Pengawasan Klinis Flutamide
Pengawasan klinis pada penggunaan flutamide yang utama adalah terkait hepatotoksisitas. Pengawasan lain adalah terkait efek samping, interaksi obat, dan gejala overdosis.
Hepatotoksisitas
Terapi kronis dengan flutamide dikaitkan dengan peningkatan kadar aminotransferase serum pada 62% pasien. Meski demikian, peningkatan bermakna hanya dilaporkan pada 3%-5% kasus. Sebagian besar kondisi ini bersifat transien, tanpa gejala, dan tidak memerlukan penyesuaian dosis atau penghentian obat. Namun, pada 0,1%-1% pasien, dapat terjadi hepatotoksisitas berat bahkan fatal. Latensi awitan berkisar antara 1-10 bulan, dengan rata-rata 3 bulan.[14]
Tanda terjadinya hepatotoksisitas mencakup peningkatan enzim hepar, ikterus, ensefalopati hepatik, hingga kematian akibat gagal hepar. Kadar transaminase serum diukur sebelum memulai pengobatan dengan flutamide. Flutamide tidak direkomendasikan pada pasien dengan kadar ALT melebihi 2 kali batas atas normal. Kemudian, kadar transaminase serum diukur setiap bulan selama 4 bulan pertama terapi, dan secara berkala setelahnya. Uji fungsi hati juga dilakukan pada pasien yang menunjukkan tanda atau gejala disfungsi hati.[14]
Overdosis
Pengawasan klinis harus dilakukan terhadap tanda-tanda overdosis penggunaan flutamide karena dapat mengancam jiwa. Dari hasil penelitian pada hewan, gejala overdosis flutamide mencakup hipoaktivitas, piloereksi, ataksia, pernapasan lambat, lakrimasi, anoreksia, emesis, dan methemoglobinemia.[1,4,8]
Pengawasan Klinis Lainnya
Pada penggunaan bersama warfarin diperlukan pemantauan waktu protrombin untuk mengevaluasi risiko perdarahan.
EKG diperlukan jika flutamide diberikan bersama obat yang dapat meningkatkan risiko pemanjangan interval QT, seperti amiodarone dan chlorpromazine.[1,4,8]