Teknik Tubektomi
Teknik tubektomi dapat dilakukan secara laparotomi, minilaparotomi, laparoskopi, atau histeroskopi. Sebelum menjalani tindakan, pasien perlu diberikan konseling dan dinilai terlebih dahulu risiko kesehatannya. Beberapa rekomendasi menganjurkan tindakan pap smear, urinalisis, skrining penyakit menular seksual, dan ultrasonografi panggul bila terdapat kecurigaan massa panggul ketika melakukan pemeriksaan fisik sebelum tubektomi.[6-8]
Persiapan Pasien
Pasien harus mendapatkan konseling dan permintaan informed consent sebelum menjalani tubektomi. Pemilihan jenis atau metode tindakan harus dipertimbangkan sesuai risiko tiap pasien dan variabel lainnya. Selain itu, dokter perlu memastikan bahwa pasien sedang tidak hamil sebelum memulai tubektomi.[10]
Konseling Preoperatif
Konseling preoperatif dan proses informed consent harus terdokumentasi dengan jelas pada rekam medis. Tidak boleh ada paksaan atau bias dalam menawarkan atau memilih tindakan kontrasepsi permanen.[10]
Tubektomi merupakan prosedur kontrasepsi permanen dan pasien harus sadar bahwa pengembalian kontrasepsi permanen tidak dapat dilakukan. Kehamilan di masa depan masih mungkin terjadi melalui bantuan fertilisasi in vitro, tetapi membutuhkan biaya yang besar dan proses yang kompleks. Dokter juga perlu menyampaikan bahwa meskipun ada wanita yang puas dengan tubektomi, beberapa wanita mengalami penyesalan.[10]
Secara umum, terdapat tingkat kegagalan kontrasepsi tubektomi sebesar 1%. Tingkat kegagalan ini sebanding dengan tingkat kegagalan kontrasepsi lainnya dan vasektomi. Metode kontrasepsi alternatif harus didiskusikan dengan semua pasien sebagai bagian dari konseling.[10,11]
Penilaian Risiko Pembedahan
Dokter harus menilai riwayat penyakit pasien secara menyeluruh dan menilai kelayakan untuk menjalani kontrasepsi mantap. Penilaian ini juga berperan dalam menentukan jenis prosedur yang harus dilakukan. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan risiko pembedahan atau anestesi antara lain:
Obesitas berat
- Faktor risiko perlekatan (adhesi) intraabdomen seperti riwayat operasi abdomen sebelumnya, riwayat penyakit radang panggul, riwayat infeksi intraabdomen, riwayat ruptur apendiks, dan endometriosis
- Komorbiditas medis yang signifikan seperti disfungsi jantung, paru, ginjal, atau neurologis. Disfungsi organ tersebut dapat memburuk ketika tindakan tubektomi dilakukan atau ketika prosedur anestesi[1,12]
Faktor-faktor tersebut bukan kontraindikasi mutlak tubektomi. Namun, pasien dengan risiko signifikan disarankan untuk menggunakan kontrasepsi jangka panjang lainnya (pemasangan IUD atau implan) atau disarankan untuk mempertimbangkan vasektomi pada pasangannya.[1,12]
Pemeriksaan Kehamilan
Dokter harus memastikan bahwa wanita yang akan menjalani tubektomi sedang tidak hamil. Pada wanita yang tidak menjalani prosedur tubektomi pascapersalinan atau pascaabortus, penggunaan kontrasepsi lainnya dapat diandalkan sebelum tubektomi. Hal ini direkomendasikan untuk memastikan bahwa pasien tidak hamil ketika tindakan kontrasepsi mantap dilakukan.
Jika diagnosis kehamilan tidak dapat disingkirkan lewat anamnesis, pemeriksaan urine atau pemeriksaan serum human chorionic gonadotropin dapat membantu. Tes hamil harus dilakukan pada hari di mana prosedur direncanakan.[13]
Tindakan Anestesi
The American Society of Anesthesiologists Task Force on Obstetric Anesthesia dalam panduan praktik untuk anestesi obstetrik merekomendasikan bahwa anestesi epidural, spinal, atau general dapat dilakukan dengan aman pada mayoritas pasien yang akan menjalani tubektomi 48 jam pascapersalinan.[14]
Peralatan
Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan tubektomi dengan teknik laparotomi atau minilaparotomi antara lain:
- Hemostat
- Klem Kelly
- Klem Kocher
- Klem Allis
- Gunting Metzenbaum
- Gunting Mayo
- Needle holder
- Scalpel (pisau bedah)
- Penjepit babcock
- Singley forceps
- Benang catgut atau klip Filshie dan aplikator
- Spons laparotomi kecil
- Retraktor kecil (Army-Navy atau S-shaped)
- Benang (delayed absorbable) untuk fasia dan kulit
- Bahan untuk tindakan aseptik kulit, duk steril, dan alat pelindung diri[15]
Posisi Pasien
Pasien harus berbaring di meja operasi secara supinasi. Posisi Trendelenburg dapat membantu perpindahan usus ke arah superior sehingga eksposur meningkat. Selain itu, untuk membantu visualisasi, pasien dapat diposisikan sedikit miring ke kanan saat mengidentifikasi dan mengikat tuba falopi kiri dan begitu pula sebaliknya.[12]
Prosedural
Tindakan tubektomi dapat dilakukan melalui pendekatan abdominal dan transervikal (histeroskopi). Namun, pendekatan transervikal lebih jarang dilakukan. Bagian ini akan membahas dua pendekatan abdominal, yaitu laparoskopi dan minilaparotomi.[12]
Laparoskopi
Tubektomi laparoskopi lebih sering dipilih daripada minilaparotomi dan juga menjadi pilihan dalam kontrasepsi mantap pascaabortus. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi umum dalam ruang operasi (paling umum) atau dengan anestesi lokal seperti bupivacaine dan etidocaine.[6,8]
Keunggulan prosedur laparoskopi adalah sayatan yang kecil dan pulihnya kemampuan beraktivitas lebih cepat. Namun, keterbatasannya adalah kebutuhan peralatan dan pelatihan tenaga ahli khusus, serta peningkatan risiko cedera usus, kandung kemih, atau pembuluh darah utama. Selain itu, penggunaan anestesi umum dapat meningkatkan risiko komplikasi terkait anestesi.[6,8]
Prosedur tubektomi dengan metode laparoskopi dilakukan dengan cara:
- Membuat sayatan kecil di dekat pusar (1–2 sayatan)
- Memasukkan jarum Veress ke dalam rongga perut melalui sayatan kemudian mendistensikan rongga peritoneum dengan 2–3 liter gas (karbon dioksida atau nitrat oksida) untuk meningkatkan visualisasi organ perut dan panggul
- Memasukkan alat laparoskopi ke dalam rongga perut
- Melakukan teknik tubektomi dengan elektrokoagulasi (unipolar atau bipolar), atau oklusi tuba dengan alat mekanis seperti klip/cincin, atau salpingektomi bilateral
- Setelah tuba falopi dipotong atau diikat menggunakan teknik yang dipilih maka alat laparoskopi dan alat lainnya dikeluarkan dari rongga perut
- Luka sayatan kemudian dijahit dan diberi perban untuk perawatan luka[6,8,16]
Minilaparotomi
Tubektomi dengan metode minilaparotomi biasanya dilakukan pada wanita dengan risiko komplikasi rendah. Tindakan ini pada umumnya dilakukan setelah persalinan pervaginam ketika involusi uterus telah signifikan.
Prosedur tubektomi dengan metode minilaparotomi dilakukan dengan cara:
- Membuat sayatan sepanjang 2–3 cm di perut terkait dengan lokasi fundus uterus. Sayatan yang lebih panjang dibutuhkan pada pasien yang mengalami obesitas atau pada pasien yang gagal menjalani prosedur laparoskopi. Sayatan dilakukan infraumbilikus untuk tindakan pascapersalinan dan suprapubis untuk prosedur elektif atau interval
- Elevator uterus dapat digunakan untuk meningkatkan lokasi uterus setingkat dengan lokasi sayatan
- Pastikan bahwa terdapat bagian tuba falopi yang cukup untuk dieksisi, terutama pada wanita dengan tubektomi yang gagal sebelumnya atau yang memiliki riwayat penyakit tuba
- Teknik tubektomi yang umum digunakan antara lain teknik Pomeroy (paling umum), teknik Pritchard, dan teknik Parkland
- Teknik Pomeroy dilakukan dengan cara menjepit isthmus tuba falopi dengan klem atraumatik lalu diangkat. Bagian loop diikat dengan benang absorbable lalu dipotong. Setelah jahitan diresorpsi, kedua ujung tuba akan terpisah dan mengalami pembentukan jaringan fibrotik
- Teknik Pritchard dilakukan dengan cara melewatkan benang absorbable dan jarum melalui bagian mesosalpinx avaskular (menghindari pembuluh darah). Benang lalu diikat pada bagian proksimal dan bagian distal dari loop tuba falopi. Kemudian, loop dipotong
- Teknik Parkland dilakukan dengan cara memisahkan segmen kecil tuba dari mesosalpinx, lalu diikat kedua ujungnya dan dipotong di antara kedua ujung. Tidak seperti teknik Pomeroy, teknik ini menggunakan metode pemisahan anatomis langsung dari ujung tuba falopi yang dipotong
- Luka operasi kemudian ditutup lapis demi lapis[6,8]
Follow Up
Follow up pascatubektomi baik dengan pendekatan minilaparotomi atau laparoskopi dilakukan 1–2 minggu pascaoperasi. Selama masa tersebut, pasien harus melaporkan kondisi demam (suhu tubuh >38 derajat Celsius), nyeri abdomen yang semakin lama semakin memberat, atau darah dan nanah dari lokasi luka operasi pada dokter.[6-8]
Semua pasien yang menjalani tubektomi juga harus mendapatkan penjelasan tentang tanda dan gejala kehamilan (misalnya amenore, perdarahan atau bercak vagina, nyeri perut) dan kehamilan ektopik. Dokter juga harus menganjurkan pasien dengan tanda dan gejala kehamilan untuk segera mencari pertolongan medis.[6-8]