Pencegahan dan terapi infeksi cytomegalovirus atau CMV pada resipien transplantasi dilakukan dengan pemberian obat-obatan antivirus. Meski begitu, antivirus yang optimal dan telah didukung oleh basis bukti yang kuat masih jarang.[1,2]
Infeksi Cytomegalovirus (CMV) pada Resipien Transplantasi
Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus yang umum ditemukan dan seringkali tidak menimbulkan gejala pada manusia. Penularannya terjadi melalui cairan tubuh seperti liur, urin, kontak seksual, dan transplantasi organ. Beberapa penelitian juga menunjukkan CMV dapat bertahan hidup pada permukaan benda.[3,4]
Infeksi CMV pada resipien transplantasi dapat terjadi melalui infeksi dari donor dan infeksi laten yang dimiliki resipien. Donor dengan CMV laten dapat menularkan CMV melalui organ yang ditransplantasikan kepada resipien transplantasi. Pada resipien dengan riwayat infeksi CMV, dapat terjadi reaktivasi yang menyebabkan timbulnya gejala CMV kembali setelah dilakukan transplantasi.[2,3]
Perbedaan dari keduanya adalah pada resipien negatif dan donor positif CMV belum terbentuk imun spesifik CMV, sehingga infeksi yang terjadi mungkin lebih berat. Pada pasien dengan infeksi laten, dapat terjadi reaktivasi CMV.[1,6]
Manifestasi Infeksi CMV pada Resipien Transplantasi Lebih Berat
Pada sebagian kasus, infeksi CMV dapat menimbulkan gejala berupa demam, nyeri tenggorokan, lemas, dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada pasien dengan imunitas rendah, seperti resipien transplantasi organ yang mengonsumsi imunosupresan untuk mencegah graft-versus-host-disease, virus ini dapat menyebabkan kondisi yang lebih parah. Pada transplantasi sel hematopoietik alogenik, penekanan sistem imun juga bisa terjadi akibat terapi myeloablasi dan iradiasi.
Pada resipien transplantasi, infeksi CMV bisa menyebabkan gejala mononukleosis. Perbedaan mononukleosis yang disebabkan virus Epstein-Barr dan CMV adalah absennya antibodi heterofil pada CMV.
Infeksi CMV juga dapat menyerang organ-organ lain, seperti paru, ginjal, saluran cerna, dan saraf. Gejala yang dialami oleh penderita akan berbeda tergantung organ yang mengalami peradangan. Pada saluran cerna CMV dapat menyebabkan feses berdarah, sedangkan pada saraf dapat terjadi ensefalitis atau sindrom Guillain-Barre. Pada saluran pernapasan, CMV dapat menyebabkan pneumonia.[4,5]
Investigasi Infeksi CMV pada Resipien Transplantasi
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendeteksi keberadaan CMV pada tubuh penderita adalah melalui pemeriksaan serologi, polymerase chain reaction (PCR), pp65 antigenemia, kultur, dan histologi. Pada kondisi penderita CMV bergejala, biasanya dilakukan pemeriksaan PCR atau antigenemia. Keterbatasan dari pemeriksaan ini adalah tidak adanya kesepakatan jumlah viral load yang dianggap menunjukkan infeksi aktif. Pada kondisi terdapat keterlibatan organ target, pemeriksaan pilihan adalah imunohistokimia histopatologi.[5]
Pencegahan dan Terapi Infeksi Cytomegalovirus (CMV) pada Resipien Transplantasi
Pencegahan dan terapi infeksi CMV dilakukan dengan menjaga imunitas penderita dan menghambat perkembangan virus. Untuk menjaga imunitas, dokter perlu mempertimbangkan jenis dan dosis terapi imunosupresan yang diberikan kepada resipien transplantasi. Imunosupresi yang lebih ringan perlu dipertimbangkan untuk resipien transplantasi positif CMV.[2,7]
Antivirus
Perkembangan virus dapat dihambat dengan pemberian antivirus. Beberapa antivirus yang saat ini digunakan antara lain ganciclovir, valganciclovir, cidofovir, dan letermovir. Terapi utama yang digunakan adalah ganciclovir dan valganciclovir. Di sisi lain, foscarnet dan cidofovir hanya pada pasien resisten atau refrakter.
