Tata laksana epilepsi pada kehamilan meliputi tata laksana dari prakonsepsi hingga kelahiran dengan mempertimbangkan faktor maternal dan faktor janin. Epilepsi pada kehamilan merupakan suatu kondisi yang sangat kompleks. Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi kontrol kejang pada epilepsi dan metabolisme dari obat antiepilepsi. Epilepsi itu sendiri berpotensi untuk menyebabkan komplikasi pada kehamilan baik yang berhubungan dengan kejang, serta efek teratogen obat antiepilepsi.[1]
Permasalahan Tata Laksana Epilepsi dalam Kehamilan
Berbagai hal perlu dipertimbangkan dalam tata laksana epilepsi pada ibu hamil. Kehamilan dilaporkan meningkatkan frekuensi kejang dan mengubah farmakokinetik obat antiepilepsi. Pada janin, kondisi kejang dan penggunaan obat antiepilepsi dikaitkan dengan isu keamanan.
Pengaruh Kehamilan terhadap Frekuensi Kejang pada Epilepsi
Penyebab kehamilan meningkatkan frekuensi kejang pada epilepsi masih belum diketahui dan diduga melibatkan beberapa faktor. Beberapa ahli menyatakan bahwa terdapat sekumpulan perubahan fisiologis, hormonal, dan psikologis selama kehamilan yang dapat menurunkan ambang kejang.
Selain itu, bukan hanya kadar obat antiepilepsi di dalam darah yang lebih rendah karena perubahan farmakokinetik selama kehamilan, tetapi nonkomplians obat juga berkontribusi dalam meningkatkan risiko kejang. Deprivasi tidur dan stress psikososial pada ibu hamil juga diduga memperburuk kontrol kejang.[2]
Pengaruh Kehamilan pada Farmakokinetik Obat Antiepilepsi
Perubahan fisiologis pada kehamilan dapat mempengaruhi farmakokinetik obat antiepilepsi mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme, hingga ekskresi. Pada tahap absorpsi, penurunan keasaman lambung, perubahan kecepatan pengosongan lambung, dan motilitas usus halus dapat menurunkan absorpsi obat antiepilepsi. Hal ini diperberat oleh malaise dan emesis pada wanita hamil.
Dalam hal distribusi, peningkatan volume plasma dan simpanan lemak menyebabkan peningkatan pada volume distribusi. Selain itu, penurunan protein-protein transporter, albumin dan a1-glikoprotein, dapat menyebabkan perubahan konsentrasi total obat antiepilepsi yang berikatan dengan protein. Contoh obat ini adalah phenytoin, stiripentol, dan tiagabin.
Metabolisme obat antiepilepsi dipengaruhi oleh peningkatan kecepatan metabolisme tubuh dan klirens hepatik. Pada ibu hamil, terjadi perubahan metabolisme karena adanya peningkatan aliran darah, peningkatan aktivitas sistem CYP P450, dan uridin glukoronil transferase (UGT) yang dipicu oleh peningkatan hormon estrogen.
Peningkatan aliran darah dan kecepatan filtrasi glomerulus akan meningkatkan ekskresi obat antiepilepsi seperti gabapentin, levetiracetam, pregabalin, dan vigabatrin.[3]
Pengaruh Epilepsi Maternal pada Janin
Beberapa studi menunjukkan bahwa kehamilan pada wanita dengan epilepsi memiliki risiko lebih tinggi terkait komplikasi kehamilan, berat badan lahir bayi yang lebih rendah, dan lingkar kepala yang lebih kecil. Akan tetapi pada usia 2 tahun, parameter-parameter ini dilaporkan akan menjadi normal. Publikasi terkini oleh Artamo et al. menunjukkan bahwa epilepsi pada ibu tidak terlalu banyak mempengaruhi kesehatan neonatus.[4]
Pengaruh Kejang Maternal pada Janin
Kejang fokal, baik parsial, kompleks, mioklonik, atau absans, tidak terbukti menyebabkan luaran buruk pada janin. Tetapi, kejang yang disertai perubahan kesadaran berisiko untuk menyebabkan cedera seperti tenggelam, kecelakaan lalu lintas, atau terjatuh.
