Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Apakah Anda memiliki STR?
Alo, sebelum melanjutkan proses registrasi, silakan identifikasi akun Anda.
Ya, Daftar Sebagai Dokter
Belum punya STR? Daftar Sebagai Mahasiswa

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Diagnosis Rabies general_alomedika 2022-10-17T09:41:29+07:00 2022-10-17T09:41:29+07:00
Rabies
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Diagnosis Rabies

Oleh :
dr. Putri Kumala Sari
Share To Social Media:

Diagnosis rabies perlu dicurigai pada individu dengan riwayat paparan hewan terduga rabies, serta menunjukkan gejala mirip flu pada tahap awal atau gejala neurologis pada tahap lanjut. Penyakit rabies berprogresi dengan cepat dan hampir pasti fatal ketika sudah muncul gejala, sehingga diagnosis dini penting untuk dilakukan.

Riwayat pajanan yang jelas dan munculnya gejala spesifik seperti hidrofobia atau aerofobia dapat membantu mengarahkan diagnosis rabies. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi virus rabies, antara lain isolasi virus, fluorescent antibodies test, dan reverse transcription polymerase chain reaction.[1,2]

Anamnesis

Saat anamnesis perlu digali informasi mengenai faktor risiko, seperti pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, riwayat bepergian ke daerah endemi rabies, riwayat kontak dengan hewan terduga rabies, serta anamnesis keluhan pasien.[1,3]

Riwayat Pajanan

Riwayat pasien penting untuk mengidentifikasi kemungkinan pajanan rabies atau penyakit ensefalitis penyebab lain. Meski begitu, rabies tidak dapat dieksklusi begitu saja jika tidak ada riwayat pajanan yang jelas. Riwayat gigitan hewan terinfeksi dapat langsung mengarahkan ke rabies, namun perlu digali lebih detail mengingat masa inkubasi virus yang panjang dan jalur transmisi yang bervariasi.[1,3,4]

Gejala Rabies

Rabies perlu dicurigai pada pasien dengan gejala dan tanda ensefalitis atau mielitis, termasuk instabilitas autonom, disfagia, hidrofobia, paresis, dan parestesia, terutama jika gejala prodromal nonspesifik terjadi 3-4 hari sebelum onset gejala dan tanda tersebut. Munculnya tanda neurologis yang progresif atau memburuk adalah indikator positif yang mengarah ke diagnosis rabies. Pasien dengan gejala dan tanda ensefalitis atau mielitis yang terjadi selama 2-3 minggu dengan perbaikan status neurologi atau tidak ada progresi perburukan penyakit merupakan indikator negatif diagnosis rabies.[3]

Fase Rabies

Manifestasi klinis rabies terjadi secara bertahap melalui 5 fase.

Fase Inkubasi:

Fase Inkubasi (masa inkubasi), yaitu periode waktu sejak inokulasi sampai munculnya gejala rabies. Lokasi inokulum mempengaruhi lamanya masa inkubasi. Inokulum dari cakaran hewan di tangan pasien dapat memiliki masa inkubasi yang lebih panjang dibandingkan inokulum dari gigitan hewan di kepala atau leher pasien. Masa inkubasi yang lama dapat menyulitkan diagnosis karena riwayat pajanan yang mungkin terabaikan atau terlupa.[4,5]

Fase Prodormal:

Fase prodromal, yaitu munculnya gejala nonspesifik yang mirip dengan gejala infeksi virus lain. Gejala dapat mencakup flu-like illness, mialgia, demam, menggigil, malaise, tidak nafsu makan, insomnia, sakit kepala hebat, sakit tenggorokan, mual, muntah, diare, dan nyeri berupa sensasi tertusuk, nyeri menggelitik, atau sensasi terbakar di area inokulasi. Fase prodromal dapat berlangsung antara 2-10 hari.[2,4,5]

Fase Neurologis Akut:

Fase neurologis akut, yaitu ketika gejala neurologi mulai muncul. Fase ini berkaitan dengan tanda objektif pada sistem saraf pusat, meski begitu kesadaran pasien masih baik. Fase ini dapat berlangsung antara 2-7 hari. Terdapat 3 macam manifestasi klinis pada fase ini, yaitu tipe furious (paling sering), tipe paralitik, atau manifestasi non-klasik (sangat jarang).[4,5]

Manifestasi tipe furious antara lain agitasi, hiperaktif, gelisah, memukul, menggigit, bingung, halusinasi, afasia, fasikulasi otot, spasme otot, kejang, priapismus, delirium, hidrofobia, aerofobia, hiperlakrimasi, hipersalivasi, dan hiperhidrosis. Setelah beberapa jam hingga hari, gejala furious tersebut menjadi episodik (berlangsung <5 menit) diselingi dengan periode tenang dan kooperatif. Episode furious dapat dipicu oleh stimulus visual, auditori, sentuhan, atau muncul secara spontan. Manifestasi furious dapat langsung berakhir pada kematian atau berprogresi menjadi paralisis.

Manifestasi tipe paralitik yaitu terjadinya paralisis, dimulai dari area inokulasi kemudian menjadi difus. Pasien dengan manifestasi paralitik tampak tenang, dengan gejala yang prominen yaitu demam dan nyeri kepala. Masa hidup pasien dengan manifestasi tipe paralitik umumnya lebih lama dibandingkan tipe furious. Kematian pada tipe paralitik terjadi akibat paralisis otot pernapasan dan jantung. Rabies dengan manifestasi tipe paralitik ini sering salah terdiagnosis sehingga tidak terlaporkan sebagai kasus rabies.[2,4,5]

Manifestasi non-klasik sangat jarang terjadi. Manifestasi tipe ini biasanya berkaitan dengan kejang serta gejala motorik dan sensorik yang nyata.[4]

Fase Koma:

Fase koma, yaitu terjadinya periode apnea yang memanjang dan paralisis flaccid. Hidrofobia masih dapat terjadi pada fase ini.[4,5]

Fase Akhir:

Fase akhir, yaitu terjadinya kematian dalam 2-3 hari setelah onset fase koma dengan atau tanpa penanganan suportif terhadap kegagalan kardiopulmoner.[4]

Pemeriksaan Fisik

Abnormalitas pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan seiring dengan munculnya gejala dan progresi penyakit. Tanda klinis dapat bervariasi sesuai dengan tipe dari gejala neurologis yang dialami pasien.

Tipe Furious

Pada pasien rabies dengan manifestasi tipe furious dapat ditemukan peningkatan reflek tendon dalam dan kaku kuduk. Temuan lain mencakup tanda Babiski positif, takikardia, takipnea, hipertensi, demam, pupil anisokor, dan dilatasi pupil (blown pupil). Pasien juga bisa mengalami neuritis optik, palsi wajah, midriasis, dan hipotensi postural.

Tipe Paralitik

Pada pasien rabies dengan manifestasi tipe paralitik dapat ditemukan demam, kaku kuduk, paralisis simetris, generalized, atau ascending. Sedangkan pemeriksaan sensoris umumnya normal. Kesadaran pasien kemudian secara bertahap akan berprogresi menjadi delirium, stupor, dan koma.

Fase Koma

Pada pasien rabies yang telah memasuki fase koma, dapat terjadi tekanan darah yang bervariasi, aritmia, hipotermia, bradikardia, henti jantung, sindrom distres pernapasan akut, hipoventilasi, asidosis metabolik, dan gagal napas. Kematian dapat terjadi dengan maupun tanpa perawatan intensif. Beberapa tanda neurologi dapat rancu terhadap kematian otak sehingga penting untuk mengkonfirmasi kematian otak dengan biopsi atau tidak-adanya aliran arteri serebri.[4,5]

Diagnosis Banding

Diagnosis banding rabies antara lain botulisme, ensefalitis penyebab lain, sindrom Guillain-Barre, poliomielitis, dan tetanus.[4,5]

Botulisme

Botulisme adalah penyakit neurologi akut yang dapat berprogresi ke arah neuroparalisis yang mengancam nyawa. Penyakit ini disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan Clostridium botulinum. Perjalanan penyakit botulisme mirip dengan rabies tipe paralitik, dimana gejala awal bersifat nonspesifik kemudian muncul manifestasi paralisis.

Pembeda yang lebih spesifik yaitu pada botulisme terjadi paralisis nervus kranialis, paralisis saraf motorik yang bersifat simetris dan descending, salivasi berkurang,serta  tendon refleks dalam menurun atau hilang. Diagnosis botulisme dikonfirmasi dengan pemeriksaan isolasi toksin botulisme dari sampel serum, feses, aspirasi gaster, atau makanan terkontaminasi yang dicurigai.[8]

Ensefalitis Penyebab Lain

Riwayat pasien, durasi dan progresi penyakit, dan pemeriksaan laboratorium dapat membedakan ensefalitis rabies atau ensefalitis penyebab lain. Riwayat perjalanan ke daerah endemi rabies dan pajanan hewan terduga rabies dapat membantu arah diagnosis.

