Komplikasi Rekonstruksi Payudara
Komplikasi rekonstruksi payudara dapat dibagi menjadi komplikasi secara umum terkait pembedahan, seperti infeksi, hematoma, penyembuhan luka yang lama, dan pembentukan jaringan parut. Selain itu, dapat juga terjadi komplikasi spesifik akibat rekonstruksi payudara, misalnya iskemia dan kegagalan flap, serta komplikasi yang berhubungan dengan jaringan donor.[24]
Analisis multisenter terhadap 2234 pasien mendapatkan risiko terjadinya komplikasi dalam 1 tahun setelah rekonstruksi dengan expander/implant lebih rendah dibandingkan rekonstruksi dengan jaringan autolog, seperti latissimus dorsi, pedicle transverse rectus abdominis musculocutaneous (PTRAM), free TRAM (FTRAM), dan deep inferior epigastric perforator (DIEP).[25]
Komplikasi Umum
Komplikasi umum akibat rekonstruksi payudara, antara lain seroma, hematoma, dan infeksi luka operasi. Seroma dapat terbentuk setelah rekonstruksi payudara. Seroma biasa terjadi setelah drain dilepaskan. Jika seroma terjadi saat drain masih terpasang, sebaiknya pasien disarankan untuk mengurangi aktivitas. Seroma dapat ditemukan pada lokasi donor maupun penerima. Seroma dapat meningkatkan risiko terjadinya rotasi implan, malposisi, dan infeksi luka operasi.
Hematoma biasa terjadi 12–24 jam setelah operasi. Antiplatelet, seperti aspirin, antikoagulan, seperti rivaroxaban, dan hormon androgen, dapat meningkatkan risiko perdarahan. Sebaiknya, obat-obatan seperti ini dihentikan sebelum pembedahan. Tata laksana hematoma dapat dilakukan dengan drainase hematoma dan menghentikan perdarahan.
Infeksi luka pada rekonstruksi autolog dilaporkan di bawah 5%. Insidensi infeksi luka setelah pemasangan implan prostetik bervariasi antara 0–30%. Penumpukan cairan di sekitar implan sebaiknya diatasi dengan drainase, lalu dilakukan kultur. Implan yang mengalami infeksi harus diangkat. Setelah pasien bebas infeksi selama 3–6 bulan, pemasangan implan dapat dilakukan kembali.[8,24,26]
Komplikasi Spesifik Rekonstruksi Payudara
Komplikasi spesifik rekonstruksi payudara dibagi berdasarkan teknik operasi yang dilakukan. Pada rekonstruksi payudara menggunakan flap, terdapat risiko komplikasi berupa nekrosis dan kegagalan flap. Pada rekonstruksi payudara dengan implan, dapat terjadi kontraksi kapsular.
Komplikasi Rekonstruksi Payudara dengan Flap
Jika dilakukan operasi mikrovaskular, terdapat risiko trombosis arteri 1–4% dan nekrosis jaringan lemak 5–40%. Jika menggunakan arteri mamaria, dapat terjadi pneumotoraks, meskipun jarang.
Nekrosis skin flap dilaporkan memiliki angka kejadian yang sangat bervariasi, antara 1,5–41%. Nekrosis flap bisa diakibatkan oklusi arteri, oklusi vena, maupun gabungan keduanya. Kegagalan flap total terjadi bila seluruh flap terganggu aliran darahnya, sedangkan kegagalan flap parsial adalah apabila hanya sebagian dari flap yang mengalami gangguan aliran darah.
Beberapa faktor diketahui berhubungan dengan nekrosis kulit, misalnya indeks massa tubuh (IMT) yang lebih tinggi, seperti obesitas, rekonstruksi payudara segera, riwayat merokok, serta riwayat penyakit hipertensi, diabetes, dan radiasi preoperatif.
Lokasi donor flap juga memengaruhi komplikasi yang mungkin timbul. Jika flap diambil dari abdomen, maka terdapat risiko penonjolan abdomen, hernia, dan kelemahan dinding abdomen. Pengambilan flap dari paha bisa menyebabkan gangguan sensoris pada paha, dan limfedema. Pengambilan flap gluteus dapat menyebabkan nyeri sciatica, dan terkadang terjadi gangguan penyembuhan luka.[1,27]
Komplikasi Rekonstruksi Payudara dengan Implan
Penggunaan implan dapat mengakibatkan kontraksi kapsular. Setelah implan diletakkan, akan terbentuk jaringan fibrosa di sekitarnya. Kontraksi kapsular ringan terjadi pada sebagian besar pasien yang menjalani rekonstruksi dengan implan, dan dapat bersifat asimtomatik.
Kontraksi kapsular yang parah dapat menyebabkan nyeri payudara dan malposisi implan, karena implan terdorong ke atas. Jika hal ini terjadi, dibutuhkan tindakan pembedahan lagi untuk memperbaiki posisi implan. Biasanya, kantung kulit akan diperbesar 2–3 cm di bawah ketinggian yang diinginkan, sehingga ketika kontraksi kapsular terjadi lagi, implan tetap berada pada ketinggian yang sesuai.
Insidensi kontraksi kapsular dapat dikurangi dengan menggunakan implan bertekstur, dibanding implan yang permukaannya rata. Kontraksi kapsular dinilai menggunakan klasifikasi Baker. Secara umum, Baker kelas III dan IV digolongkan sebagai komplikasi rekonstruksi payudara.[1,28]
Faktor Risiko Komplikasi
Berbagai faktor risiko diketahui dapat meningkatkan terjadinya komplikasi setelah rekonstruksi payudara, terutama obesitas, merokok, diabetes mellitus, serta riwayat radioterapi. Selain itu, komplikasi juga dipengaruhi oleh jenis mastektomi yang dilakukan, tipe implan, tipe flap, penggunaan fat grafting, dan ukuran payudara.[6,24]
Obesitas
Obesitas, yang didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2 meningkatkan kemungkinan terjadinya kegagalan flap dan komplikasi pada lokasi donor. Selain itu, obesitas juga dihubungkan dengan infeksi luka operasi dan tromboembolisme vena.[6,29]
Merokok
Merokok dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi pada flap. Pasien perokok aktif lebih cenderung mengalami komplikasi, seperti nekrosis flap mastektomi, nekrosis flap abdomen, dan hernia. Tingkat komplikasi serupa juga ditemukan pada perokok yang berhenti 3–4 minggu sebelum operasi.[1,6]
Diabetes Mellitus
Data dari National Surgical Quality Improvement Program menemukan peningkatan risiko komplikasi rekonstruksi payudara pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, sebesar 1,5 kali, dan pada pasien diabetes mellitus tipe 1, sebesar 1,85 kali. Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga berhubungan dengan penutupan luka operasi yang lebih buruk.[6,30]
Riwayat Radioterapi dan Kemoterapi
Riwayat radioterapi dapat memengaruhi keberhasilan operasi dan meningkatkan risiko komplikasi. Radioterapi diduga menyebabkan kerusakan vaskularisasi kantung kulit mastektomi. Kemoterapi ajuvan dan neoajuvan dihubungkan peningkatkan frekuensi pengangkatan tissue expander prematur, serta komplikasi terkait penyembuhan luka, seperti penyembuhan luka yang lebih lama, nekrosis jaringan lemak, infeksi luka operasi, dan kontraksi kapsular kelas III dan IV.[15,24]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra