Pendahuluan Krioterapi pada Kulit
Cryotherapy atau krioterapi pada kulit merupakan prosedur invasif minimal dengan menggunakan suhu dingin yang ekstrem. Prosedur ini dapat digunakan pada berbagai lesi kulit, termasuk veruka vulgaris, aktinik keratosis, ataupun karsinoma kulit risiko rendah. Suhu yang digunakan adalah di bawah 0°C yang dihasilkan oleh cyrogen, biasanya menggunakan nitrogen cair, untuk membekukan dan menghancurkan jaringan yang abnormal.[1,2]
Indikasi dilakukannya krioterapi adalah untuk menghancurkan lesi maligna maupun benigna. Namun pada lesi maligna, krioterapi bukan merupakan terapi lini pertama, dan biasanya dilakukan untuk pasien yang tidak dapat menjalani eksisi.[1]
Teknik krioterapi pada kulit dilakukan dengan menggunakan cyrogen, biasanya nitrogen cair, untuk mendinginkan jaringan yang ditargetkan. Jaringan didinginkan hingga suhu di bawah nol. Efek ini menginduksi kerusakan jaringan dalam 2 mekanisme, yakni induksi iskemia dengan merusak pembuluh darah dan kapiler di area target dan menginduksi cedera sel osmotik.
Saat jaringan didinginkan, kristal es terbentuk di antara sel-sel yang menciptakan gradien osmotik dan dengan cepat menarik air keluar dari sel. Saat pendinginan berlanjut, kristal terbentuk di dalam sel yang dapat menyebabkan pecahnya sel. Proses pencairan juga merusak sel. Saat jaringan mencair, kristal di luar sel mencair yang menciptakan gradien yang dengan cepat menarik air kembali ke dalam sel yang dapat menyebabkan sel membengkak dan pecah.[1-8]
Lesi jinak seperti veruka vulgaris, kondiloma anogenital, moluskum kontagiosum, dan keratosis seboroik dapat ditangani dengan krioterapi. Tindakan ini juga dapat dipertimbangkan pada kasus karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa dengan gambaran risiko rendah.
Kontraindikasi krioterapi pada kulit adalah kasus neoplasma dengan batas yang tidak jelas atau yang memerlukan pemeriksaan patologi, karsinoma sel basal atau sel skuamosa dengan fitur risiko tinggi, dan efek samping lokal atau hipersensitivitas terhadap krioterapi sebelumnya. Potensi efek samping termasuk perdarahan, lepuh, edema, parestesia, dan nyeri. Efek samping yang lebih jarang termasuk ruptur tendon, terbentuknya jaringan parut, alopesia, atrofi, dan hipopigmentasi.[6]