Pendahuluan Hepatitis C
Hepatitis C adalah inflamasi hepar akibat infeksi virus hepatitis C (HCV) yang ditularkan melalui darah. Hepatitis C dapat bersifat akut maupun kronis dengan derajat keparahan bervariasi. Hepatitis C umumnya bersifat asimtomatik. Gejala biasanya baru muncul saat telah terjadi kerusakan hati yang serius, sehingga diagnosis dini hepatitis C menjadi sulit. Hepatitis C terutama didiagnosis dengan pemeriksaan antibodi anti-HCV dan hepatitis C virus ribonucleic acid (HCV RNA).[1-3]
Penapisan infeksi hepatitis C disarankan dilakukan setidaknya sekali dalam seumur hidup pada orang dewasa usia 18 tahun ke atas. Pengujian berkala rutin hepatitis C direkomendasikan untuk orang dengan faktor risiko berkelanjutan, misalnya pengguna narkoba suntik.
Serokonversi anti-HCV terjadi rata-rata dalam 8-11 minggu setelah paparan, tetapi dapat lebih lama pada pasien imunokompromais seperti pasien HIV. Sementara itu, pasien dengan infeksi akut biasanya memiliki HCV RNA yang terdeteksi 1-2 minggu setelah terpapar virus. Perlu diingat bahwa uji anti-HCV hanya memberikan informasi paparan di masa lalu, sehingga hasil negatif menunjukkan bahwa pasien tidak pernah terpapar virus. Jika hasil anti-HCV positif, maka pemeriksaan hepatitis C perlu dilanjutkan dengan uji HCV RNA.
Penatalaksanaan hepatitis C yang utama adalah terapi antivirus dengan direct-acting antivirals (DAAs) seperti sofosbuvir. Regimen ini lebih praktis dan memiliki efikasi yang lebih tinggi dibandingkan terapi terdahulu seperti injeksi pegylated interferon dan ribavirin.[1,3]
Hepatitis C akut berkembang menjadi kronik pada 70-80% pasien dan dapat berprogresi lebih lanjut menjadi sirosis dan hepatocellular carcinoma (HCC).[1,3,4] Hingga saat ini belum ada vaksin maupun obat profilaksis pre dan post pajanan untuk penyakit hepatitis C. Oleh karenanya, pencegahan dan pengendalian infeksi memegang kunci penting dalam penanganan hepatitis C.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Gisheila Ruth Anggitha