Kadar high-sensitivity troponin T (hs-cTnT) dan troponin I (hs-cTnI) dapat meningkat pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, sehingga dapat menyulitkan deteksi penyakit jantung koroner pada populasi tersebut. Penentuan rentang nilai normal hs–troponin dalam mendiagnosis infark miokard akut dilakukan berdasarkan studi pada populasi tanpa gangguan ginjal, sehingga rentang untuk pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) seharusnya lebih tinggi.[1,4]
Konsensus yang dipublikasikan tahun 2018 oleh European Society of Cardiology mengenai The Fourth Universal Definition of Myocardial Infarction, telah menyebutkan mengenai adanya peningkatan kadar hs–troponin pada penyakit ginjal kronis. Peningkatan hs–cTnT dikatakan lebih sering terjadi pada penyakit ginjal kronis jika dibandingkan dengan hs–cTnI.[4,6]
Peran Troponin dalam Kontraksi Jantung
Troponin jantung adalah biomarker yang sangat sensitif untuk cedera miokard dan merupakan biomarker pilihan saat ini untuk diagnosis, stratifikasi risiko, dan penanganan infark miokard. Troponin jantung (cTn) adalah ikatan kompleks tiga protein regulator (troponin I, troponin C dan troponin T) yang terikat pada tropomiosin pada filamen aktin dalam sarkomer jantung. Pada sel miosit jantung yang sedang dalam fase istirahat, kompleks troponin menutup tempat pengikatan myosin pada filamen aktin.
Ketika potensial aksi memicu peningkatan konsentrasi Ca2+ intraseluler, terjadi perubahan kompleks troponin, menghasilkan pelepasan tropomiosin dari tempat pengikatan miosin pada filamen aktin. Hal ini memungkinkan miosin untuk mengikat aktin, yang menghasilkan kontraksi miosit. Sekitar 92-95% dari seluler troponin terikat sebagai konstituen kompleks aktin troponin-tropomiosin dalam sarkomer jantung dengan 5-8% lainnya terikat dalam sitoplasma miosit.[1]
Troponin dan Kaitannya dengan Fungsi Ginjal
Troponin bebas yang tidak terikat membentuk “early releasable troponin pool”. Diperkirakan bahwa sejumlah kecil cTn dilepaskan segera setelah cedera miosit dari troponin pool ini. Pada fungsi ginjal yang normal, troponin akan dibersihkan dengan cepat sesuai waktu paruh troponin di plasma (2 jam). Jika terjadi cedera atau kerusakan miosit yang signifikan, troponin yang terikat akan dilepaskan secara bertahap, menyebabkan terjadinya pelepasan troponin secara berkelanjutan. Meskipun mekanisme pasti tentang bagaimana troponin dieliminasi dari tubuh belum diketahui, diduga bahwa troponin dibersihkan, setidaknya sebagian, oleh sistem retikuloendotelial ginjal.[1]
Penting untuk dicatat bahwa meskipun troponin adalah penanda yang sangat berguna untuk cedera miokard, namun troponin tidak dapat menjelaskan etiologi kerusakan ataupun tidak dapat menunjukkan adanya nekrosis miosit. Terdapat berbagai mekanisme lain pelepasan cTn pada tingkat sel selain karena nekrosis miosit, misalnya peningkatan permeabilitas membran atau fragmentasi proteolitik. Secara klinis, ini berarti bahwa peningkatan troponin dapat terjadi selain akibat cedera miokard (myocardial injury). Mekanisme pelepasan troponin terkait non-nekrosis ini ditambah dengan gangguan pembersihan ginjal, menjadi penjelasan penyebab peningkatan troponin pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.[1,8]
Dalam beberapa dekade terakhir, muncul generasi baru (generasi ke-5) metode pemeriksaan troponin, yakni high sensitivity troponin T (hs–cTNT) dan high sensitivity troponin I (hs–cTNI). Keduanya memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode generasi sebelumnya.[1,4]
Akurasi Diagnostik hs-Troponin pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis
Kemampuan hs-troponin dalam mendiagnosis infark miokard pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal telah dievaluasi oleh beberapa studi. Sebuah studi prospektif multisenter pada tahun 2018 membandingkan performa diagnostik hs–cTnT dan hs–cTnI dengan menggunakan algoritma rapid rule in dan rule out dalam waktu 0–1 jam dari European Society of Cardiology, pada pasien dengan gangguan ginjal dibandingkan pasien tanpa gangguan ginjal. Studi ini melaporkan bahwa spesifisitas diagnostik secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan gangguan ginjal, dimana hs–cTnT 88,7% vs 96,5% dan hs-cTnI 84,4% vs 91,7%. Sensitivitas dilaporkan relatif tidak berubah, dimana hs-cTnT 100% vs 99,2% dan hs-cTnI 98,6% vs 98,5%.[10]
Selanjutnya, efektivitas algoritma rapid rule in dan rule out dalam 0–1 jam ditemukan jauh lebih rendah pada pasien dengan gangguan ginjal karena lebih sedikit pasien yang memenuhi kriteria eksklusi (51,3-53,5% vs 76,1-81,2%). Menariknya, studi ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara klinis antara pemeriksaan hs-cTnT dengan hs-cTnI dan efikasi serta keamanan secara keseluruhan tidak bisa ditingkatkan secara signifikan hanya dengan mengubah batas rentang dari nilai troponin.[1,10]
Dalam studi lain oleh Gunsolus et al (2018) juga dilaporkan adanya hal serupa dalam diagnosis infark miokard seiring perburukan fungsi ginjal. Penurunan spesifisitas dari 91-96% pada pasien dengan fungsi ginjal normal dilaporkan menjadi 42-74% pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 30ml/menit.[5]
Bukti Ilmiah Lebih Baru
Dalam sebuah kohort oleh Alushi et al (2021) dilakukan evaluasi terhadap 11.912 pasien infark miokard tanpa ST elevasi (NSTEMI) yang menjalani angiografi koroner. Sebanyak 3% dari pasien yang diteliti (325 pasien) dilaporkan mengalami gangguan ginjal berat dengan GFR < 30 mL/menit dan riwayat PGK sebelumnya. Dari pasien PGK tersebut, sebanyak 222 pasien (76%) mengalami NSTEMI. Performa diagnostik hs–troponin menunjukkan peningkatan pada presentasi awal pasien datang, dengan nilai cut off 4 kali lebih tinggi dari normal. Jika dikombinasikan antara nilai cut off dengan perubahan dalam periode 3 jam, maka sensitivitas meningkat menjadi 98% dengan positive predictive value 93%.[2]
Dalam sebuah studi retrospektif oleh Ren et al (2021), dilakukan evaluasi terhadap 3295 pasien infark miokard, dimana sebanyak 23,1% pasien mempunyai GFR <60 ml/menit. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa nilai optimal dari hs–cTnI untuk pasien dengan gangguan ginjal adalah 1,15 ng/mL, dimana nilai lebih tinggi mungkin diperlukan pada pria dibandingkan wanita.[3]
Kesimpulan
Kadar high-sensitivity troponin (hs-troponin) telah ditemukan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Hal ini tentu akan meningkatkan kesulitan dalam mendiagnosis cedera miokard, misalnya akibat infark miokard, pada populasi tersebut. Bukti ilmiah yang tersedia juga telah menunjukkan bahwa akurasi diagnostik dari biomarker hs-troponin menurun secara signifikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Meski demikian, beberapa bukti ilmiah terbaru mengindikasikan bahwa akurasi diagnostik ini dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan hs-troponin dalam periode awal presentasi klinis dan meningkatkan nilai cut off dibandingkan populasi tanpa gangguan ginjal.
Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan