Manifestasi gangguan kelenjar saliva pada pasien HIV sering ditandai dengan adanya xerostomia dan sialolithiasis. Sebagian besar gangguan pada kelenjar saliva ini terjadi karena efek antigen HIV itu sendiri, infiltrasi leukosit yang ada pada jaringan kelenjar, pengaruh jumlah CD4+, serta penurunan kondisi kekebalan tubuh penderita. Meski begitu, efek terapi antiretroviral juga dapat memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung pada kondisi intraoral.[1-5]
Terlepas dari penyebab gangguan kelenjar saliva, identifikasi adanya xerostomia dan sialolithiasis berperan penting dalam menentukan tata laksana keseluruhan pasien HIV.[1-5]
Insidensi Kelainan Rongga Mulut pada Pasien HIV
Secara klinis disfungsi kelenjar saliva pada penderita HIV dapat ditandai dengan munculnya pembesaran kelenjar, gejala xerostomia, perubahan kecepatan aliran saliva, serta perubahan komposisi saliva. Pembesaran kelenjar saliva lebih mudah ditemukan di parotis daripada di kelenjar submandibular atau sublingual. Pembesaran kelenjar parotis lebih banyak terjadi pada anak-anak (50%) dibandingkan orang dewasa (2,2%).
Penurunan aliran saliva pada penderita HIV telah dilaporkan dalam banyak penelitian. Perubahan komposisi saliva juga dapat terjadi karena infeksi HIV. Selain itu, ditemukan pula peningkatan konsentrasi laktoferin, lisozim, IgA, histatin, klorida, natrium, musin dan peroksidase. Meskipun ada peningkatan konsentrasi dari banyak komponen pelindung, tetapi karena penurunan laju alir saliva dan laju sekresi saliva, maka fungsi saliva sebagai antimikroba, antijamur, dan antioksidan juga berkurang. Hal ini menyebabkan peningkatan infeksi oportunistik kandida pada rongga mulut penderita HIV.[1-6]
Penggunaan Antiretroviral dan Timbulnya Manifestasi Xerostomia dan Sialolithiasis pada Pasien HIV
Terapi antiretroviral (ART) pada pasien HIV telah dilaporkan berkorelasi dengan peningkatan insidensi terbentuknya batu atau kalkuli. Selain itu, kejadian sialopati, juga meningkat pada pasien HIV yang mendapat terapi antiretroviral, dimana sebagian besar bermanifestasi sebagai xerostomia, hipertrofi kelenjar parotis, dan sialolithiasis.
Sebagian besar penelitian menghubungkan sialolithiasis dengan sejumlah perubahan fungsional saliva, seperti penurunan yang signifikan dalam laju aliran saliva, dan perubahan komposisi kimia saliva. Terapi antiretroviral seperti atazanavir/ritonavir diketahui berhubungan dengan lithiasis pada ginjal yang diduga juga berasosiasi dengan insidensi kalkuli pada kelenjar saliva. Selain itu, obat antiretroviral indinavir juga telah dilaporkan terlibat dalam terbentuknya batu pada pasien HIV melalui proses presipitasi.
Mekanisme obat antiretroviral, seperti didanosine, menyebabkan xerostomia atau hiposalivasi masih belum diketahui secara jelas. Disfungsi saliva yang berhubungan dengan obat-obatan mungkin terjadi melalui efek antikolinergik, aksi sitotoksik, atau gangguan pada jalur transportasi ion di sel asinar. Telah dilaporkan bahwa kemunculan xerostomia lebih sering pada pasien HIV yang mengonsumsi lebih banyak obat harian.[5-7]
Penanganan Xerostomia dan Sialolithiasis pada Pasien yang Mendapat Terapi Antiretroviral
Perencanaan pengobatan untuk mengurangi gejala xerostomia dan sialolithiasis harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien. Pedoman umum untuk intervensi kalkuli kelenjar saliva didasarkan pada ukuran relatifnya terhadap diameter lumen duktus, tingkat keparahan, kekambuhan nyeri, pembengkakan, xerostomia, ulserasi mukosa di atasnya, serta ada tidaknya keterlibatan infeksi.
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan meliputi palpasi area kelenjar untuk memeriksa keberadaan massa, ukuran kalkuli, dan ada-tidaknya hambatan pada aliran saliva. Pemeriksaan penunjang kasus sialolithiasis dapat dilakukan melalui pencitraan diagnostik, seperti radiografi, ultrasonografi, cone-beam CT, serta sialoendoskopi Presentasi tumor saliva dan temuan yang atipikal harus diperiksa lebih lanjut dengan biopsi dan penilaian histopatologi untuk membedakan diagnosisnya dengan keganasan.[5,8-10]
Beberapa strategi konservatif dalam penanganan gangguan kelenjar saliva meliputi pemijatan area kelenjar untuk mengeluarkan batu yang berukuran kecil, meningkatkan hidrasi, serta penggunaan sialogogue dan antibiotik bila terdapat infeksi sistemik. Pada kasus yang sulit disembuhkan, perlu dipertimbangkan dilakukan intervensi bedah, seperti lithotripsi ekstrakorporeal, sialolitektomi, atau sialoadenektomi.[5, 7-10]
Edukasi Pasien
Pasien harus menerima informasi rinci tentang kemungkinan penyebab mulut kering dan efek potensial dari gangguan saliva, termasuk munculnya karies gigi, kandidiasis, dan komplikasi mukosa. Perawatan kesehatan mulut preventif harus ditekankan, bersama dengan instruksi kebersihan mulut yang menekankan pentingnya penghilangan plak yang efektif dan kunjungan gigi secara teratur untuk meningkatkan kesehatan mulut pasien.
Regimen kebersihan mulut yang dianjurkan, meliputi menyikat gigi 2 kali sehari, penggunaan benang gigi secara teratur atau pembersih interdental lain, penggunaan fluoride topikal, konseling penghentian merokok, serta penggunaan obat kumur nonalkohol.[9,10]
Manajemen Penggunaan Antiretroviral
Penghentian obat yang diduga menyebabkan xerostomia atau sialolithiasis pada pasien HIV atau menggantinya dengan agen alternatif, perlu mempertimbangkan keamanan dan urgensinya bagi pasien. Pendekatan yang lebih disukai (dibandingkan penghentian atau penggantian antiretroviral) adalah mengurangi gejala gangguan saliva dengan meningkatkan asupan cairan, konsumsi permen karet bebas gula, penggunaan substitusi saliva, dan pencegahan penyakit periodontal dengan oral hygiene.[9,10]
Penggunaan Agen Topikal Intraoral
Agen topikal intraoral pengobatan lini pertama yang direkomendasikan untuk xerostomia. Agen topikal intraoral yang dapat digunakan antara lain:
- Permen karet dan permen bebas gula untuk menstimulasi saliva dan mencegah karies gigi.
- Pengganti saliva berupa bahan yang menyerupai saliva alami dan dapat meningkatkan viskositas saliva. Pengganti saliva umumnya mengandung bahan seperti karboksimetilselulosa, xanthan gum, musin, hidroksietilselulosa, polietilen oksida, atau minyak biji rami.
- Sialogogue atau bahan yang merangsang sekresi saliva. Semprotan sialogogue yang mengandung asam malat 1% telah dilaporkan bermanfaat untuk xerostomia, tetapi berisiko menyebabkan demineralisasi enamel.[1, 8-10]
Penggunaan Agen Sistemik
Pengobatan gejala xerostomia dapat dilakukan dengan pemberian sialogogue sistemik. Dua agen sistemik yang umum digunakan adalah pilocarpine dan cevimeline. Dosis awal pilocarpine yang direkomendasikan adalah 5 mg setiap hari, dengan maksimal 30 mg setiap hari. Terapi biasanya dijalani selama 3 bulan. Sementata itu, cevimeline diberikan 30 mg 3 kali sehari selama minimal 3 bulan.
Cevimeline dan pilocarpine dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit paru kronis dan asma yang tidak terkontrol. Agen ini juga harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol dan ulkus lambung aktif.[9, 10]
Kesimpulan
Mortalitas, morbiditas, dan kualitas hidup pasien HIV semakin meningkat seiring dengan semakin luasnya penggunaan obat antiretroviral. Meski demikian, obat antiretroviral telah dihubungkan dengan munculnya xerostomia, sialolithiasis, serta gangguan periodontal secara umum.
Mekanisme pasti obat antiretroviral dalam menyebabkan xerostomia dan sialolithiasis masih belum jelas, namun diduga berhubungan dengan penurunan laju alir saliva dan perubahan komposisi saliva. Meski begitu, xerostomia dan sialolithiasis seharusnya tidak menjadi alasan penghentian pengobatan antiretroviral pada pasien HIV. Pemeriksaan rongga oral yang rutin, pemeliharaan oral hygiene, dan penanganan yang adekuat dari kondisi tersebut tanpa harus menghentikan antiretroviral merupakan pendekatan yang direkomendasikan. Modalitas terapi yang dapat dipilih mulai dari agens sederhana seperti permen karet bebas gula, terapi pengganti saliva, sialogogue topikal seperti asam malat, ataupun sialogogue sistemik seperti pilocarpine.