Pengawasan Klinis Naltrexone
Pengawasan pada penggunaan naltrexone antara lain pemantauan fungsi hati secara berkala. Metabolisme naltrexone sebagian besar terjadi di hati, sehingga ada risiko hepatotoksisitas dalam penggunaan jangka panjang dan dosis tinggi. Dalam anamnesis, klinisi perlu memperhatikan penggunaan obat-obat lain yang bersifat hepatotoksik. Apabila didapatkan tanda hepatitis, maka pemberian naltrexone perlu dievaluasi. Pasien dengan infeksi hati kronis seperti hepatitis B dapat menggunakan naltrexone selama tidak ditemukan peningkatan fungsi hati yang signifikan.[4,10]
Terdapat risiko reaksi pada lokasi injeksi, misalnya gatal, kemerahan, dan bengkak. Reaksi anafilaksis sendiri jarang terjadi. Naltrexone intramuskular harus digunakan sesuai dengan instruksi yang tertera, injeksi secara tidak sengaja secara subkutan atau intravena berpotensi menyebabkan reaksi terkait injeksi yang berat.[4,10]
Pemeriksaan fungsi hati berupa alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), gamma glutamyltransferase, dan bilirubin dilakukan sebelum memulai terapi naltrexone. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan pada bulan ke-1, 3, dan 6 pada pasien tanpa masalah fungsi hati. Pemeriksaan dilakukan lebih sering sesuai indikasi seperti memiliki riwayat penyakit hati akut, penggunaan obat hepatotoksik lain, atau penggunaan dosis tinggi (>50 mg/hari). Naltrexone sebaiknya dihindari apabila hasil pemeriksaan aminotransferase plasma meningkat 5 kali lipat atau lebih.[6]
Overdosis
Overdosis naltrexone jarang terjadi. Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas berapa dosis naltrexone yang dapat menyebabkan overdosis. Gejala overdosis obat cukup bervariasi. Beberapa laporan kasus menyatakan munculnya gejala depresi, ide bunuh diri, hipersalivasi, penurunan aktivitas, tremor, kejang tonik klonik hingga gagal napas berat. Antidot untuk naltrexone sendiri belum ada. Tata laksana terhadap overdosis bersifat suportif dan pemantauan tanda-tanda vital ketat.[2,9]