Diagnosis Tuberkulosis Paru pada Anak
Diagnosis tuberkulosis paru pada anak dipenuhi dengan tantangan karena manifestasi klinis tuberkulosis pada anak umumnya nonspesifik dan bisa dijumpai pada banyak penyakit lain. Gejala yang umum ditemui pada pasien anak adalah batuk yang tidak kunjung membaik selama 3 minggu atau lebih, demam selama setidaknya 2 minggu, dan penurunan berat badan atau gagal tumbuh.
Penyakit umumnya pausibasilar, sehingga dapat memberi hasil negatif pada pemeriksaan mikrobiologis. Rontgen toraks juga tidak dapat digunakan sebagai alat tunggal dalam penegakan diagnosis. Pada kebanyakan kasus, diagnosis tuberkulosis pada anak adalah suatu diagnosis klinis.[1-4]
Karena sulitnya mendapat konfirmasi bakteriologi pada kasus tuberkulosis anak, identifikasi kasus yang dicurigai tuberkulosis memegang peranan penting. Di Indonesia anak yang dicurigai mengalami tuberkulosis paru dapat kemudian menjalani penapisan dan pemeriksaan penunjang yang membantu menegakkan diagnosis. Eksklusi dari diagnosis banding dan respon positif terhadap obat antituberkulosis juga akan menunjang keputusan klinis.[8,19-21]
Klasifikasi Tuberkulosis pada Anak
Pada anak, tuberkulosis dapat didefinisikan menjadi:
- Terduga tuberkulosis anak: anak mempunyai keluhan atau gejala klinis sesuai tuberkulosis
- Pasien tuberkulosis anak terkonfirmasi bakteriologi: anak yang terdiagnosis dengan hasil pemeriksaan bakteriologi positif
- Pasien tuberkulosis anak terkonfirmasi secara klinis: adalah anak yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologi, tapi didiagnosis tuberkulosis oleh dokter dan diberikan pengobatan tuberkulosis[7]
Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
Berdasarkan lokasi anatominya, tuberkulosis pada anak dapat dibagi menjadi tuberkulosis paru dan ekstraparu. Tuberkulosis paru didefinisikan sebagai:
- Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim paru, termasuk tuberkulosis milier
- Pasien yang mengalami tuberkulosis paru dan ekstraparu dianggap sebagai pasien tuberkulosis paru
Pasien yang mengalami limfadenitis tuberkulosis di area dada (hilus dan mediastinum) atau efusi pleura tanpa gambaran radiologi yang mendukung tuberkulosis paru, diklasifikasikan sebagai tuberkulosis ekstraparu. Pada pasien tuberkulosis ekstraparu yang mengalami gejala pada lebih dari 1 organ, diklasifikasikan berdasarkan organ yang mengalami gejala terberat.[7]
Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan
Pasien tuberkulosis paru pada anak juga dapat diklasifikasikan berdasarkan Riwayat pengobatan sebelumnya:
- Kasus baru: belum pernah mendapat obat antituberkulosis (OAT) sebelumnya, atau sudah mendapat OAT namun kurang dari 1 bulan atau 28 dosis
- Kasus kambuh: pernah dinyatakan sembuh atau mendapat pengobatan lengkap, namun mengalami tuberkulosis lagi berdasarkan pemeriksaan klinis atau radiologi
- Diobati kembali setelah gagal: pernah mendapat OAT namun dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir
Lost to follow up: pasien yang mendapat terapi tidak lengkap karena putus berobat[7]
Klasifikasi Berdasarkan Uji Kepekaan Obat
Berdasarkan kepekaan terhadap OAT, pasien tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi:
- Mono resisten: resisten terhadap 1 OAT lini pertama
- Poli resisten: resisten terhadap lebih dari 1 OAT lini pertama, selain isoniazid dan rifampicin
Multi drug resistant: resisten terhadap isoniazid dan rifampicin secara bersamaan
Extensive drug resistant: resisten terhadap isoniazid dan rifampicin, disertai resisten terhadap salah satu obat fluorokuinolon dan salah satu dari 3 obat injeksi lini kedua (amikasin, kapreomisin atau kanamisin)
- Resisten rifampicin: resisten terhadap rifampicin yang terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya[7]
Klasifikasi Berdasarkan Status HIV
Pasien tuberkulosis paru pada anak juga diklasifikasikan berdasarkan status HIV. Pasien bisa dibagi menjadi HIV negatif, HIV positif, dan HIV tidak diketahui.[7]
Diagnosis Tuberkulosis Laten
Infeksi tuberkulosis laten mengacu pada keadaan dimana terdapat infeksi bakteri tuberkulosis dalam jumlah kecil pada tubuh, yang dikendalikan tetapi tidak dihilangkan sepenuhnya oleh respon imun. Diagnosis infeksi tuberkulosis laten ditegakkan jika ada bukti imunologis tuberkulosis, tetapi tidak ada gejala klinis, pemeriksaan fisik tidak mengarah pada tuberkulosis, dan rontgen toraks tidak menunjukkan infeksi aktif.[22]
Anamnesis
Salah satu poin penting yang harus ditanyakan dalam anamnesis yaitu riwayat kontak dengan orang dewasa yang telah terinfeksi tuberkulosis sebelumnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tuberkulosis pada anak umumnya terjadi akibat kontak erat dengan orang dewasa yang terinfeksi tuberkulosis.
