia. Defisiensi zinc akan menurunkan aktivitas glutamine synthetase otot, enzim penting yang terlibat pada penurunan kadar serum amonia. Studi menunjukkan adanya perbaikan pada performa number connection test di grup zinc daripada grup plasebo. Namun, tidak ditemukan manfaat oral zinc pada rekurensi ensefalopati hepatikum.[28-30]

Meta-analisis lainnya terhadap 4 penelitian acak (n=247) mengevaluasi dampak zinc yang diberikan dengan laktulosa dalam waktu 3–6 bulan. Studi tersebut menunjukkan bahwa kombinasi zinc plus laktulosa mampu memperbaiki performa number connection test jika dibandingkan pemberian laktulosa saja. Namun, untuk saat ini, suplementasi zinc belum direkomendasikan pada terapi ensefalopati hepatikum karena belum ada data studi dengan jumlah partisipan yang besar.[3,7,31]

Terapi untuk Ensefalopati Hepatikum Refrakter

Pasien ensefalopati hepatikum yang gagal menunjukkan perbaikan dengan terapi standar disebut dengan ensefalopati refrakter. Pasien-pasien ini biasanya mempunyai spontaneous portosystemic shunt (SPSS) yang besar, khususnya splenorenal shunt yang sering mengalami episode ensefalopati secara berulang. Pasien dalam kategori ini bisa menjalani terapi embolisasi.[32-34]

Studi multisenter terhadap 37 pasien yang terdiagnosis ensefalopati hepatikum refrakter dengan SPSS menunjukkan bahwa 18 pasien mengalami bebas episode ensefalopati dalam 2 tahun, demikian pula penurunan pada jumlah rawat inap.[32]

Pada studi retrospektif terhadap 20 pasien yang menjalani embolisasi SPSS, tampak bahwa semua pasien mengalami perbaikan cepat pada hari ke-7 setelah prosedur, dan 67% pasien tersebut menunjukkan bebas episode ensefalopati hingga 1 tahun. Meski demikian, prosedur embolisasi belum menggantikan posisi transplantasi liver sebagai terapi definitif pada komplikasi ensefalopati yang terkait dengan sirosis.[33,34]

Kesimpulan

Terapi ensefalopati hepatikum bermula dari identifikasi faktor pencetus, koreksi faktor pencetus, dan pemberian terapi penurun amonia. Untuk saat ini, terapi standar penurun amonia masih bertumpu pada pemberian non-absorbable disaccharides dengan atau tanpa antibiotik (rifaximin).

Beberapa terapi penyerta yang dipertimbangkan adalah LOLA, BCAA, polyethylene glycol, probiotik, flumazenil, dan zinc. Namun, bukti untuk berbagai terapi penyerta ini masih kurang kuat, terutama dalam hal dampaknya pada mortalitas. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk membuktikan efikasi dan keamanan berbagai terapi ini.

Referensi