Teknik Reduksi Tertutup Fraktur
Teknik reduksi tertutup fraktur bertujuan untuk aposisi yang cukup dan kesetaraan (alignment) tulang yang normal. Penyembuhan tulang memerlukan imobilisasi dan kontak antara kedua permukaan yang baik, untuk menghindari malunion atau non-union.[2,5]
Persiapan Pasien
Prinsip utama penatalaksanaan pasien trauma adalah untuk menyelamatkan nyawa, sehingga kondisi kegawat daruratan pasien harus ditangani sebagai prioritas utama. Kondisi airway, breathing dan circulation pasien harus dipertahankan sesuai dengan advanced trauma life support (ATLS).[3]
Semua pasien trauma memerlukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, dan penilaian pergerakan bagian tubuh yang mengalami cedera. Inspeksi dilakukan untuk melihat edema, deformitas, hiperemis, dan penilaian open atau closed fracture. Bagian tubuh yang luka harus di palpasi untuk menilai nyeri terlokalisir dan gangguan vaskular atau saraf perifer.[2]
Untuk penilaian pergerakan pasien, sebaiknya tidak menambah nyeri pasien dengan cara menilai krepitasi tetapi meminta pasien menggerakan ekstremitas secara volunter dan menilai range of motion serta pergerakan abnormal.[2]
Pemeriksaan x-ray harus dilakukan dengan rule of two yaitu dua lapang pandang (view), dua sendi, dua ekstremitas, dua luka, dan dua waktu (occasion).[2]
Tindakan reduksi tertutup dapat dilakukan di IGD, namun pasien harus diberikan sedasi dan pelemas otot terlebih dahulu. Pilihan obat sedasi yang dapat digunakan untuk reduksi adalah propofol, ketamine, midazolam, dan/atau tambahan opioid.[2,10]
Sebelum melakukan tindakan, pastikan untuk menjelaskan kepada pasien mengenai tujuan risiko, dan teknik tindakan. Apabila pasien setuju dan memberikan informed consent, barulah tindakan boleh dilakukan.[2,10]
Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk reduksi tertutup harus disesuaikan dengan metode yang akan digunakan, antara traksi, cast splintage, atau brace fungsional.
Traksi
Traksi manual tidak memerlukan alat selain dari sedasi dan pelemas otot yang sudah dilakukan sebelum memulai tindakan. Traksi gravitasi, kulit atau tulang harus menggunakan alat yang sesuai melalui tiga cara yaitu traksi tetap (fixed traction), traksi dengan penyeimbang (balanced traction), serta traksi kombinasi.
Terdapat berbagai jenis traksi yang dapat digunakan sesuai dengan kasus, contohnya Gallows/Bryant’s Traction, Buck’s Traction, Thomas Splint Traction, Hamilton Russell Traction untuk ekstremitas, dan chin halter straps, halo/brace/vest, Gardner-Wells Tongs untuk traksi servikal.[2,11]
Cast Splintage
Pemasangan bidai atau cast splintage dapat menggunakan berbagai bahan antara lain Plaster of Paris, plaster bandage, dan polymer resin (cotton, fibreglass, atau polypropylene). Pemasangan plaster ini memerlukan alat tambahan yaitu stockinette dan wool untuk melindungi kulit serta rambut, agar tidak melekat ke plaster dan membentuk bantalan.[4]
Brace Fungsional
Brace fungsional menggunakan alat-alat yang sama dengan metode bidai konvensional atau cast splintage, dengan tambahan ‘engsel’ di antara bagian cast yang terbuat dari besi atau plastik.[2]
Posisi Pasien
Saat melakukan reduksi tertutup, posisi pasien harus nyaman dan tenang. Saat melakukan traksi manual, pasien akan diberikan obat sedasi sehingga berada dalam posisi supinasi. Untuk traksi kontinyu, posisi pasien ditentukan oleh alat yang digunakan.[2]
Contohnya saat penggunaan balanced traction, ranjang pasien diposisikan agar bagian kaki elevasi, dan badan pasien berfungsi sebagai counter traction terhadap beban yang dipasang.[2]
Pada penggunaan Gallows/Bryant traction pada anak-anak, paha dan kaki pasien fleksi 90 derajat, terangkat ke arah atas ranjang, dan badan tertidur di ranjang. Demikian posisi pasien harus disesuaikan dengan prosedur dan alat yang digunakan, serta mempertahankan kenyamanan pasien.[11]
