Prognosis Makrosomia
Prognosis makrosomia umumnya baik, tetapi bayi makrosomia lebih berisiko mengalami gangguan metabolik dan kardiovaskular di kemudian hari. Makrosomia juga berhubungan dengan peningkatan mortalitas maternal maupun neonatal. Komplikasi yang sering terjadi meliputi peningkatan kebutuhan seksio sesarea, distosia bahu, laserasi jalan lahir derajat tinggi, perdarahan postpartum, serta fraktur klavikula dan cedera pleksus brakialis pada bayi.[1,12,20]
Komplikasi
Komplikasi pada ibu mencakup peningkatan kebutuhan seksio sesarea, laserasi jalan lahir, dan perdarahan postpartum. Komplikasi pada bayi mencakup distosia bahu, cedera pleksus brakialis, fraktur mandibula, dan makrosomia.[18-21]
Komplikasi pada Ibu
Makrosomia janin meningkatkan risiko komplikasi obstetri maternal akibat ukuran janin yang melebihi kapasitas pelvis dan peregangan uterus yang berlebihan. Ibu dengan janin makrosomia memiliki insiden lebih tinggi terhadap persalinan memanjang, arrest of descent, dan kebutuhan seksio sesarea.
Persalinan pervaginam juga disertai peningkatan risiko laserasi perineum derajat III–IV, ruptur serviks, dan trauma jaringan lunak akibat desakan janin yang besar saat melewati jalan lahir. Kondisi ini sering memerlukan intervensi obstetri yang lebih invasif, dengan potensi peningkatan kehilangan darah dan waktu pemulihan postpartum.
Selain trauma jaringan, makrosomia juga dikaitkan dengan perdarahan postpartum akibat atonia uteri yang disebabkan oleh distensi uterus berlebihan, serta peningkatan risiko infeksi seperti korioamnionitis. Ibu dengan bayi makrosomia, khususnya pada kehamilan dengan diabetes melitus, juga memiliki risiko lebih tinggi terhadap disfungsi endotel postpartum yang berpotensi memperburuk morbiditas jangka panjang.[1,12,20]
Komplikasi pada Bayi
Bayi makrosomia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami trauma neonatal. Contoh trauma yang mungkin didapatkan adalah distosia bahu, fraktur klavikula, cedera pleksus brakialis, fraktur mandibula, dan dislokasi sendi temporomandibular (TMJ). Trauma ini dapat mengganggu kemampuan menyusu, menimbulkan nyeri yang membuat bayi akan tidak tenang, hingga risiko infeksi jika tidak ditangani cepat.
Selain trauma neonatus, kondisi hipoglikemia neonatal dan makroglosia juga merupakan salah satu komplikasi dari makrosomia. Lidah yang lebih besar dari normal dapat menyebabkan obstruksi jalur napas, menghambat proses menyusu, hingga menekan lengkung dental ke arah anterior yang dapat mengakibatkan maloklusi, cross bite atau open bite anterior.
Cross bite dan open bite anterior anak makrosomik dapat diperparah oleh hipertrofi adenoid atau tonsil. Hipertrofi adenoid dan tonsil juga akan berdampak pada fungsi mastikasi, artikulasi bicara, hingga risiko sleep-disordered breathing.
Paparan glukosa berlebih saat fase intrauterin juga dapat mengganggu odontogenesis, yang mengakibatkan enamel hipoplasia atau opasitas, sehingga meningkatkan risiko karies. Selain risiko karies, gangguan odontogenesis juga dapat mengakibatkan gangguan waktu erupsi gigi decidui.[18-21]
Prognosis
Sebagian besar bayi makrosomia yang lahir tanpa komplikasi mayor memiliki luaran jangka pendek yang baik, namun risiko komplikasi obstetri dan neonatal meningkat secara bermakna seiring peningkatan berat lahir. Distosia bahu terjadi pada sekitar 9–14% jika berat lahir melebihi 4.500 g, dan bahkan mencapai 20–50% pada ibu dengan diabetes.
Komplikasi utama yang terkait dengan distosia bahu adalah fraktur klavikula dan cedera pleksus brakialis (C5–C6) yang dapat menyebabkan Erb–Duchenne paralysis. Fraktur klavikula terjadi pada 0,4–0,6% dari seluruh kelahiran dan biasanya pulih tanpa sekuele permanen, namun pada bayi makrosomia risikonya meningkat hingga 10 kali lipat dibandingkan bayi dengan berat normal.
Risiko cedera pleksus brakialis meningkat 18–21 kali lipat pada persalinan pervaginam dengan berat lahir di atas 4.500 g, dengan angka kejadian absolut 2,6–7%. Meskipun demikian, prognosis jangka panjang umumnya baik karena 80–90% kasus cedera pleksus brakialis pulih sempurna dalam satu tahun pertama kehidupan.
Trauma neonatal umumnya dapat ditangani secara konservatif selama tidak disertai dislokasi masif, mengingat potensi remodeling tulang anak yang tinggi. Bila ada cedera kompleks atau keterlambatan terapi, risiko infeksi dan deformitas rahang bisa meningkat, tapi hasil jangka panjang tetap baik jika perawatan multidispliner dilakukan sedari dini.
Makroglosia ringan sering membaik seiring dengan pertumbuhan anak. Namun, jika sudah menyebabkan obstruksi jalan napas atau gangguan mastikasi yang parah, maka reduksi lidah perlu dipertimbangkan untuk dilakukan, meskipun dengan risiko berkurangnya sensasi lidah. Selain itu, observasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk melihat perkembangan lengkung dental dan oklusi.[1,12,20]