Valganciclovir oral merupakan pilihan yang paling sering digunakan. Dahulu terapi diberikan selama 3 bulan, tetapi saat ini dipertimbangkan untuk diberikan lebih lama menjadi 6-12 bulan. Pertimbangan ini berdasarkan adanya kemungkinan terjadinya infeksi CMV pasca profilaksis pada resipien negatif CMV yang menerima donor positif CMV.
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa risiko kejadian infeksi CMV pasca profilaksis dapat diprediksi dengan pemeriksaan imunitas spesifik. Risiko terjadinya infeksi pasca profilaksis telah dilaporkan lebih tinggi pada resipien dengan pembentukan sel T spesifik CMV yang rendah.[1,7,8]
Strategi Preemptive:
Pada transplantasi sel punca hematologi alogenik, pemberian antivirus profilaksis belum menjadi terapi rutin. Pemberian antivirus diberikan pada resipien yang terdeteksi mengalami replikasi aktif CMV (terapi pre-emptive).
Strategi preemptive tidak hanya dapat dilakukan pada transplantasi sel punca hematologi, tetapi dapat dilakukan juga pada transplantasi organ solid. Pada strategi ini, pemeriksaan viral load dilakukan setiap minggu selama 3 bulan. Kesulitan dari strategi ini adalah tidak adanya batas viral load yang disepakati bersama untuk memulai terapi antivirus.[1,2]
Terapi pada Pasien Simtomatik:
Terapi pada resipien transplantasi dengan CMV simtomatik dilakukan dengan obat-obatan yang sama dengan pencegahan. Terapi diberikan paling tidak hingga terbukti viral load negatif 2 minggu berturut-turut.
Antivirus yang menjadi lini pertama adalah ganciclovir intravena dan valganciclovir oral. Antivirus lain seperti foscarnet dan cidofovir masih tidak menjadi terapi utama karena adanya risiko nefrotoksisitas. Saat ini sedang diteliti mengenai antivirus lain untuk menangani kasus CMV. Antivirus yang saat ini masih dalam tahap penelitian antara lain letermovir dan maribavir.[9,10]
Imunoglobulin Intravena
Selain antivirus, dapat dipertimbangkan pemberian imunoglobulin intravena pada resipien transplantasi paru atau sel punca hematologi dengan CMV berat. Terapi imunoglobulin intravena merupakan terapi tambahan dan tidak menggantikan terapi utama.
Tujuan imunoglobulin intravena adalah untuk memberikan imunitas tambahan dalam membantu tubuh melawan dan mengontrol replikasi virus. Selain imunoglobulin intravena, pemberian antibodi monoklonal juga saat ini mulai dipertimbangkan.[2,7,11]
Transfusi Imunitas Donor ke Resipien
Pemberian imunitas dari donor kepada resipien transplantasi merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan. Penelitian yang melakukan transfusi sel T dari donor transplantasi kepada resipien menunjukkan adanya efikasi terapi. Transfusi ini hanya menunjukkan hasil jika diberikan oleh donor transplantasi dan tidak memberikan hasil efektif jika diberikan oleh pihak ketiga.[11,12]
Kesimpulan
Infeksi cytomegalovirus (CMV) merupakan infeksi oportunistik pada pasien dengan imunitas rendah. Resipien transplantasi memiliki risiko terinfeksi CMV akibat adanya supresi imunitas oleh terapi transplantasi yang diberikan.
Terdapat 2 cara pencegahan infeksi CMV pada resipien transplantasi yaitu dengan preventive dan pre-emptive. Metode preventive biasa digunakan pada transplantasi organ padat, sedangkan metode pre-emptive digunakan pada transplantasi sel punca. Kedua metode tersebut sama-sama menggunakan obat antivirus. Lini pertama dengan valganciclovir dan ganciclovir.
Tata laksana resipien transplantasi dengan penyakit CMV dilakukan dengan antivirus yang sama dengan pencegahan. Saat ini masih dilakukan penelitian lebih lanjut terkait terapi lain atau penunjang antivirus, seperti imunoglobulin intravena, antibodi monoklonal, dan transfusi sel T donor.