Pemasangan bidai bergantung dari fraktur yang dialami pasien. Bila terjadi di ekstremitas bawah, lutut sebaiknya dalam posisi agak fleksi, dan pergelangan kaki posisi 90 derajat (posisi plantigrade) agar pasien dapat berjalan. Untuk ekstremitas atas, posisi bidai tergantung dari variasi sendi yang mengalami fraktur.[11]
Prosedural
Teknik untuk reduksi tertutup memiliki tiga langkah utama yaitu menarik bagian distal ekstremitas sesuai garis tulang, reposisi saat fragmen saling terlepas (berlawanan dari arah tenaga yang menyebabkan fraktur), dan menyesuaikan kesetaraan tulang sesuai garis tulang. Tindakan ini paling baik dilakukan bila terdapat periosteum dan otot di satu sisi fraktur yang utuh, agar ada penahan untuk menghindari reduksi berlebih.[2,9]
Langkah pertama untuk melakukan reduksi tertutup traksi manual adalah untuk menarik bagian distal ekstremitas sesuai dengan garis tulang ekstremitas agar dapat memisahkan tulang dari impaksi. Bila masih terdapat angulasi, dapat menyetarakan garis tulang menggunakan kedua telapak tangan. Melakukan reduksi tertutup harus dengan waspada, karena fragmen yang tajam dapat melukai saraf atau pembuluh darah di sekitarnya.[4]
Hasil reduksi dapat dinilai melalui penampilan ekstremitas, melalui palpasi, tidak adanya telescoping, dan memastikan melalui foto rontgen. Pada fraktur yang sulit untuk direduksi secara manual, contohnya karena tarikan otot yang kuat seperti di femoral atau tibia, beberapa kasus akan memerlukan hold reduction seperti traksi kontinyu, cast atau splint, atau brace fungsional.[4]
Traksi Kontinyu (Continuous Traction)
Traksi digunakan terutama untuk fraktur tulang panjang yang oblique atau spiral dan mudah bergeser akibat kontraksi otot. Traksi dapat menarik tulang panjang dan memisahkan dua fragmen fraktur, tetapi sulit untuk mempertahankan fraktur tetap diam dan reduksi yang akurat.[2]
Penggunaan traksi juga berarti pasien akan memerlukan rawat inap dengan jangka waktu yang lebih panjang. Hal yang baik dari penggunaan traksi adalah bahwa pasien dapat tetap bergerak dan melatih otot. Terdapat tiga jenis traksi yaitu traksi melalui gravitasi, traksi kulit, dan traksi tulang.[2]
Prinsip fungsi traksi ada tiga yaitu traksi tetap, traksi menggunakan penyeimbang dan traksi kombinasi. Traksi tetap (fixed traction) memasangkan tali pemberat ke bagian distal dari splint, contohnya Thomas’ splint yang akan menarik kaki ke arah distal tubuh hingga ujung proksimal splint mencapai pelvis.[2]
Traksi dengan penyeimbang (balanced traction) menggunakan tali dan katrol yang disambungkan ke pemberat. Traksi kombinasi adalah apabila menggunakan Thomas’ splint namun ujung splint menggunakan suspensi katrol seperti di balanced traction.[2]
Traksi Gravitasi:
Traksi menggunakan gravitasi hanya dapat digunakan untuk ekstremitas atas. Contohnya pada fraktur humerus, dimana berat dari lengan bawah dan sling di pergelangan tangan dapat memberikan traksi secara kontinu.[2,7]
Traksi Kulit:
Traksi kulit hanya dapat menahan tarikan seberat 4-5 kilogram. Indikasi untuk traksi kulit adalah untuk fraktur atau dislokasi yang memerlukan tenaga moderat jangka pendek; lebih baik digunakan pada anak-anak yang penyembuhan tulang relatif lebih cepat dibandingkan dewasa. Untuk pasien dewasa, traksi kulit terkadang digunakan sebagai tindakan sementara sebelum yang lebih definitif seperti traksi tulang atau reduksi terbuka.[2,7]
Traksi Tulang:
Traksi tulang menggunakan alat wire atau pin yang di implantasi di tulang, kemudian diikat ke sambungan pemberat. Traksi tulang dapat menahan beban hingga 9-14 kilogram, dan jangka waktu hingga 3–4 bulan jika diperlukan. Alat ini dapat menarik secara longitudinal juga mengontrol arah rotasi tulang.
Traksi tulang baik digunakan untuk fraktur yang tidak stabil atau berfragmen dan di fraktur yang perlu melawan kekuatan otot, seperti pada fraktur femoral.[2,7]
Cast Splintage
Cast splintage atau dalam kata lain pemasangan gips, plaster, atau bidai adalah sebuah prosedur untuk mempertahankan fraktur yang sudah direposisi agar tidak berubah. Demikian, cast splintage adalah sebuah prosedur yang dapat digunakan setelah melakukan reduksi melalui traksi manual maupun traksi kontinyu.[2,4]
Pemasangan bidai menggunakan plaster dilakukan setelah reduksi tertutup. Ekstremitas akan dipasangkan stockinette dan wool terlebih dulu, baru lapisan terakhir adalah plaster.[2,4]
Plaster yang digunakan dibasahi terlebih dahulu menggunakan air, kemudian dipasang ke ekstremitas. Saat plaster belum kaku, pelaksana akan membentuk plaster sesuai tonjolan tulang dan tekanan yang cukup untuk mempertahankan bentuk reduksi. Untuk mengontrol rotasi, plaster harus mencakup sendi di atas dan di bawah fraktur.[2,4]
Hal yang harus diwaspadai adalah pembengkakan bila fraktur masih baru, sehingga ada kemungkinan plaster cast menjadi longgar setelah edema mereda. Terlebih lagi, pemasangan bidai harus terus dipantau dengan rontgen secara berkala untuk menyesuaikan bila diperlukan koreksi yang lebih tepat.[2,4]
Brace Fungsional
Pemasangan brace fungsional dilakukan setelah pemasangan cast splintage konvensional atau traksi, dan tulang sudah pada tahap awal penyembuhan dimana tulang dapat deformitas tetapi tidak bergeser/displacement.[2]
Brace fungsional adalah penggunaan plaster atau bidai pada pasien yang hanya menutupi bagian shaft dari tulang dan menghindari persendian. Penggunaan metode ini dapat memberikan kelonggaran untuk bergerak bagi pasien, sehingga kekakuan pada sendi tidak terjadi.[2,4]
Alat ini seringkali digunakan untuk fraktur tibia atau femoral. Namun, tekanan dan kekuatan pada brace fungsional kurang, sehingga seringkali hanya digunakan bila penyembuhan tulang sudah mulai terjadi (sekitar 3‒6 minggu setelah traksi atau cast splintage).[2,4]
Follow Up
Perawatan pasca reduksi tertutup yang harus diperhatikan adalah perkembangan penyembuhan tulang dan komplikasi yang terjadi. Rontgen secara berkala harus dilakukan untuk memastikan posisi tulang, dan melakukan koreksi bila diperlukan.[2]
Follow Up Jangka Pendek
Pemantauan setelah pemasangan bidai harus dilakukan untuk memastikan tidak terjadi sindrom kompartemen. Perhatikan lima ‘P’ yaitu adanya pain, paralysis, paraesthesia, pallor, dan perishing cold. Bila terjadi gangguan sirkulasi, tinggikan ekstremitas dan lepaskan semua alat bidai.[4]
Perhatikan juga keutuhan plaster, yaitu apakah ada robekan atau retakan, terutama di persendian, apakah plaster menghambat pergerakan, serta apakah plaster terlalu pendek atau terlalu longgar.[4]
Penilaian kesembuhan/penyambungan tulang dilakukan setelah jangka waktu tertentu, yang berbeda-beda sesuai dengan tulang yang mengalami fraktur. Penilaian dapat memperhatikan edema, nyeri dan mobilitas. Edema dan nyeri yang persisten adalah tanda-tanda penyambungan tulang yang tidak sempurna.[4]
Pemeriksaan rontgen juga sebaiknya dilakukan untuk melihat pembentukan kalus dan memudarnya garis fraktur. Bila union diragukan, ekstremitas dapat kembali di fiksasi dan dinilai dalam 4 minggu kedepan.[4]
Follow up Jangka Panjang
Pasien dengan fraktur dan tindakan reduksi cenderung memerlukan konsultasi jangka panjang dengan bagian rehabilitasi untuk dapat meningkatkan fungsi (range of motion dan kekuatan) setelah fraktur sembuh. Pemantauan jangka panjang ini juga dapat membantu menghindari morbiditas pasca operasi, mengurangi kekakuan di persendian, dan mempercepat proses penyembuhan.[1]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini