Pengawasan Klinis Pyrazinamide
Pengawasan klinis pyrazinamide diperlukan terkait risiko hepatotoksisitas. Lakukan pengukuran parameter laboratorium fungsi hati sebelum memulai terapi, secara berkala, serta apabila muncul tanda dan gejala hepatotoksisitas.[3,8-10]
Pemantauan Laboratorium
Pemeriksaan fungsi hati dan asam urat serum perlu dilakukan sebelum memulai terapi pyrazinamide, dan setiap 2-4 minggu selama terapi. Follow up dilakukan terutama pada pasien dengan penyakit hati atau berisiko tinggi mengalami drug-induced liver injury (DILI), seperti pada peminum alkohol.[3,8]
Pemantauan Reaksi Alergi
Selama terapi, perlu diawasi munculnya reaksi alergi. Jika terjadi reaksi alergi dengan gejala gatal tanpa ruam kulit, terapi dapat dilanjutkan dengan pemantauan dan diberikan terapi simtomatik dengan antihistamin dan pelembab kulit.
Namun, jika terjadi ruam kulit, pyrazinamide dan semua obat antituberkulosis lain dihentikan.Setelah reaksi alergi teratasi, dilakukan desensitisasi obat antituberkulosis, yaitu obat antituberkulosis diberikan kembali satu persatu dengan dosis yang dinaikkan bertahap selama 3 hari untuk masing-masing obat dengan urutan sebagai berikut:
Isoniazid diberikan:
- Hari ke-1: 50 mg
- Hari ke-2: 300 mg
- Hari ke-3 dan seterusnya: 300 mg
Rifampicin diberikan:
- Hari ke-4: 75 mg
- Hari ke-5: 300 mg
- Hari ke-6 dan seterusnya: dosis penuh
Pyrazinamide diberikan:
- Hari ke-7: 250 mg
- Hari ke-8: 1000 mg
- Hari ke-9 dan seterusnya: dosis penuh
Ethambutol diberikan:
- Hari ke-10: 100 mg
- Hari ke-11: 500 mg
- Hari ke-12 dan seterusnya: dosis penuh
Jika telah diketahui obat antituberkulosis yang menyebabkan reaksi alergi, regimen terapi dapat dilanjutkan tanpa obat antituberkulosis penyebab tersebut. Desensitisasi obat dikontraindikasikan pada reaksi hipersensitivitas yang tidak dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE), seperti sindrom Stevens-Johnson.[9,10]
Penulisan pertama oleh: dr. Catherine Ranatan