Hidrofobia dan aerofobia tidak dijumpai pada ensefalitis penyebab lain. Durasi tanda dan gejala ensefalitis lebih dari 2-3 minggu atau tidak ada progresi status neurologis merupakan indikator negatif diagnosis rabies. Pemeriksaan laboratorium untuk mengeksklusi ensefalitis penyebab lain, misalnya virus herpes, enterovirus, dan arbovirus. Hasil negatif pada pemeriksaan tersebut meningkatkan kemungkinan diagnosis rabies.[3,9]

Sindrom Guillain-Barre

Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah sindrom yang bermanifestasi sebagai inflamasi akut poliradikuloneuropati dengan gejala klasik yaitu kelemahan ascending dan hilangnya refleks. Pada GBS terjadi paralisis nervus kranial yang tidak ditemukan pada rabies. Kesadaran pasien dengan GBS masih baik, sedangkan pada rabies terjadi progresi cepat ke arah koma hingga kematian.[10]

Poliomielitis

Poliomielitis disebabkan oleh poliovirus yang menyerang medula spinalis. Perjalanan penyakit poliomielitis mirip dengan rabies tipe paralitik, dimana gejala awal bersifat nonspesifik kemudian muncul manifestasi paralisis.

Gejala awal nonspesifik pada poliomielitis dapat berlangsung selama 2-3 minggu bahkan hingga 2 bulan sebelum munculnya gangguan sistem saraf pusat. Pada poliomielitis tidak terjadi gangguan saraf sensorik. Paralisis yang muncul pada poliomielitis akan memasuki fase recovery selama 2 tahun, sedangkan pada rabies terjadi progresi perburukan yang cepat hingga kematian. Pada poliomielitis terjadi deformitas yang tidak ditemukan pada rabies.[11]

Tetanus

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten, tidak ada gangguan status mental, tidak terdapat hidrofobia, dan pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya normal.[12]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang rabies idealnya harus terstandarisasi, cepat, sensitif, spesifik, ekonomis, dan dapat dipercaya. Hingga saat ini, belum ada pemeriksaan tunggal yang cukup untuk memberikan diagnosis pasti rabies sehingga diagnosis perlu ditunjang oleh lebih dari 1 pemeriksaan.

Pemeriksaan untuk mengeksklusi ensefalitis penyebab lain (virus herpes, enterovirus, arbovirus) juga dapat dilakukan. Hasil negatif pada pemeriksaan tersebut dapat meningkatkan kemungkinan diagnosis rabies.[3]

Isolasi Virus

Sampel yang hanya mengandung sedikit virus rabies dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Dengan isolasi virus dalam kultur sel, virus akan bereplikasi sehingga dapat meningkatkan konsentrasi virus untuk dapat terdeteksi. Virus rabies dapat diisolasi dari sampel saliva, konjungtiva, cairan serebrospinal, dan urine. Isolasi virus sebaiknya dilakukan pada hari 1-4 sebelum muncul antibodi penetralisir.[4,5]

Pemeriksaan Fluorescent Antibodies Test

Pemeriksaan fluorescent antibodies test (FAT) digunakan untuk mendeteksi antigen virus rabies. Sampel pemeriksaan dapat diambil dari jaringan otak, air liur, kerokan mukosa, cairan serebrospinal, urine, biopsi kulit belakang leher, dan usap kornea (corneal touch impression). Hasil negatif palsu dapat terjadi bila antibodi telah terbentuk.[3-5]

Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test

Rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT) digunakan untuk memonitor kadar antibodi penetralisir virus rabies pada individu yang memiliki pekerjaan atau aktivitas berisiko terpapar virus rabies, untuk menilai serostatus individu yang telah mendapat PEP, dan untuk menilai status imun pada pasien immunosuppressed. Sampel pemeriksaan didapatkan dari cairan serebrospinal. Pemeriksaan dilakukan dalam kultur sel dengan pewarnaan imunofluoresensi sel yang terinfeksi sebagai indikator replikasi virus rabies.[3,5]

Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction

Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) digunakan untuk mendeteksi virus dengan metode amplifikasi asam nukleat. Sampel pemeriksaan dapat diambil dari saliva, biopsi kulit belakang leher, cairan serebrospinal, dan urine.[3,4,5]

Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat mendukung diagnosis rabies antara lain pemeriksaan hematologi, analisis gas darah, radiologi, dan electroencephalography.[5]

Pemeriksaan Hematologi:

Pada pemeriksaan hematologi dapat ditemukan angka leukosit yang bervariasi dari normal-meningkat dimana 6-8% merupakan monosit atipikal.[5]

Analisis Gas Darah:

Pada pemeriksaan analisis gas darah dapat ditemukan alkalosis respiratorik dan asidosis respiratorik. Alkalosis respiratorik terjadi akibat hiperventilasi pada fase prodromal dan fase neurologi akut awal. Asidosis respiratorik terjadi pada depresi napas yang terus berlanjut.[5]

Pemeriksaan Radiologi:

Pemeriksaan radiologi toraks pada fase neurologi akut dapat menunjukkan temuan infiltrat akibat aspirasi, pneumonia nosokomial, sindrom pernapasan akut, atau gagal jantung kongestif. Pemeriksaan computed tomography scan (CT scan) otak dapat normal atau tidak menunjukkan adanya abnormalitas. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan peningkatan nonspecific low-level T2 enhancement sepanjang pleksus neuron dan radiks ganglion, kemudian muncul moderate gadolinium enhancement di talamus, substasia nigra, batang otak, materi otak abu-abu, dan saraf kranial.[5]

Electroencephalography:

Electroencephalography (EEG) dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan ensefalopati. Adanya vasospasme menyeluruh dari arteri serebri di minggu pertama penyakit menyebabkan amplitudo EEG dapat turun mendadak sehingga terlihat seperti kematian otak (didukung oleh temuan pupil anisokor atau terfiksir akibat disautonomia). Namun, temuan-temuan tersebut dapat kembali normal dengan kembalinya aliran darah.

Pemeriksaan kematian otak pada rabies dikonfirmasi dengan tidak adanya aliran arteri serebri pada scan aliran arteri serebri atau dengan biopsi otak.[5]

Pemeriksaan Histopatologi Post-Mortem

Temuan umum histopatologi pada biopsi otak yaitu kongesti serebri dan inflamasi ensefalitis, sedangkan kematian sel neuron umumnya tidak ditemukan. Deposisi virion dalam sitoplasma dapat ditemukan pada pemeriksaan fluoresensi antibodi atau imunohistokimia dari jaringan otak atau kulit. Pada pemeriksaan mikroskop jaringan biopsi otak dengan ensefalitis rabies dapat ditemukan adanya Negri bodies dalam neuron dan inklusi sitoplasmik bulat dari kumpulan nukleokapsid.[5]

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Sunita

Referensi

1. United Kingdom Health Security Agency. Guidelines on managing rabies post-exposure. 2021. https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1037545/Guidelines_on_rabies_post-exposure_treatment___September_2021.pdf
2. World Health Organization. Rabies. 2021. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies
3. Centers For Disease Control And Prevention. Rabies. 2020. https://www.cdc.gov/rabies/about.html
4. Koury R, Warrington SJ. Rabies. [Updated 2021 Nov 9]. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448076/
5. Gompf SG. Rabies. 2022. https://emedicine.medscape.com/article/220967-overview
6. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan Analisis Rabies 2020. 2020. https://d3v.kemkes.go.id/publikasi/page/info-datin/situasi-dan-analisis-rabies
7. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Repbulik Indonesia. Petunjuk Teknis Rabies Center. 2020. https://www.dinkes.pulangpisaukab.go.id/2021/10/06/buku-petunjuk-teknis-rabies-center-2020/
8. Chan-Tack KM. Botulism. 2019. https://emedicine.medscape.com/article/213311-overview
9. Howes DS. Encephalitis. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/791896-overview
10. Andary MT. Guillain-Barre Syndrome. 2022. https://emedicine.medscape.com/article/315632-overview
11. Ranade AS. Poliomyelitis. 2020. https://emedicine.medscape.com/article/1259213-overview
12. Hinfey PB. Tetanus. 2019. https://emedicine.medscape.com/article/229594-overview

Epidemiologi Rabies
Penatalaksanaan Rabies

Artikel Terkait

  • Protokol Profilaksis Rabies
    Protokol Profilaksis Rabies
Diskusi Terkait
Anonymous
Dibalas 25 Maret 2025, 13:23
Penggunaan vaksin anti rabies Verorab dan Rabivax selang seling apakah diperbolehkan?
Oleh: Anonymous
1 Balasan
Alo Dokter. Bagaimana penggunaan 2 jenis VAR yang ada di Indonesia, yakni Verorab dan Rabivax? Apakah bisa dipergunakan selang seling? Apabila vaksin-1...
Anonymous
Dibalas 01 Desember 2024, 00:42
Vaksin Rabies Post-Exposure bolehkan diberikan pada pasien sedang gastroenteritis akut
Oleh: Anonymous
2 Balasan
Alo dokter, izin konsul dok laki-laki 25 tahun datang dengan lemas mual muntah dan mencret sejak 1 hari ini. Saat dilakukan observasi di igd, pasien baru...
Anonymous
Dibalas 21 September 2024, 22:01
Apakah luka cakaran kucing di alis perlu vaksin rabies?
Oleh: Anonymous
1 Balasan
Ijin bertanya sejawat semua, Saya ada pasien anak usia 8tahun, terkena cakaran kucing di alis sebelah kiri. Datang meminta vaksin rabies. Apakah memang kasus...

Lebih Lanjut

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Alomedika.com All Rights Reserved.