Efek Samping dan Interaksi Obat Phenytoin
Beberapa contoh efek samping phenytoin (fenitoin) adalah pusing, vertigo, sakit kepala, lelah, nystagmus, dan gangguan koordinasi. Selain itu, interaksi obat juga dapat terjadi pada penggunaan phenytoin bersama phenobarbital, asam valproat, dan beberapa obat yang lain.[2,5,7]
Efek Samping
Phenytoin dapat menyebabkan efek samping pada berbagai sistem organ, dengan efek samping utama pada sistem saraf pusat seperti sakit kepala, pusing, atau vertigo. Phenytoin intravena juga dapat menyebabkan efek samping lokal dan kardiovaskular.
Sistem Saraf Pusat
Efek samping phenytoin pada sistem saraf pusat dapat berupa nystagmus, vertigo, disartria, gangguan koordinasi, konfusal, pusing, sakit kepala, insomnia, kecemasan sementara, dan kedutan atau gerakan repetitif tidak terkontrol pada lidah, bibir, muka, dan ekstremitas. Selain itu, phenytoin juga dapat menyebabkan gangguan motorik seperti dyskinesia, chorea, dystonia, tremor, dan asterixis.[2,5,7]
Sistem Gastrointestinal
Efek samping phenytoin pada sistem gastrointestinal dapat berupa mual, muntah, konstipasi, diare, dysgeusia (rasa metal/logam di lidah), hepatitis toksik, dan kerusakan hepar.[2,5,7]
Sistem Hematopoietik
Efek samping phenytoin pada sistem hematopoietik adalah trombositopenia, leukopenia granulositopenia, agranulositopenia, pansitopenia, dan anemia tipe makrositik dan megaloblastik yang merespons suplementasi asam folat. Selain itu, phenytoin juga dapat menimbulkan limfadenopati, pseudolimfoma, dan limfoma.[2,5,7]
Metabolik dan Endokrin
Efek samping metabolik phenytoin adalah defisiensi vitamin D dan hiperglikemia jika digunakan secara kronik. Selain itu, obat ini juga dapat menimbulkan hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hirsutisme.[2,5,7]
Kulit
Efek samping phenytoin pada kulit dapat berupa ruam, dermatitis (bulosa, eksfoliatif, atau purpura), lupus eritematosa, sindrom Stevens–Johnson, toxic epidermal necrolysis, dan nekrosis jaringan atau kulit pada pemberian secara intravena.[2,5,7]
Penggunaan phenytoin secara intravena juga dapat menimbulkan efek samping lokal yang dikenal dengan nama purple glove syndrome. Sindrom ini meliputi edema, perubahan warna kulit, dan nyeri di area distal dari lokasi penyuntikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh ekstravasasi.[7]
Jaringan Ikat
Efek samping phenytoin pada jaringan ikat adalah coarsening wajah, pembesaran bibir, hiperplasia gusi, hipertrikosis, penurunan densitas tulang (pada penggunaan kronik), dan Peyronie’s disease.[2,5,7]
Sistem Imun
Efek samping phenytoin pada sistem imun adalah reaksi hipersensitivitas, anafilaksis, systemic lupus erythematosus (SLE), periarteritis nodosa, abnormalitas imunoglobulin, dan drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (sindrom DRESS).[2,5,7]
Sistem Kardiovaskular
Penggunaan phenytoin secara intravena dapat menimbulkan efek samping bradikardi, aritmia, fibrilasi ventrikel, gangguan konduksi atrium/ventrikel, syok, dan hipotensi.[5,7]
Interaksi Obat
Penggunaan phenytoin bersama beberapa obat tertentu dapat meningkatkan kadar obat, menurunkan kadar obat, atau mengganggu fungsi obat. Selain itu, terdapat juga interaksi obat yang tidak bisa diprediksi, seperti pada penggunaan bersama phenobarbital atau asam valproat.[2]
Peningkatan Kadar Obat
Obat yang meningkatkan kadar phenytoin adalah amiodaron, kloramfenikol, simetidin, klordiazepoksid, diazepam, dikumarol, disulfiram, estrogen, etosuksimid, fluoxetine, antagonis H2, halothane, isoniazid, metilfenidat, phenothiazine, salisilat, sulfonamid, ticlopidine, tolbutamide, dan trazodon.[2]
Penurunan Kadar Obat
Obat yang menurunkan kadar phenytoin adalah carbamazepine, reserpine, sukralfat, dan antasida yang mengandung kalsium.[2]
Interaksi yang Tidak Terprediksi
Phenobarbital, sodium valproat, dan asam valproat dapat menurunkan atau justru meningkatkan kadar phenytoin. Hal ini tidak bisa diprediksi.[2]
Gangguan Fungsi Obat
Phenytoin dapat mengganggu fungsi kortikosteroid seperti dexamethasone, prednison, dan hidrokortison. Selain itu, phenytoin juga dapat mengganggu fungsi warfarin, obat antikoagulan, digitoksin, doksisiklin, estrogen, kontrasepsi oral, furosemid, paroksetin, kuinidin, rifampin, teofilin, dan vitamin D.[2]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli