RJP (resusitasi jantung paru) dengan posisi prone dapat dilakukan pada pasien COVID-19. Posisi prone telah dilakukan sebagai terapi pada pasien acute respiratory distress syndrome (ARDS), di mana kasus pertama dilaporkan pada tahun 1976. Saat pandemi COVID-19, posisi prone ini digunakan secara luas untuk pasien yang bernapas spontan hingga pasien yang terpasang ventilasi mekanis. Posisi ini bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi dan memperbaiki fungsi respirasi.[1,2]
Walaupun resusitasi jantung paru paling optimal dilakukan pada posisi supine, secara simultan dengan pemberian ventilasi tekanan positif, tetapi pasien yang mengalami henti jantung henti napas dalam posisi prone apakah perlu diubah menjadi posisi supine saat dilakukan RJP?
Sebenarnya, sebelum masa pandemi ini, pedoman RJP posisi prone sudah dapat terjadi pada pasien intraoperatif atau pasien yang terpasang intubasi di intensive care unit (ICU). Oleh karena itu, praktek RJP pada posisi prone juga harus dapat dikuasai oleh tenaga kesehatan, baik dokter anestesi maupun dokter umum dan perawat yang bertugas di kamar operasi atau ICU.[1,3]
Efektivitas RJP Posisi Prone
American Heart Association guideline pada tahun 2020 menunjukkan bahwa RJP dalam posisi prone tetap memberikan perbaikan bermakna dalam proses sirkulasi jantung paru dan otak pasien cardiopulmonary arrest.[1]
Bhatnagar et al mempelajari berbagai penelitian hingga tahun 2018 untuk mengetahui metodologi dan efikasi pendekatan RJP nonkonvensional, seperti RJP pada posisi prone, lateral, dan pada ruang tertutup. Kesimpulannya adalah belum ada penelitian berkualitas tinggi untuk menentukan efektivitas RJP pada posisi nonkonvensional itu.[1]
Sedangkan analisis sistematis oleh Anez et al tahun 2021 mempelajari 52 studi terkait RJP pada pasien dengan posisi prone. Hasil analisis ini mengonfirmasi bahwa RJP pada posisi prone baik untuk alternatif, karena tindakan RJP dapat segera dilaksanakan dan jalan napas sudah diamankan. Defibrilasi dalam posisi prone juga dimungkinkan.[3]
Saat memindahkan pasien yang telah dalam posisi prone ke posisi supine akan menunda waktu tindakan RJP.[3]
Teknik RJP Posisi Prone
Teknik RJP pada posisi prone memiliki perbedaan posisi dan lokasi kompresi jantung. Sedangkan siklus, kecepatan, dan kedalaman kompresi sama dengan RJP pada posisi supine, yaitu tekan dengan kecepatan 100–120 kali/menit, kedalaman 5–6 cm, tanpa interupsi, dan recoil sempurna pada setiap pijatan.[3,4-6]
Sebelum dilakukan RJP, pasien posisi prone harus pada kondisi flat di atas alas yang keras. Selain itu, tempatkan bantal pasir atau flabot infus 1 L pada bagian sternum atau tengah dada pasien dewasa, atau softbag 500 mL pada pasien anak-anak.[1,7-10]
Lokasi Kompresi Jantung Posisi Prone
Kompresi jantung pasien dewasa dengan posisi prone dapat dilakukan pada dua lokasi, yaitu:
- Spinal dengan meletakkan kedua tangan tertangkup pada vertebra torakal ke-7 hingga ke-9, yang sejajar dengan garis skapula inferior
- Paraspinal dengan meletakkan kedua tangan di kanan dan kiri tulang belakang, dan melakukan kompresi dada sejajar dengan garis skapula inferior[1,5,9,11]
Sedangkan pada pasien anak kecil, kompresi jantung pada posisi prone dapat menggunakan jemari satu tangan pada kolumna vertebra setinggi skapula, dengan kecepatan dan siklus yang sama seperti pada posisi supine.[1,5,9,11]
Defibrilasi Posisi Prone
Tindakan defibrilasi pada posisi prone disarankan menggunakan patch tempel. Penempatan patch dapat dipilih salah satu pendekatan berikut:
- Pendekatan anterior posterior: patch sternum ditempelkan pada linea paravertebral kiri sejajar dengan skapula, sedangkan patch apex pada linea aksila media kiri setinggi vertebra torakal ke-4
- Pendekatan bi-axillary: patch sternum dan apex ditempelkan pada linea aksila media kanan dan kiri setinggi vertebra torakal ke-4 [3, 11]
Pertimbangan RJP pada Posisi Prone atau Supine
Menghadapi pasien henti jantung pada posisi prone, dokter memiliki waktu yang terbatas untuk menentukan apakah pasien harus dikembalikan ke posisi supine sebelum dilakukan RJP, atau langsung melakukan RJP pada posisi prone?[10]
Tidak ada bukti yang jelas mengenai kelebihan dan efektivitas RJP pada posisi prone jika dibandingkan dengan posisi supine. Oleh karena itu, RJP posisi prone dapat dilakukan dengan pertimbangan jika perubahan posisi menjadi supine akan:
- Menyita waktu dan memperlama kondisi hipoksia otak
- Membutuhkan minimal 3−6 orang yang tidak selalu standby
- Membahayakan kondisi pasien, misalnya bila terdapat luka terbuka, C-spine yang tidak stabil, alat yang terpasang di kepala pasien dapat menyebabkan cedera neurologis, atau konstruksi tempat tidur yang kurang aman
- Menyebabkan risiko selang endotrakeal berpindah posisi/tertarik, atau alat monitor terlepas dari pasien/tempatnya[1, 4,5,10]
Namun, keputusan untuk melakukan RJP standar pada posisi supine dapat dilakukan dengan pertimbangan berikut:
- Tenaga kesehatan yang hadir belum terlatih
- Terdapat luka yang cukup luas sehingga menyulitkan kompresi jantung dari belakang
- Penyangga sternum tidak tersedia
- Kemungkinan cedera spinal atau patah tulang rusuk/vertebra [4,12]
Risiko Komplikasi RJP Posisi Prone
Komplikasi tindakan RJP pada posisi prone tidak terlalu berbeda dengan komplikasi RJP posisi supine, yaitu risiko cedera akibat kompresi jantung, cedera mata karena tekanan berat tubuh, dan dislokasi pipa endotrakeal karena tekanan berulang.[3,4-6,12]
RJP Posisi Prone pada Pasien COVID-19 di ICU
Salah satu poin penting dalam perawatan pasien COVID-19 adalah pencegahan transmisi virus ke tenaga kesehatan, termasuk saat RJP pada pasien suspek atau terkonfirmasi COVID-19. Upaya ini dilakukan dengan menggunakan:
- Alat pelindung diri (APD) level 3, termasuk topi bedah, masker N95, baju pelindung medis, sarung tangan lateks, dan perangkat pelindung pernapasan wajah penuh
- Pembatasan tenaga kesehatan dalam 1 waktu jaga di ruang ICU isolasi COVID-19
- HEPA filter (high efficiency particulate air) dan ventilator yang terkoneksi rapat pada mesin dan balon pompa manual
- Penggunaan alat bantu video laringoskop untuk mempersingkat proses aerosolisasi
- Pelaksanaan tindakan medis di dalam ruangan bertekanan negatif
- Pembatasan waktu resusitasi maksimal 30 menit, hal ini karena penelitian menunjukkan bahwa pasien COVID-19 yang telah dirawat >30 hari dan mengalami henti jantung memiliki laju kejadian ROSC (return of spontan circulation) yang rendah[10]
Berdasarkan buku pedoman penatalaksanaan COVID-19 yang diterbitkan oleh lima organisasi profesi pada Februari 2022, posisi prone merupakan pilihan terapi yang direkomendasikan untuk pasien gejala berat dan disertai acute respiratory distress syndrome (ARDS).[2]
