Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Apakah Anda memiliki STR?
Alo, sebelum melanjutkan proses registrasi, silakan identifikasi akun Anda.
Ya, Daftar Sebagai Dokter
Belum punya STR? Daftar Sebagai Mahasiswa

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Penatalaksanaan Toxic Epidermal Necrolysis general_alomedika 2022-11-04T14:54:20+07:00 2022-11-04T14:54:20+07:00
Toxic Epidermal Necrolysis
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Penatalaksanaan Toxic Epidermal Necrolysis

Oleh :
dr. Giovanni Gilberta
Share To Social Media:

Penatalaksanaan toxic epidermal necrolysis (TEN) terdiri dari penghentian obat yang diduga mencetuskan penyakit, penatalaksanaan suportif, pencegahan gejala sisa, dan pemberian imunosupresan sebagai terapi sistemik.[2,11,12]

Penatalaksanaan Umum dan Suportif

Mengidentifikasi dan menghentikan konsumsi obat terduga pencetus adalah tatalaksana utama dalam penyakit TEN. Proses identifikasi pencetus biasa sulit dilakukan pada penderita polifarmasi atau mengkonsumsi lebih dari satu jenis obat. Gejala TEN biasa baru timbul setelah penderita mengkonsumsi obat 1-3 minggu. Pemeriksaan penunjang, seperti Lymphocyte Transformation Testing (LTT) atau uji cukit kulit, dapat digunakan untuk membantu identifikasi etiologi.[3,11]

Penderita, terutama dengan lesi luas, harus secepatnya mendapatkan perawatan suportif di ICU atau unit luka bakar karena semakin dini penanganan, risiko mortalitas akan semakin berkurang.

Terapi Cairan

Pemantauan cairan merupakan salah satu faktor yang penting dalam perawatan TEN karena besarnya risiko kehilangan cairan. Resusitasi cairan dilakukan berdasarkan kondisi diuresis atau komorbid lain, seperti gangguan respirasi atau keadaan syok. Cairan kristaloid sebesar 2 ml/kg/% luas permukaan tubuh terbukti cukup untuk mengoreksi hipotensi dan memastikan urin output yang adekuat.

Setelah dilakukan resusitasi cairan, terapi cairan dititrasi berdasarkan frekuensi nadi, tekanan darah, status hidrasi, dan koreksi kadar elektrolit.[3,11,12]

Rawat Luka

Hingga saat ini, belum ada baku emas perawatan luka pada kasus TEN. Untuk membantu proses reepitelisasi, biasanya dilakukan debridement untuk menyingkirkan jaringan nekrotik dan penutupan lesi dengan dressing yang bersifat non-adherent. Penggunaan dressing yang mengandung nanokristalin dapat digunakan karena memiliki efek antimikrobial. Selain itu, beberapa studi terbaru telah menunjukkan adanya efektivitas madu dalam perawatan luka.[12,13]

Nutrisi

Nutrisi juga merupakan aspek lain yang perlu diperhatikan. Penderita TEN memerlukan nutrisi lebih banyak dibandingkan dengan kondisi normal sebagai pengganti hilangnya nitrogen dan energi melalui eksudat luka, respon hipermetabolik, dan untuk penyembuhan luka. Pemberian nutrisi dapat dilakukan secara enteral atau parenteral apabila penderita sulit menelan makanan.[13]

Menjaga Suhu Tubuh

Karena adanya defek pada epidermis, pasien berisiko mengalami hipotermia. Suhu tubuh dapat dijaga dengan menempatkan pasien pada ruangan dengan suhu dinaikkan antara 30-32 C dan humiditas terkontrol. Pada saat merawat luka, sebaiknya digunakan air atau cairan salin normal yang hangat.[16,17]

Analgesik

Pasien TEN akan mengalami nyeri, dan akan lebih berat pada area kulit yang mengalami detachment. Pemberian analgesik bisa mengikuti WHO analgesic ladder. Jika pasien mengalami nyeri sedang-berat yang tidak hilang dengan pemberian analgesik sederhana, dapat ditambahkan morfin atau golongan opioid lain. Namun, pastikan untuk mengawasi tingkat kesadaran, laju pernapasan, dan saturasi oksigen.[16]

Pencegahan Infeksi Sekunder

Masih terdapat berbagai pendapat mengenai pendekatan terbaik untuk mencegah infeksi sekunder pada TEN. Pada pendekatan konservatif, detached epidermis dibiarkan karena dapat bertindak sebagai penutup luka biologis. Jika bula sangat besar, cairan bula bisa diaspirasi. Kemudian, kulit diberikan emolien yang bertindak sebagai barrier, mengurangi kehilangan cairan transkutan, dan meningkatkan reepitelisasi.