Cedera pada abdomen dapat menyebabkan ruptur membran janin, infeksi intrauterin, dan kelahiran prematur. Kejang umum tonik klonik dapat menyebabkan hipoksia dan asidosis pada janin. Pada sebuah studi retrospektif didapatkan bahwa kejang tonik klonik berhubungan dengan kemampuan verbal yang rendah pada anak-anak.[5]
Pengaruh Terapi Obat Antiepilepsi pada Janin
Malformasi kongenital mayor adalah kelainan anatomis bawaan yang mengganggu fungsi dan atau memerlukan pembedahan. Wanita hamil dengan epilepsi tanpa pengobatan memiliki risiko yang tidak berbeda bermakna dengan wanita hamil sehat dalam hal mengalami malformasi kongenital mayor.
Pada wanita hamil yang menjalani terapi antiepilepsi, risiko malformasi ini meningkat. Risiko kehamilan kedua dengan malformasi meningkat jika pada kehamilan pertama terjadi malformasi dan pasien menggunakan obat antiepilepsi yang sama.[5,6]
Pada tinjauan Cochrane, didapatkan bahwa asam valproat memiliki risiko teratogenik paling tinggi dibandingkan dengan obat antiepilepsi lainnya, dan risiko tersebut bersifat dose-dependent. Sedangkan levetiracetam dan lamotrigine memiliki risiko teratogenik yang paling rendah. Obat-obat lain dengan efek teratogenik yang bersifat dose-dependent adalah carbamazepine, fenobarbital, dan lamotrigine.[7,8,13]
Pada studi oleh The American Academy of Neurology and the American Epilepsy Society (AAN/AES), didapatkan bahwa asam valproat memiliki risiko absolut teratogenik sebesar 6-9%, tiga kali lebih besar daripada lamotrigine atau carbamazepine. Pemberian politerapi memiliki risiko teratogenik yang lebih tinggi daripada monoterapi.[6,7,9]
Selain malformasi kongenital, penggunaan obat antiepilepsi juga berisiko menyebabkan gangguan perkembangan dan gangguan kognitif. Studi oleh AAN/AES menunjukkan bahwa fungsi kognitif tidak terpengaruh pada anak-anak dari ibu hamil dengan epilepsi tanpa terapi. Carbamazepine memiliki pengaruh minimal pada fungsi kognitif anak. Asam valproat, phenytoin, atau fenobarbital berpotensi menyebabkan gangguan kognitif. Politerapi obat antiepilepsi memperberat risiko gangguan kognitif dibandingkan pada monoterapi.[8,10]
Penggunaan obat antiepilepsi juga berhubungan dengan terjadinya komplikasi perinatal. Janin yang terpapar obat antiepilepsi in utero berisiko dua kali lipat untuk memiliki berat lahir yang rendah. Selain itu, bayi juga berisiko untuk memiliki nilai APGAR kurang dari 7 pada saat 1 menit kelahiran. Akan tetapi, penggunaan obat antiepilepsi dilaporkan tidak meningkatkan risiko kematian perinatal.[10]
Rekomendasi Tata laksana
Tata laksana epilepsi pada kehamilan dimulai dari masa prakonsepsi hingga saat kehamilan. Konseling memegang peranan khusus agar pasien mengerti risiko dan manfaat sebelum mengambil keputusan.
Prakonsepsi
Pada wanita dengan epilepsi yang mempertimbangkan kehamilan, konseling khusus sebaiknya diberikan. Edukasi perlu diberikan mengenai perubahan kontrol kejang selama kehamilan. Pada wanita yang bebas kejang selama 9 bulan hingga 1 tahun sebelum kehamilan, risiko terjadinya kejang pada saat hamil sangat rendah dan mayoritas tetap bebas kejang selama kehamilan. Pada wanita yang sudah bebas kejang selama 1 tahun sebelum kehamilan dan memilih untuk menghentikan obat antiepilepsinya memiliki risiko sekitar 1/3 mengalami kejang kembali.[4]
Penyuluhan diperlukan terkait penggunaan obat antiepilepsi pada wanita yang merencanakan kehamilan, meliputi berbagai risiko dan keuntungan obat antiepilepsi, serta penyesuaian jenis dan dosis obat bila diperlukan.
Pemberian monoterapi dosis optimal terendah lebih disarankan dibandingkan politerapi karena peningkatan risiko malformasi kongenital. Penyesuaian dosis obat antiepilepsi, terutama asam valproat, lamotrigine, carbamazepine, topiramat, dan fenobarbital dilakukan hingga mencapai dosis optimum terendah dalam mengontrol kejang.
Pengukuran kadar obat antiepilepsi dalam darah juga disarankan untuk dilakukan sebelum kehamilan. Selain itu, jenis obat antiepilepsi dipilih dengan profil risiko malformasi kongenital terendah, dan sangat disarankan untuk menghindari penggunaan asam valproat. Perubahan jenis dan dosis obat dioptimalisasi paling tidak 6 bulan sebelum konsepsi.[4,5,10,11]
Pemberian suplementasi asam folat prakonsepsi juga direkomendasikan untuk pencegahan terjadinya defek tabung saraf janin. Dosis yang disarankan beragam antara 0,4-5 mg. Dosis 0,4mg disarankan untuk wanita dengan epilepsi yang tidak mengkonsumsi obat antiepilepsi selama kehamilan.
Dosis 5 mg direkomendasikan pada wanita dengan epilepsi yang akan mengonsumsi obat antiepilepsi selama kehamilan, wanita dengan epilepsi yang obese, atau memiliki riwayat keluarga dengan malformasi kongenital meskipun tidak mengonsumsi obat antiepilepsi.[5,12]
Pada Saat Kehamilan
Pemberian suplementasi asam folat dilanjutkan seperti dari masa prakonsepsi hingga kelahiran. Hindari perubahan jenis obat antiepilepsi yang digunakan, kecuali pada kondisi kontrol kejang yang memburuk. Hindari pula penghentian obat antiepilepsi seketika karena terdapat risiko kejang berulang.
Jika tersedia, pemeriksaan kadar obat antiepilepsi dalam darah direkomendasikan secara teratur selama kehamilan, terutama pada penggunaan lamotrigine. Pada penggunaan phenytoin atau asam valproat, pemeriksaan yang disarankan meliputi kadar obat total dan obat bebas.[5,11]
Penyesuaian dosis obat perlu dilakukan selama kehamilan. Obat antiepilepsi yang dimetabolisme dengan proses glukoronidasi, seperti lamotrigine, perlu ditingkatkan dosisnya selama kehamilan. Penggunaan obat yang diekskresi melalui ginjal, seperti levetiracetam, juga memerlukan peningkatan dosis. Hal ini juga menekankan pentingnya pemantauan kadar obat dalam darah selama kehamilan sebagai tolak ukur penyesuaian dosis.[3,12]
Konsultasi dan koordinasi dengan spesialis kandungan diperlukan dalam hal pemantauan perkembangan janin dan perencanaan kelahiran. Apabila terdeteksi adanya malformasi pada USG, evaluasi dan konseling perlu dilakukan.
Perlu diingat bahwa kejang yang terjadi selama kehamilan belum tentu merupakan kejang epileptic, tetapi dapat merupakan manifestasi eklampsia atau kejang simtomatik akut lainnya.
Proses persalinan direkomendasikan untuk dilakukan pada sentra dengan fasilitas perawatan intensif untuk neonatus dan ibunya.[5,11]
Postpartum
Pasca kelahiran, jika dosis obat ditingkatkan selama kehamilan, penurunan dosis obat antiepilepsi dilakukan bertahap selama 10 hari pertama hingga dosis yang sedikit lebih tinggi dari dosis pra kehamilan. Hal ini ditujukan untuk mencegah kejang yang disebabkan oleh kelelahan dan deprivasi tidur. Khusus untuk penggunaan lamotrigine, penurunan disarankan lebih cepat untuk menghindari efek samping obat dalam periode postpartum.[6]
Menyusui tetap disarankan untuk dilakukan karena sebagian besar obat antiepilepsi (asam valproat, fenobarbital, phenytoin, dan carbamazepine) dilepaskan ke dalam ASI dalam jumlah minimal. Pengaruh obat yang masuk ke dalam ASI dalam kadar lebih besar, seperti levetiracetam, lamotrigine, topiramat, masih belum banyak diteliti.[6,12]
Kesimpulan
Tata laksana epilepsi pada kehamilan dimulai dari tahap pra konsepsi hingga kelahiran. Penggunaan obat antiepilepsi perlu dilakukan evaluasi menyeluruh. Jenis obat yang dipilih adalah obat dengan risiko teratogenik terendah dan dalam dosis optimal terendah. Monoterapi lebih direkomendasikan daripada politerapi. Obat yang direkomendasikan dengan profil teratogenik terendah adalah lamotrigine dan levetiracetam.