Pada anak, gejala tuberkulosis paru tidak spesifik. Anak dapat datang dengan keluhan penurunan berat badan atau gagal tumbuh, batuk lebih dari 2 minggu, demam berkepanjangan, anak lesu atau tidak aktif, serta anak tetap sakit meski telah menerima pengobatan adekuat (misalnya, sudah mengonsumsi antibiotik atau antimalaria).[3,6,8,21,23]
Gejala lain yang dapat timbul antara lain anoreksia, hemoptisis, keringat berlebih di malam hari, dan nafsu makan menurun. Kelelahan, asthenia, dan malaise dapat bermanifestasi sebagai kelesuan (misalnya, malas bermain) pada anak usia muda, sedangkan pada bayi dapat muncul sebagai apatis (misalnya, kurang interaktif dengan pengasuh). Gejala ini bersifat terus-menerus dan tidak disebabkan oleh penyebab lain.
Pada anak dengan kondisi imunokompromais seperti infeksi HIV, gejala yang ditunjukkan tergantung pada derajat imunosupresi. Anak dengan infeksi HIV lebih sering mengalami tuberkulosis yang parah, termasuk tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosis.[6,8,21]
Tuberkulosis Endobronkial dengan Limfadenopati
Pada anak, manifestasi tuberkulosis paru yang paling umum adalah penyakit endobronkial dengan pembesaran kelenjar getah bening. Gejala yang timbul berupa batuk terus-menerus, gejala obstruksi bronkus atau paralisis hemidiafragma, kesulitan menelan akibat kompresi esofagus, ataupun suara serak dan kesulitan bernapas akibat paralisis pita suara.[2]
Efusi Pleura Akibat Tuberkulosis
Pada pasien anak yang lebih tua, dapat terjadi efusi pleura. Pasien umumnya mengeluhkan demam awitan akut, nyeri dada dengan peningkatan intensitas saat inspirasi, dan sesak.[2]
Tuberkulosis Primer Progresif
Pada anak dengan usia lebih muda, dapat terjadi progresi tuberkulosis primer. Hal ini menyebabkan pembesaran area kaseosa yang dapat menimbulkan pneumonia, atelektasis, dan air trapping. Anak umumnya tampak sakit, mengalami demam, batuk, malaise, dan penurunan berat badan.[2]
Reaktivasi Tuberkulosis
Reaktivasi tuberkulosis lebih banyak ditemukan pada anak usia lebih tua dan remaja. Kondisi ini umumnya terjadi pada anak yang mengalami tuberkulosis pada usia 7 tahun ke atas. Gejala bersifat subakut, disertai penurunan berat badan, demam, batuk, dan hemoptisis.[2]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan adanya mengi. Apabila pada anak dengan malnutrisi ditemukan mengi, maka anak perlu dicurigai terinfeksi tuberkulosis.
Selain itu, jika pasien mengalami efusi pleura, maka pada auskultasi dapat ditemukan suara napas yang menurun atau menghilang di area hemitoraks yang mengalami akumulasi cairan. Efusi pleura pada tuberkulosis paru anak dapat terjadi karena adanya pembesaran kelenjar getah bening intratorakal atau penyakit pada parenkim paru.
Temuan klinis lain yang dapat terjadi pada anak yaitu adanya eritema nodosum, keratokonjungtivitis, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan nyeri pada sendi.
Pada anak, penting untuk dilakukan pemeriksaan antropometri yang kemudian dimasukkan ke kurva pertumbuhan WHO sesuai usia. Pemeriksaan dilakukan dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan anak. Pada anak dengan tuberkulosis, seringkali ditemukan pertumbuhan yang tidak sesuai kurva.[5-7,23]
Sistem Skoring Tuberkulosis Paru Anak
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membuat sistem skoring untuk mencegah underdiagnosis dan overdiagnosis tuberkulosis paru pada anak (Tabel 1). Skor ditentukan berdasarkan riwayat kontak, tes Mantoux, status gizi, tanda dan gejala klinis pasien, serta hasil rontgen toraks. Riwayat kontak dinilai berdasarkan adanya konfirmasi uji basil tahan asam (BTA) pada asal pajanan.[6,7]
Tabel 1. Sistem Skoring TB Anak di Indonesia
Parameter | 0 | 1 | 2 | 3 |
Kontak dengan penderita tuberkulosis | Tidak jelas | - | Laporan keluarga, BTA negatif atau BTA tidak jelas atau tidak tahu | BTA positif (dengan bukti tertulis dari laboratorium) |
Tes Mantoux | Negatif | - | - | Positif apabila ≥ 10 mm atau ≥ 5 mm pada imunokompromais |
Keadaan Gizi | - | BB/TB <90% atau BB/U <80% | Klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60% | - |
Demam tanpa penyebab yang jelas | - | ≥ 2 minggu | - | - |
Batuk kronis | - | ≥ 2 minggu | - | - |
Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal. | - | ≥ 1 cm, > 1 kelenjar getah bening, tidak nyeri | - | - |
Pembengkakan tulang, sendi, panggul, lutut. | - | Bengkak | - | - |
Rontgen toraks | Normal atau tidak ada kelainan | Gambaran sugestif tuberkulosis | - | - |
Skor total |
Keterangan:
- BB/TB: berat badan berdasarkan tinggi badan pada kurva WHO
- BB/U: berat badan berdasarkan umur pada kurva WHO
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016.[7]
Interpretasi Sistem Skoring Tuberkulosis pada Anak
Anak dapat didiagnosis tuberkulosis dan diterapi sebagai tuberkulosis jika jumlah skor ≥6. Meski demikian, ada beberapa catatan khusus yang perlu diperhatikan:
- Jika skor 6 diperoleh dari poin kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, namun pasien tidak memiliki gejala klinis, maka pasien belum perlu diberikan OAT. Pasien cukup diobservasi atau diberikan isoniazid profilaksis
- Pasien usia balita dengan total skor 5 dan gejala klinis yang meragukan, perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjut untuk evaluasi lebih lengkap
- Jika skor 5 didapat dari poin kontak BTA positif dan 2 gejala klinis, pada fasilitas kesehatan yang tidak tersedia tes Mantoux, maka diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan dan anak dapat diberi terapi tuberkulosis. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal. Bila pasien mengalami perbaikan klinis, maka terapi dilanjutkan sampai selesai
Pada wilayah dimana fasilitas kesehatan dasar terbatas dan uji Mantoux dan rontgen toraks tidak tersedia, sistem skoring dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Anak dievaluasi setelah 2 bulan pengobatan. Jika tidak ada perbaikan klinis, maka dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, resistensi obat, ataupun ketidakpatuhan terhadap terapi.[6,7]
Pemeriksaan Penunjang
Tuberkulosis perlu dicurigai pada setiap anak dengan faktor risiko epidemiologi dan gejala atau tanda sugestif keterlibatan organ yang tidak dapat dijelaskan oleh diagnosis lain. Diagnosis dibantu oleh pencitraan, uji laboratorium tambahan dan konfirmasi mikrobiologi.
