Terapi hiperbarik oksigen untuk tinitus masih menjadi kontroversi. Terapi hiperbarik oksigen diduga dapat berperan meningkatkan aliran oksigen pada telinga dalam, khususnya koklea yang bergantung pada oksigen. Harapannya, terapi ini dapat membantu memperbaiki fungsi pendengaran dan menghilangkan tinitus. Namun, penelitian terkait terapi ini tampaknya menunjukkan terapi ini tidak bermanfaat secara signifikan dalam terapi tinitus.[1,8]
Kondisi Tinitus
Tinitus dideskripsikan sebagai persepsi suara ringing, buzzing, clicking, atau humming pada salah satu atau kedua telinga, tanpa adanya sumber suara eksternal. Tinitus dapat disertai penurunan pendengaran atau tuli.[2-4]
Keluhan ini cukup umum ditemukan, di mana prevalensi mencapai 11,9‒30,3% secara global. Tinitus juga merupakan salah satu gejala yang paling umum ditemukan pada penderita tuli sensorineural akibat acute acoustic trauma (AAT). Keluhan ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, seperti fluktuasi mood dan gangguan tidur.[2-4]
Prognosis Tinitus
Secara umum, keluhan tinitus akan membaik dan menghilang seiring berjalannya waktu. Namun, waktu penyembuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi derajat keparahan tinitus saat awal dan derajat gangguan pendengaran yang menyertai.[6,7]
Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang sudah mengalami perbaikan dalam gangguan pendengaran secara otomatis juga mengalami perbaikan tinitus yang bermakna. Selain itu, pasien yang mengeluhkan tinitus derajat ringan sejak awal akan sembuh lebih cepat daripada pasien dengan tinitus derajat lebih berat.[6,7]
Terapi Hiperbarik Oksigen untuk Tinitus
Berdasarkan American Academy of Otolaryngology, terdapat beberapa rekomendasi tata laksana untuk mengatasi tinitus, yaitu pemberian alat bantu dengar, terapi suara, dan cognitive behavioral therapy (CBT). Salah satu yang masih menjadi kontroversi adalah terapi hiperbarik oksigen.[1,5]
Penelitian Terapi Hiperbarik Oksigen pada Trauma Akustik Akut
Penelitian oleh Holy et al, yang melibatkan 108 pasien AAT di Republik Ceko, meneliti manfaat penambahan terapi hiperbarik oksigen pada pasien trauma akustik akut. Subjek dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima terapi standar (kortikosteroid dan vasodilatory infusion) tanpa terapi hiperbarik oksigen dan kelompok yang menerima terapi standar disertai terapi hiperbarik oksigen.[1]
Terapi hiperbarik oksigen diberikan 10 sesi, pada tekanan 200‒280 kPa, selama 120 menit, sebanyak 1 kali/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan gejala mencapai 82% pada kelompok yang menerima terapi standar dan 77% pada kelompok yang menerima tambahan terapi hiperbarik oksigen. Secara statistik, pemberian terapi hiperbarik oksigen dinilai tidak menghasilkan perbaikan gejala tinitus yang efektif pada pasien trauma akustik akut.[1]
Studi lain oleh Haesendonck et al meneliti tentang terapi hiperbarik oksigen pada pasien dengan keluhan pendengaran pasca trauma ledakan di Antwerp, Belgia. Studi ini melibatkan 56 pasien dengan rerata usia 27 tahun, yang mengalami keluhan pendengaran setelah trauma ledakan. Secara rata-rata, subjek mendapat terapi dalam 4 hari setelah mengalami trauma ledakan.[9]
Seluruh pasien kemudian dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok yang mendapat kortikosteroid dan kelompok yang mendapat kortikosteroid serta terapi hiperbarik oksigen. Terapi hiperbarik oksigen yang digunakan meliputi 10 sesi, dengan durasi 2 jam pada tekanan 2,5 atm. Setelah sesi terapi selesai, kedua kelompok menunjukkan hasil yang signifikan terhadap perbaikan gejala tinitus.[9]
Namun, perubahan skor keparahan tinitus pada saat awal dan akhir terapi dalam kelompok terapi hiperbarik oksigen tidak terlalu banyak berubah. Risiko bias pada studi ini adalah pasien yang tergabung dalam kelompok terapi hiperbarik oksigen memiliki usia yang lebih tua dan keluhan awal yang lebih berat dibandingkan kelompok kortikosteroid.[9]
Penelitian Terapi Hiperbarik Oksigen pada Tuli Sensorineural Mendadak
Sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) adalah penurunan pendengaran >30 dB yang terjadi pada >3 frekuensi audiometri berturut-turut, dalam waktu 3 hari. Keluhan pasien SSNHL biasanya tinnitus, vertigo, telinga terasa penuh, disertai gangguan pendengaran.[8]
Ulasan oleh Olex-Zarychta et al pada tahun 2020 menyatakan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat menjadi pilihan jika dikombinasikan dengan terapi steroid, baik untuk pengobatan awal atau setelah farmakologis tidak berhasil. Namun, terapi oksigen hiperbarik harus diwaspadai risiko efek samping atau komplikasinya.[8]
Ulasan ini juga menunjukkan bahwa terapi hiperbarik oksigen dinilai menguntungkan apabila diberikan dalam 14 hari pertama sejak gejala dialami, dan diberikan sebagai terapi tambahan pada regimen kortikosteroid. Apabila terapi hiperbarik oksigen baru diberikan >1 bulan sejak gejala awal dirasakan, maka manfaatnya tidak lagi bermakna.[8]
Penelitian Terapi Hiperbarik Oksigen pada Tuli Sensorineural Refrakter
Penelitian oleh Sun et al membandingkan efek terapi hiperbarik oksigen dalam perbaikan tinitus, pada 32 pasien tuli sensorineural refrakter. Terapi diberikan selama 90 menit sebanyak 1 kali/hari selama 3 minggu. Setelah 1 bulan pengobatan, pasien dievaluasi ulang menggunakan audiometri nada murni.[4]
Evaluasi akhir mendapatkan perbaikan tinitus, tetapi secara statistik tidak signifikan antara hasil evaluasi sebelum dan sesudah terapi hiperbarik oksigen. Selain itu, didapatkan 5 pasien yang mengalami barotrauma akibat terapi ini. Walaupun barotrauma tersebut hilang secara total setelah 10 hari, peneliti tidak merekomendasikan terapi hiperbarik oksigen untuk penatalaksanaan lini pertama kasus tuli sensorineural.[4]
Risiko Efek Samping dan Komplikasi
Efek samping terapi oksigen hiperbarik terutama karena hiperoksia. Sementara, risiko komplikasi adalah lesi barotrauma (telinga tengah, sinus hidung, telinga bagian dalam, paru-paru, dan gigi), toksisitas oksigen (sistem saraf pusat dan paru-paru), klaustrofobia, dan efek okular (miopia dan pertumbuhan katarak). Reaksi yang tidak diinginkan dapat terjadi selama dan setelah terpapar oksigen 100%.[8]
Kesimpulan
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terapi hiperbarik oksigen tidak efektif dalam pengobatan tinitus. Terapi hiperbarik oksigen dapat diberikan hanya jika didampingi pemberian farmakologi kortikosteroid. Selain tidak memberikan perbedaan yang signifikan dalam perbaikan gejala, terapi hiperbarik oksigen memiliki risiko efek samping dan komplikasi, di antaranya hiperoksia dan barotrauma.
Namun, terapi hiperbarik oksigen dapat dipertimbangkan jika hanya satu-satunya modalitas yang dimiliki. Tampaknya terapi hiperbarik oksigen memberikan keuntungan yang lebih besar pada kelompok pasien yang mengalami gejala tinitus awal lebih ringan, dan mulai menerima terapi hiperbarik oksigen dalam 14 hari sejak onset tinitus.