Oleh karena itu, RJP posisi prone merupakan pilihan tindakan yang lebih baik daripada posisi supine pada pasien COVID-19 yang telah terpasang ventilasi mekanis dalam posisi prone.[3,6,8,9,12-16]
Efektivitas RJP Posisi Prone pada Pasien COVID-19
Hsu et al pada tahun 2021 melakukan analisis jurnal tersistem, yaitu terdiri dari 2 studi observasional prospektif dan 2 studi simulasi. Dari studi observasional pertama, didapatkan 17 sampel yang meninggal setelah RJP pada posisi supine. Rerata tekanan darah sistolik yang lebih tinggi didapat pada RJP dengan posisi prone daripada supine (72 mmHg vs 48 mmHg, p < 0.005; 79 ± 20 mmHg vs 55 ± 20 mmHg, p = 0.028).[17]
Hal ini berbeda dengan hasil studi simulasi yang melaporkan bahwa terdapat waktu yang lebih cepat untuk defibrilasi pada posisi prone. Selanjutnya, kejadian ROSC, kesintasan atau pemulangan pasien pada 30 hari dilaporkan pada kasus dewasa dan anak-anak dilaporkan lebih baik pada posisi prone dibandingkan dengan posisi supine.[17]
Akan tetapi, bias dari tinjauan sistematis ini tinggi karena jumlah sampel yang sedikit. Hasil yang didapatkan adalah belum ada penelitian yang cukup mendukung keberhasilan dari RJP posisi prone, baik dalam setting intraoperatif, perawatan intensif, kasus COVID-19 maupun kasus yang lain.[17]
Dengan tujuan untuk mengurangi waktu no flow pada sirkulasi darah jantung paru otak dan keterbatasan tenaga kesehatan pada perawatan ICU pasien COVID-19, maka RJP dalam posisi prone dapat menunjukkan hasil yang cukup baik.[3,11,15].
Kesimpulan
RJP atau resusitasi jantung paru pada pasien posisi prone memiliki kelebihan, yaitu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memulai tindakan dan dapat dilakukan dengan tenaga kesehatan yang terbatas. Namun, RJP posisi prone dalam penerapan praktis di lapangan memiliki kekurangan, di antaranya risiko cedera vertebra akibat kompresi jantung, cedera mata karena tekanan berat tubuh, dan dislokasi pipa endotrakeal karena tekanan berulang.
Pada kasus COVID-19 gejala berat yang disertai dengan ARDS dan gagal nafas, pasien diposisikan prone merupakan salah satu pilihan terapi untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi. Hal ini membuat RJP posisi prone merupakan salah satu teknik yang dipertimbangkan untuk dilakukan. Menurut literatur terakhir, RJP posisi prone merupakan pilihan yang aman dan nyaman bagi petugas kesehatan dengan jumlah yang minimal, terutama dalam bangsal perawatan isolasi. Keamanan yang dimaksud adalah meminimalkan penyebaran virus dan produksi aerosol.
Tindakan RJP posisi prone sebenarnya tidak memerlukan pelatihan khusus, karena memiliki karakteristik dan siklus yang sama dengan RJP biasa, hanya lokasi kompresi luar jantung dan letak patch defibrilasi yang perlu penyesuaian.
Sampai saat ini, belum jelas efektivitas tindakan RJP posisi prone. Diperlukan penelitian dengan subjek yang besar untuk dapat menunjukkan luaran yang jelas dari tindakan ini. Sedangkan pedoman AHA 2021 menyebutkan bahwa RJP posisi supine merupakan standar baku dalam penanganan henti jantung pada pasien COVID-19. Namun, harus memiliki jumlah tenaga kesehatan yang cukup untuk dengan aman mengubah posisi pasien dari prone ke supine, dan tidak menunda dimulainya kompresi dada.