Hasil positif pada tes Mantoux dan interferon gamma release assays (IGRA) dapat mendukung diagnosis tuberkulosis. Meski demikian, perlu diketahui bahwa hasilnya dapat negatif pada 30% anak.[22]
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi dilakukan pada sputum anak, terutama pada anak usia di atas 5 tahun, HIV positif, dan memiliki gambaran kelainan yang luas pada rontgen toraks. Namun, pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena kesulitan untuk mendapatkan sampel sputum pada anak.
Sputum pada anak bisa didapatkan dengan cara batuk yang mengeluarkan dahak, bilas lambung dengan nasogastric tube (NGT), serta induksi sputum. Pada anak usia muda, produksi sputum seringkali minim, sehingga konfirmasi dengan pemeriksaan sputum sulit dilakukan dan diagnosis ditegakkan tanpa konfirmasi bakteriologi. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen bakteri tahan asam (BTA).[6,7]
Tes Cepat Molekular
Nilai diagnostik tes cepat molekuler (TCM) dilaporkan lebih baik dibandingkan uji BTA sputum. Namun, hasil TCM yang negatif belum bisa menyingkirkan diagnosis tuberkulosis.
TCM dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam, misalnya menggunakan Line Probe Assay (Hain GenoType©) dan Nucleic Acid Amplification Test (Xpert MTB/RIF©). Pemeriksaan ini dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis secara molekuler sekaligus resistensi terhadap rifampicin.[6-8,24,25]
Kultur Sputum
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah kultur atau biakan sputum. Pemeriksaan ini dilakukan pada sputum yang telah didapat sebelumnya. Selain itu, uji kepekaan obat juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan ini.
Terdapat 2 jenis media yang dapat digunakan untuk biakan, yaitu media padat (hasil biakan akan keluar dalam waktu 4–8 minggu) dan media cair (hasil biakan diketahui dalam 1–2 minggu).[7]
Tes Mantoux
Tes Mantoux atau uji tuberkulin dilakukan untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak, terutama jika kontak dengan orang yang terinfeksi tuberkulosis tidak jelas. Hasil tes Mantoux yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis, tapi tidak dapat membedakan infeksi aktif dengan laten. Sementara itu, hasil yang negatif tidak dapat dijadikan dasar eksklusi tuberkulosis pada anak.
Tes Mantoux dilakukan dengan mengukur reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap berbagai antigen Mycobacterium dalam turunan protein murni atau purified protein derivative (PPD). Tes Mantoux dilakukan dengan injeksi 0,1 ml larutan tuberkulin PPD secara intradermal. Hasil dilihat dalam 48 jam dan 72 jam. Apabila ditemukan indurasi pucat dan keras dengan diameter ≥5 mm pada pasien imunokompromais dan ≥10 mm pada pasien lainnya, maka tes Mantoux dinyatakan positif.[6,7,26]
Interferon Gamma Release Assays (IGRA)
Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan interferon gamma release assays (IGRA) (IGRA). IGRA tidak dapat membedakan infeksi tuberkulosis aktif dan laten. Sensitivitas IGRA menurun pada anak usia di bawah 2 tahun dan anak dengan kondisi imunokompromais. Di Indonesia, program nasional belum merekomendasikan penggunaan tes ini.[6-8]
Pencitraan
Rontgen toraks dilakukan untuk menunjang diagnosis tuberkulosis, namun gambaran umumnya tidak khas kecuali pada kasus tuberkulosis milier. Secara umum, gambaran yang menunjang diagnosis tuberkulosis antara lain pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat pada rontgen anteroposterior (AP) lateral, konsolidasi lobar atau segmental, efusi pleura, gambaran milier, atelektasis, kavitas, kalsifikasi dan infiltrat, serta adanya tuberkuloma.[7]
Pada anak usia kurang dari 10 tahun, dapat ditemukan gambaran rontgen toraks berupa limfadenopati hilus kanan, gambaran pneumonia kronis, dan pola milier. Sementara itu, pada anak usia 10 hingga 18 tahun dapat ditemukan gambaran post-primary tuberculosis dengan kavitas dan gambaran efusi pleura.[6,8]
Histopatologi
Studi histopatologi akan memberikan gambaran granuloma dengan nekrosis kaseosa di tengah. Selain itu, dapat ditemukan gambaran sel datia Langhans atau bakteri Mycobacterium tuberculosis.[7]