Pemberian antibiotik profilaksis tidak disarankan karena dapat meningkatkan risiko infeksi Candida. Antibiotik empiris dapat diberikan jika terdapat tanda infeksi sekunder.[16]

Pencegahan Gejala Sisa

Gejala sisa dapat timbul setelah fase akut TEN terlewati sebagai akibat dari keterlibatan mukosa. Gejala sisa melibatkan beberapa sistem, mulai dari gangguan pada mata, kulit, gigi, genitourinaria, dan paru-paru. Gejala sisa yang paling sering dialami oleh penderita adalah lesi pada mata, seperti mata kering, fotofobia, gangguan pada kornea, trikiasis, hingga gangguan lapang pandang dan kebutaan.

Penanganan sekuele mata memerlukan konsultasi dengan dokter spesialis mata. Penggunaan lubrikan mata setiap 2 jam dan pencegahan sinekia dapat membantu mengurangi gangguan tersebut.

Sekuele juga dapat terjadi pada sistem pernapasan, seperti bronkitis kronis, bronkiektasis, bronkiolitis, serta obstruksi saluran napas. Tata laksana terkait keluhan pada sistem pernapasan adalah pemberian oksigen, serta inisiasi intubasi atau ventilasi mekanik jika diperlukan.[3,13]

Pasca fase akut TEN, penderita juga dapat mengalami gangguan mulut dan gigi, serta striktur esofagus yang dapat ditata laksana dengan inisiasi dini nutrisi peroral via NGT. Gangguan pada genitourinaria, seperti dyspareunia, adhesi, dan stenosis introitus tak jarang juga dijumpai pada penderita. Kondisi tersebut dapat ditangani dengan penggunaan kateter.[3,13]

Imunosupresan

Penggunaan imunosupresan pada kasus toxic epidermal necrolysis masih diperdebatkan hingga saat ini. Beberapa penelitian menyebutkan pemberian steroid dapat memberikan manfaat bagi penderita, namun beberapa penelitian lain menyatakan steroid tidak memberikan manfaat signifikan dan bahkan dapat memperbesar risiko sepsis, serta durasi perawatan di rumah sakit. Pemakaian immunoglobulin intravena (IVIG) yang memiliki antibodi anti-FAS, zat yang dapat mencegah apoptosis kulit, masih kontroversial. Jenis imunosupresan lain, seperti siklosporin, N-asetilsistein, dan anti-TNF atau tindakan plasmaferesis juga masih memerlukan penelitian lebih lanjut terkait efikasinya pada penderita TEN.[2,3,11,13]

 

 

Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri

Referensi

2. Estrella-Alonso A, Aramburu J, González-Ruiz M, Cachafeiro L, Sánchez Sánchez M, Lorente J. Toxic epidermal necrolysis: a paradigm of critical illness. Revista Brasileira de Terapia Intensiva. 2017;29(4):499-508.
3. Hoetzenecker W, Mehra T, Saulite I, Glatz M, Schmid-Grendelmeier P, Guenova E et al. Toxic epidermal necrolysis. F1000Research. 2016;5:951.
11. Schwartz R, McDonough P, Lee B. Toxic epidermal necrolysis. Journal of the American Academy of Dermatology. 2013;69(2):187.e1-187.e16.
12. Downey A, Jackson C, Harun N, Cooper A. Toxic epidermal necrolysis: Review of pathogenesis and management. Journal of the American Academy of Dermatology. 2012;66(6):995-1003.
13. Fernando S. The management of toxic epidermal necrolysis. Australasian Journal of Dermatology. 2012;53(3):165-171.
16. Creamer D, Walsh SA, Dziewulski P, et al. U.K. guidelines for the management of Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. British Journal of Dermatology, 2016. 174(6), 1194–1227. doi:10.1111/bjd.14530
17. Schneider JA, Cohen PR. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: A Concise Review with a Comprehensive Summary of Therapeutic Interventions Emphasizing Supportive Measures. Advances in Therapy, 2017. 34(6): 1235–1244. doi:10.1007/s12325-017-0530-y

Diagnosis Toxic Epidermal Necrol...
Prognosis Toxic Epidermal Necrol...

Artikel Terkait

  • Siklosporin untuk Sindroma Stevens Johnson (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) : Sebuah Modalitas Baru
    Siklosporin untuk Sindroma Stevens Johnson (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) : Sebuah Modalitas Baru
  • Antibiotik Terkait Sindrom Stevens Johnson dan Toxic Epidermal Necrolysis
    Antibiotik Terkait Sindrom Stevens Johnson dan Toxic Epidermal Necrolysis
Diskusi Terkait
Anonymous
Dibalas 24 Februari 2023, 10:12
Kulit melepuh, gatal, dan tungkai tidak bisa digerakkan pada pasien lansia
Oleh: Anonymous
2 Balasan
Alo dok. Izin konsul dok.Pasien usia 60 thun, dilaporkan oleh tenaga kesehatan saat dinas luar diwilayah kerja pkm.Pasien 2 bulan ini kulitnya tiba2 melepuh...

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Alomedika.com All Rights Reserved.