Patofisiologi Stretch Mark
Patofisiologi stretch mark atau striae distensae melibatkan kerusakan jaringan ikat akibat peregangan kulit yang berlebihan sehingga terjadi disorganisasi serabut kolagen dan elastin di dermis. Aktivasi glukokortikoid berperan penting dalam menghambat fibroblas, menurunkan sintesis kolagen, serta meningkatkan degradasi matriks ekstraseluler. Proses ini menyebabkan penurunan elastisitas kulit dan terbentuknya guratan atrofi.[3,4]
Elastolisis Dermis
Proses terjadinya stretch mark melibatkan elastase yang dihasilkan sel mast dan aktivitas makrofag. Proses elastolisis lapisan tengah dermis kemudian diikuti dengan reorganisasi kolagen dan fibrillin.
Elastolisis terjadi melalui proses degradasi serabut elastin di dermis akibat aktivitas enzim proteolitik, terutama matrix metalloproteinases (MMPs). Kehilangan integritas dan fragmentasi elastin menyebabkan berkurangnya elastisitas kulit serta terbentuknya guratan atrofi. Secara klinis, elastolisis menjadi mekanisme utama yang menjelaskan perubahan struktural permanen pada kulit penderita stretch mark.[3,4]
Peran Peregangan Kulit
Faktor fisik berupa stres mekanik pada kulit dapat menyebabkan timbulnya stretch mark di area kulit yang mengalami peregangan drastis, seperti pada kehamilan, kenaikan berat badan drastis, growth spurt pubertas, dan hipertrofi otot akibat olahraga. Perubahan fungsi dan struktur kulit akibat faktor genetik seperti pada sindrom Marfan juga dapat berkontribusi menimbulkan stretch mark.[3,4]
Faktor hormonal juga diduga berperan dalam timbulnya stretch marks. Pada sindrom Cushing, peningkatan kortisol serum menyebabkan perubahan kolagen dan elastin melalui mekanisme peningkatan katabolisme protein. Pada kehamilan, kadar relaxin serum ditemukan lebih rendah dan diperkirakan bisa mengurangi elastisitas jaringan ikat dan meningkatkan risiko timbulnya stretch mark akibat peregangan kulit.[4]
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha