Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Paracetamol
Penggunaan paracetamol pada kehamilan masuk dalam Kategori B untuk sediaan oral. Paracetamol pada ibu menyusui akan diekskresikan dalam jumlah kecil ke dalam ASI.
Penggunaan pada Kehamilan
Paracetamol sediaan oral masuk dalam kategori FDA B. Artinya, studi pada binatang percobaan tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Sedangkan paracetamol sediaan intravena masuk dalam kategori C. Artinya, studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin. [21]
Paracetamol digunakan secara luas pada ibu hamil dan dijadikan lini pertama untuk tatalaksana demam dan nyeri saat kehamilan. Paracetamol aman digunakan pada seluruh trimester. Walaupun sampai saat ini tidak ditemukan adanya hubungan antara paracetamol dengan teratogenitas pada anak, paracetamol termasuk dalam salah satu obat yang dapat menembus sawar plasenta sehingga penggunaannya dalam jangka waktu lama selama kehamilan atau kombinasi dengan obat lain tetap perlu diperhatikan. [21,22]
Pada tahun 2014 dan 2015 dilakukan sebuah penelitian untuk mengetahui hubungan antara paracetamol dan risiko timbulnya perilaku attention-deficit-hyperactivity disorder (ADHD). Penelitian tersebut menemukan adanya peningkatan risiko pada ibu hamil yang menggunakan paracetamol selama masa kehamilan (RR 1,13; KI 95% 1,01 – 1,27). Akan tetapi, faktor lain yang mempengaruhi timbulnya ADHD pada anak seperti infeksi selama kehamilan atau riwayat gangguan jiwa pada keluarga belum dapat disingkirkan sehingga hasil tersebut tidak memiliki makna klinis yang kuat. Walaupun penggunaan paracetamol pada kehamilan dihubungkan dengan ADHD, tidak ditemukan hubungan kausatif di antara keduanya. Kemungkinan besar, penyebab ibu hamil mengkonsumsi paracetamol lah yang berhubungan dengan ADHD. [21,22]
Pada penelitian di hewan, paracetamol dapat menyebabkan adanya penurunan fertilitas pada jantan dan betina. Hal ini disimpulkan setelah ditemukannya penurunan massa testikel, spermatogenesis, dan lokasi implantasi. Hubungan antara penggunaan paracetamol dengan kelainan kongenital, keguguran, atau dampak lain pada kehamilan dan kelahiran belum ditemukan pada manusia. [22,23]
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa NAPQI dapat menstimulasi reseptor transient receptor potential ankyrin-1 (TRPA1) yang akan menyebabkan inflamasi neurogenik pada saluran napas. Hal ini akan meningkatkan risiko asthma dan penyakit paru obstruksi kronis pada pasien. Penelitian pada tikus menunjukkan dengan pemberian paracetamol 15 – 60 mg/kgBB, kadar NAPQI sudah dapat dideteksi di paru dan meningkatkan jumlah neutrofil, aktivitas mieloperoksidase, dan kadar sitokin serta kemokin di saluran pernapasan. Dengan adanya hal ini, pemberian paracetamol pada bayi dan ibu hamil tetap perlu berhati-hati. [24]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Paracetamol diekskresikan pada ASI dalam jumlah yang sangat sedikit. Mengingat konsentrasi puncak paracetamol akan dicapai dalam 1 – 2 jam dan tidak dapat dideteksi setelah 12 jam, pemberian ASI per 3 jam akan membuat bayi menerima sekitar 0,14% dari dosis ibu dengan asumsi bahwa ibu menerima 2% dosis. Satu kasus melaporkan adanya ruam makulopapular pada bayi berusia 2 bulan. [25]