Kontraindikasi dan Peringatan Nitrofurantoin
Kontraindikasi nitrofurantoin antara lain pada pasien dengan gangguan ginjal dan wanita hamil aterm. Peringatan penggunaan nitrofurantoin perlu diberikan terkait risiko reaksi pulmonal serius, meskipun kondisi ini cukup jarang terjadi.[1,4,13]
Kontraindikasi
Obat nitrofurantoin dikontraindikasikan pada pasien dengan pyelonephritis bakterial akut, karena nitrofurantoin tidak dapat mencapai konsentrasi terapeutik di saluran kemih bagian atas dan bakteremia sering menyertai penyakit ini.
Pasien dengan anuria, oliguria, atau gangguan fungsi ginjal yang signifikan tidak boleh menggunakan nitrofurantoin.
Nitrofurantoin juga dikontraindikasikan pada wanita hamil aterm (usia kehamilan 38-42 minggu), serta selama persalinan dan melahirkan.
Nitrofurantoin juga dikontraindikasikan oleh FDA pada neonatus yang berusia kurang dari 1 bulan. Di Indonesia, BPOM menyebutkan kontraindikasi nitrofurantoin pada bayi usia di bawah 3 bulan. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan anemia hemolitik akibat sistem enzim eritrosit yang belum matang pada janin.
Nitrofurantoin juga dikontraindikasikan pada pria dengan infeksi saluran kemih yang berkaitan dengan prostatitis karena nitrofurantoin tidak dapat menembus jaringan prostat secara efektif.
Nitrofurantoin sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien yang berusia 65 tahun ke atas dikarenakan potensi terjadinya toksisitas pulmonal, hepatotoksisitas, dan neuropati perifer, terutama jika diberikan dalam jangka panjang.
Nitrofurantoin juga dikontraindikasikan pada pasien yang alergi terhadap komponen obat nitrofurantoin.[1,4,13]
Peringatan
Pemberian obat nitrofurantoin sebaiknya tetap berhati-hati dengan memperhatikan kondisi organ-organ terkait karena nitrofurantoin memiliki potensi risiko toksisitas paru, hepatotoksik, neuropati, anemia hemolitik, dan diare yang berkaitan dengan Clostridium difficile.[4]
Toksisitas Paru
Telah diamati adanya reaksi toksisitas paru akut, subakut, atau kronis pada pasien yang diobati dengan nitrofurantoin. Jika terjadi reaksi toksisitas paru. maka obat nitrofurantoin harus dihentikan dan segera lakukan tindakan yang tepat sesuai gejala yang terjadi.
Telah dilaporkan bahwa toksisitas paru berkontribusi sebagai penyebab kematian. Reaksi paru kronis, seperti pneumonitis interstitial difus, fibrosis pulmonal, atau keduanya dapat terjadi secara insidental. Reaksi ini adalah reaksi yang jarang terjadi dan umumnya didapat pada pasien yang menerima terapi selama enam bulan atau lebih.
Perlu dilakukan pemantauan kondisi paru pada pasien yang menerima obat nitrofurantoin dalam jangka panjang.[4]
Hepatotoksik
Telah dilaporkan adanya reaksi hepatik, seperti hepatitis, ikterus kolestatik, hepatitis kronis aktif, dan nekrosis hepatik akibat penggunaan nitrofurantoin. Kematian karena kondisi ini juga telah dilaporkan.
Jika reaksi hepatik terjadi, maka obat harus segera dihentikan dan dilakukan tindakan sesuai kondisi klinis pasien.[4]
Neuropati
Neuropati perifer, baik yang berat maupun ireversibel, dan berkaitan dengan penggunaan nitrofurantoin telah dilaporkan. Kematian akibat kondisi ini juga telah dilaporkan.
Neuritis optik pernah dilaporkan meskipun sangat jarang.
Kondisi neuropati akibat pemberian nitrofurantoin berkaitan dengan adanya gangguan ginjal, anemia, diabetes mellitus, ketidakseimbangan elektrolit, defisiensi vitamin B, dan penyakit lain yang melemahkan sistem saraf perifer.[4]
Anemia Hemolitik
Kasus anemia hemolitik tipe sensitif terhadap primaquine telah dilaporkan dapat diinduksi oleh nitrofurantoin.
Anemia hemolitik yang berkaitan dengan pemberian nitrofurantoin terkait dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase juga pernah dilaporkan.
Segera hentikan obat jika terdapat hemolisis. Kondisi hemolisis dapat berhenti jika obat nitrofurantoin dihentikan penggunaannya.[4]
Diare yang Berkaitan dengan Clostridium difficile
Telah banyak laporan terjadinya diare yang berkaitan dengan C. difficile pada penggunaan semua agen antibakteri, termasuk nitrofurantoin. Derajat klinis diare yang terjadi bervariasi, mulai dari ringan hingga fatal.
Pengobatan dengan agen antibakteri dapat mengubah flora normal usus besar yang menyebabkan pertumbuhan berlebih dari C. difficile. Strain C. difficile yang memproduksi hipertoksin menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, karena infeksi dapat refrakter terhadap terapi antimikroba dan mungkin memerlukan kolektomi.
Diare yang berkaitan dengan C. difficile harus dipertimbangkan pada semua pasien yang datang dengan diare setelah penggunaan antibiotik. Jika diare yang berkaitan dengan C. difficile dicurigai atau dikonfirmasi, lakukan manajemen diare seperti terapi cairan dan elektrolit, suplementasi protein, antibiotik spesifik, dan bila perlu pertimbangkan intervensi bedah.[4]