Pendahuluan Stretch Mark
Stretch mark atau striae distensiae adalah lesi kulit berupa guratan atrofi yang muncul akibat peregangan berlebihan pada dermis, sering terlihat pada kehamilan, obesitas, atau penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Secara histopatologi, kondisi ini ditandai dengan disorganisasi kolagen dan elastin yang menyebabkan penurunan elastisitas kulit.
Dalam praktik klinis, stretch mark dikategorikan sebagai masalah dermatologi umum yang berdampak pada estetika dan kualitas hidup pasien. Ada dua bentuk stretch mark, yakni striae rubra dan striae alba. Striae rubra muncul pada fase akut berupa lesi linear kemerahan yang rata dengan permukaan kulit dan tegak lurus terhadap arah skin tension. Sementara itu, striae alba muncul pada fase kronis berupa lesi hipopigmentasi atrofik.[1]
Etiologi stretch mark adalah peregangan kulit akibat pembesaran bagian tubuh. Stretch mark dapat timbul pada abdomen dan payudara wanita hamil, bahu binaragawan, tubuh remaja yang sedang mengalami growth spurt, dan individu overweight atau obesitas. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang atau sindrom Cushing juga dapat menimbulkan striae. Faktor genetik juga diduga berperan meskipun masih belum sepenuhnya diketahui.[2]
Stretch mark sangat sering dijumpai pada semua ras. Kondisi ini diperkirakan terjadi pada 90% wanita hamil, 70% remaja wanita, dan 40% remaja pria. Biasanya, stretch mark hanya menimbulkan masalah kosmetik. Namun, jika bersifat ekstensif, stretch mark dapat mengalami robek dan ulserasi ketika terjadi trauma fisik, misalnya akibat peregangan berlebih.[2]
Diagnosis stretch mark umumnya bisa ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan stretch mark dapat berupa penggunaan pulsed dye laser, fractional laser, microneedling, microneedling dengan radiofrekuensi, dan retinoid topikal. Tata laksana biasanya dilakukan karena keluhan kosmetik pasien.[1,2]
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha