Risiko Penggunaan Kanabinoid Sintetik

Oleh :
dr.Adrian Prasetio SpKJ

Penggunaan synthetic cannabinoid atau kanabinoid sintetik berisiko menimbulkan efek psikoaktif yang lebih kuat, sehingga lebih berbahaya dibandingkan dengan kanabis natural.  Namun, kanabinoid sintetik ini kadang dipromosikan sebagai alternatif yang lebih aman daripada ganja.[1-4]

Di Indonesia, kanabinoid sintetik mulai dikenal luas pada tahun 2015 dengan nama tembakau gorila. Sementara itu, kanabinoid sintetik mulai populer pada tahun pada awal 2000 di Eropa dan tahun 2008 di Amerika Serikat dengan merek spice.[1-4]

Risiko Menggunakan Kannabinoid Sintetik-min (1)

Apa Itu Kanabinoid Sintetik?

Kanabinoid sintetik adalah substansi psikoaktif baru (novel psychoactive substances), dengan struktur kimia yang berbeda dengan delta-9-tetrahydrocannabinol (THC). Akan tetapi, kanabinoid sintetik dan THC bekerja sebagai agonis reseptor endocannabinoid CB1 dan CB2.

Paparan kanabinoid sintetik yang berlebihan dalam waktu lama akan menurunkan ekspresi dari CB1, sehingga terjadi efek toleransi dan gejala putus obat jika pemakaiannya dihentikan.[1,2]

Tujuan Kanabinoid Sintetik Dikembangkan

Awalnya, kanabinoid sintetik dikembangkan untuk penelitian medis. Namun, efek psikoaktif yang kuat menyebabkan zat ini perlahan-lahan disalahgunakan. Umumnya, produk-produk kanabinoid sintetik disemprotkan pada material tumbuhan atau dalam bentuk cairan yang bisa dihisap dan diseduh seperti teh. Dewasa ini, kanabinoid sintetik dikenal dengan berbagai nama, seperti black mamba, bliss, fake weed, K-2, spice, skunk, atau tembakau gorila.[3,4]

Cara Kerja Kanabinoid Sintetik

Kanabinoid sintetik memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor endocannabinoid CB1 dan CB2, yang berbeda dengan kanabis natural yang hanya memiliki efek agonis parsial. Ketika reseptor CB1 dan CB2 tereksitasi, maka stimulasi dopamin dan aktivasi G-protein coupled receptors terjadi. Hal ini meningkatkan aktivitas otak, terutama pada pusat rasa senang. 

Diketahui bahwa aktivasi CB1  secara spesifik berperan pada modulasi GABA dan glutamat yang memengaruhi kerja korteks prefrontal, yang akan mengubah aktivitas pusat visual dan auditori sehingga dapat mengganggu persepsi.[1,7] 

Sementara, ikatan zat ini pada CB2 memengaruhi efek adiksi pada penggunanya. Setiap generasi baru kanabinoid sintetik memiliki efek agonis yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, dan lebih tinggi juga daripada THC. Hal ini menyebabkan efek adiktif zat ini menjadi sangat tinggi.[1]

Dalam tubuh, paparan metabolit kanabinoid sintetik dalam waktu lama dapat mengubah struktur neuron, sehingga terjadi disfungsi aktivitas neuronal lewat peningkatan aktivitas inflamasi dan stress oksidatif. Pada tahap selanjutnya, terjadi kerusakan DNA yang masif sehingga sel neuron mengalami kerusakan. Namun, sebenarnya kerusakan tidak hanya terjadi pada sel neuron, tetapi  terjadi juga pada hepatosit, limfosit, dan sistem reproduksi.[1]

Gejala Psikologis Kanabinoid Sintetik

Seiring dengan peningkatan konsumsi cannabinoid sintetik,  terjadi juga peningkatan masalah psikologis pada pengguna zat. Masalah psikologis ini bisa terjadi pada pengguna tanpa riwayat gangguan mental sebelumnya. Efek psikoaktif yang lebih tinggi pada cannabinoid sintetik membuat zat ini jauh lebih mudah menyebabkan rasa senang dibandingkan kanabis natural.

Individu dengan riwayat gangguan mental sebelumnya juga dilaporkan mengalami perburukan gejala setelah menggunakan cannabinoid sintetik, beberapa di antaranya cukup berat hingga membutuhkan intervensi sedasi dan terapi kejut listrik.[1,5]

Kanabinoid Sintetik Eksaserbasi Gangguan Mental

Kanabinoid sintetik berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan mental, seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, dan gangguan mood. Usia onset episode mania berkurang pada penggunaan zat ini, serta berpotensi menyebabkan eksaserbasi gejala depresi. Efek ini diperparah dengan penurunan kualitas tidur dibandingkan dengan kanabis natural. 

Intoksikasi akut dari kanabinoid sintetik membutuhkan pemantauan berkala, karena pasien dapat berperilaku agresif, halusinasi, dan ada percobaan bunuh diri. Risiko ini terjadi hingga beberapa hari pasca pemakaian zat ini.[1,6]

Risiko Psikosis dari Kanabinoid Sintetik

Psikosis pada pemakaian kanabinoid sintetik bisa terjadi pada pemakaian pertama dengan gejala klinis yang sangat bervariasi, baik pada spektrum gejala positif, negatif, dan kognitif. Gejala positif lebih dominan terjadi, yang meliputi peningkatan mood, gangguan persepsi (halusinasi dan ilusi), depersonalisasi, disosiasi, delusi paranoid, agitasi, dan ide bunuh diri. 

Gejala negatif meliputi afek tumpul, retardasi psikomotor, dan penurunan emosi. Psikosis pada pemakaian kanabinoid sintetik umumnya terjadi lebih lama dari onset intoksikasi, dengan didominasi gejala positif dan ide bunuh diri. Pemakaian kanabinoid sintetik pada usia muda berhubungan dengan disfungsi dari korteks prefrontal dan risiko rawat inap yang lebih besar.[1,3]

Gejala Fisik pada Kanabinoid Sintetik

Gejala fisik pada penggunaan kanabinoid sintetik disebabkan oleh efek sitotoksik dan neurotoksik akibat metabolitnya. Disfungsi oksidatif dan inflamasi terjadi secara luas pada berbagai sistem organ tubuh, dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kanabis natural. 

Gejala toksisitas yang muncul adalah depresi napas, perdarahan paru difus, gangguan jantung (infark miokard, pemanjangan interval QT, henti jantung), gangguan pencernaan (hiperemesis), cedera ginjal akut, rabdomiolisis, hipertermia, kejang tonik-klonik, iskemik serebral akut, penurunan kesadaran, delirium, hingga kematian. 

Kanabinoid sintetik juga berpengaruh terhadap sistem reproduksi dengan merusak gonad dan menurunkan kesuburan.[1,2,7]

Meta analisis tahun 2023 menyimpulkan bahwa penggunaan kanabinoid sintetik berbahaya, terutama pada penderita epilepsi dan skizofrenia, karena berpotensi lebih tinggi untuk memicu krisis kejang, penurunan kesadaran, dan perubahan hemodinamik.[10]

Gejala Fisik Putus Kanabinoid Sintetik

Gejala putus zat pada pemakaian kanabinoid sintetik mirip dengan kanabis natural, tetapi dengan onset yang lebih cepat dan gejala yang cenderung lebih berat. Gejala ini bisa terjadi sesaat setelah mengonsumsi zat. Tanda dan gejala yang bisa ditemukan bervariasi dan diduga bergantung pada pemakaian kanabinoid sintetik sehari-hari. 

Umumnya gejala putus obat meliputi craving, nyeri kepala, kecemasan, susah tidur, mual muntah, penurunan nafsu makan, dan diaforesis. Penghentian kanabinoid sintetik secara mendadak berpotensi menyebabkan gejala putus zat yang berat seperti kejang, takikardia, nyeri dada, palpitasi, dan sesak.[2,7]

Penggunaan Kanabinoid Sintetik di Indonesia

Badan Narkotika Nasional mendorong agar kanabinoid sintetik dimasukkan dalam Undang-Undang Narkotika No. 35 tahun 2009. Di Indonesia, kanabinoid sintetik dikenal dengan beberapa nama, yaitu tembakau gorilla, tembakau super, sinte, Hanoman, Natareja, atau Sun Go Kong. 

Sebanyak 30 jenis kanabinoid sintetik sudah teridentifikasi di Indonesia, beberapa di antaranya adalah antara lain JWH-018, XLR-11, 5-fluoro AKB 48, MAM 2201, FUB-144, AB-CHMINACA (gorilla), AB-FUBINACA, dan CB-13.[8,9]

Sejak tahun 2017, tembakau gorilla telah masuk dalam daftar Narkotika Golongan 1, sehingga pengguna dan pengedarnya bisa mendapatkan sanksi pidana sesuai undang-undang terkait. Berdasarkan data survei penyalahgunaan narkoba, pemakaian jenis kanabinoid sintetik berupa tembakau gorila adalah 3,5% dari seluruh pemakaian narkoba pada tahun 2019.[8,9]

Kesimpulan

Kanabinoid sintetik merupakan substansi psikoaktif baru dengan efek yang jauh lebih kuat dibandingkan kanabis natural. Penggunaan kanabinoid sintetik terbukti meningkatkan risiko gangguan psikiatrik, termasuk depresi, kecemasan, psikosis, hingga percobaan bunuh diri. Efek psikoaktifnya lebih cepat dan lebih kuat, sehingga memperburuk kondisi pasien dengan riwayat gangguan mental maupun memicu gejala berat pada individu sehat. 

Selain efek psikiatri, manifestasi fisik akibat toksisitas kanabinoid sintetik juga serius. Kasus yang dilaporkan meliputi gangguan jantung, cedera ginjal, rabdomiolisis, hipertermia, kejang, hingga kematian. Gejala putus zat pun lebih berat dibandingkan ganja natural, sehingga risiko ketergantungan sangat tinggi. 

Di Indonesia, kanabinoid sintetik dikenal dengan berbagai nama seperti tembakau gorila, sinte, atau Hanoman. Sejak 2017, zat ini telah dimasukkan ke dalam Narkotika Golongan I, dan hingga kini lebih dari 30 jenisnya sudah teridentifikasi. Tenaga kesehatan penting untuk mengenali gejala intoksikasi, memberikan edukasi risiko kepada masyarakat, serta mendukung upaya pencegahan penyalahgunaan kanabinoid sintetik.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi