Selamat malam TS, saya mohon advice mengenai landasan dan dasar hukum menggugurkan kehamilan. Saya sangat sering dikonsulkan mengenai hal ini (baik kehamilan...
Landasan Hukum Menggugurkan Kehamilan - Diskusi Dokter
general_alomedikaDiskusi Dokter
- Kembali ke komunitas
Landasan Hukum Menggugurkan Kehamilan
Selamat malam TS, saya mohon advice mengenai landasan dan dasar hukum menggugurkan kehamilan. Saya sangat sering dikonsulkan mengenai hal ini (baik kehamilan <12minggu ataupun sebaliknya), bahkan dipaksa (manual atau bahkan diminta tolong mereseptkan gastrul), namun sampai saat ini saya tetap berprinsip bahwa hal ini tidak diperbolehkan dan merupakan ranah dokter SpOG.
Mohon arahannya TS. Terima kasih.
Pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi, demikian yang disebut dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan"). Namun, larangan tersebut dikecualikan berdasarkan [Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan]:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, dari sini dapat kita ketahui bahwa aborsi itu legal untuk dilakukan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun, tindakan aborsi akibat perkosaan itu hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang sebagaimana disebut dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan.
Adapun sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar sebagaimana disebut dalam Pasal 194 UU Kesehatan. Lebih lanjut mengenai pidana terkait aborsi, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal.
Sebagai pelaksana dari UU Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”). Ketentuan legalitas aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP 61/2014 yang antara lain mengatakan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan dan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan [Pasal 34 ayat (2) PP 61/2014]:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Adapun yang dimaksud dengan “ahli lain” berdasarkan penjelasan Pasal 34 ayat (2) huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja sosial.
Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP 61/2014. Ini berarti, pada pengaturannya, wanita hamil yang ingin melakukan aborsi berhak untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi tercermin dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang pada intinya mengatakan bahwa tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra konseling dan pasca konseling. Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat (3) PP 61/2014):
a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya;
d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37 ayat (4) PP 61/2014):
a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi pasien
fisik setelah menjalani aborsi;
c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
d. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Dari tujuan-tujuan di atas sekiranya dapat kita peroleh hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi, antara lain yaitu hak untuk mendapatkan kejelasan apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan, hak untuk mendapatkan kejelasan tahapan tindakan aborsi dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya, hak untuk memutuskan apakah aborsi dilakukan atau dibatalkan, hak untuk dievaluasi kondisinya setelah melakukan aborsi, dan sebagainya.
Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi, korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, demikian dikatakan dalam Pasal 38 ayat (1) PP 61/2014.
Sekedar tambahan informasi untuk Anda, di luar hal-hal yang berkaitan dengan aborsi, hak lain yang juga didapat oleh wanita korban perkosaan yaitu mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan. Hal ini disebut dalam Pasal 24 ayat (1) PP 61/2014.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
2. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Bagian Kedua
Indikasi Kedaruratan Medis Pasal 32
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar.
Pasal 33
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
Pasal 33 ayat (2) --> diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Tergantung rumah sakit dan SDM yang ada di sana, pengalaman saya sebagai residen obgin waktu dulu di RSCM, pada kasus yang memang indikasi kedaruratan medis, tim terdiri dari dokter SpOG dan dokter Forensik.
Demikian BTK.
dr.Utomo Budidarmo, SpOG, M.Kes
dalam PP No 61 tahun 2014:
Jun 13, 2018 at 03:02 am
Bagian Kedua
Indikasi Kedaruratan Medis Pasal 32
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar.
Pasal 33
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
Pasal 33 ayat (2) --> diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Tergantung rumah sakit dan SDM yang ada di sana, pengalaman saya sebagai residen obgin waktu dulu di RSCM, pada kasus yang memang indikasi kedaruratan medis, tim terdiri dari dokter SpOG dan dokter Forensik.
Demikian BTK.
Terima kasih dokter atas penjelasannya sangat membantu dan bermanfaat.
Saya mohon sarannya secara teknis, apabila mendapat konsulan mengenai hal tersebut, dan mengarah ke boleh di aborsi, apa ada saran secara teknis pasiennya saya sarankan kemana pada prakteknya?
terima kasih.
dr.Utomo Budidarmo, SpOG, M.Kes
Selamat sore dokter. Untuk hal ini dokter bisa mengarahkan ke dokter kandungan yang memang berkompeten dalam menentukan kedaruratan medis. Dalam hal dimana dokter dipaksa meresepkan sesuatu yang melanggar hukum, dokter berhak menolak, apabila disertai ancaman, dokter bisa berkonsultasi ke komite etik tempat dokter bekerja atau ke IDI setempat. Demikian semoga bermanfaat dokter.
Jun 13, 2018 at 17:21 pm
Terima kasih banyak dokter advisnya sangat membantu dalam praktek saya sehari-hari.