Patofisiologi Gangguan Gait
Patofisiologi gangguan gait sangat komplek dan berbeda berdasarkan pola kelainannya. Gangguan gait merupakan perubahan gerakan saat fase gait normal. Gait normal terdiri dari dua fase yaitu fase berdiri dan fase ayunan yang saling kontralateral antara dua tungkai saat berjalan.
Gait Normal
Gait normal memiliki dua siklus yang terdiri dari fase berdiri dan fase ayunan. Saat salah satu tungkai mengayun, maka posisi tungkai kontralateral adalah berdiri. Durasi di setiap fase bervariasi tergantung pada kecepatan langkah dan dapat dipengaruhi tipe gait. Gait normal dipengaruhi kombinasi dari kontrol sistem saraf pusat, serta umpan balik sistem saraf tepi.[1,2]
Untuk mempertahankan pusat gravitasi seseorang pada posisi tegak saat istirahat bergantung pada umpan balik sensorik. Kontrol postural merupakan komponen penting dari gait yang tergantung pada integrasi input sensorik dan koordinasi spatiotemporal. Kontrol postural dipengaruhi oleh integrasi informasi visual, vestibular, dan somatosensori. Seiring bertambahnya usia, input ini berkurang, memperburuk gaya berjalan normal.
Satu siklus gait dimulai saat heel strike pertama sampai terjadi heel strike berikutnya. Fleksi pinggul mengubah tungkai dari posisi berdiri ke posisi mengayun. Sistem saraf pusat menafsirkan perubahan posisi individu dan membantu mempertahankan keseimbangan. Ketika ada penyakit atau kerusakan pada bagian saraf pusat maka akan terjadi ketidaknormalan proses yang akan mengganggu kestabilan gait.[1,3]
Gangguan Gait
Gangguan gait dapat berasal dari masalah neurologis ataupun non-neurologis. Penyebab non-neurologis umum pada gangguan gait adalah osteoarthritis pinggul dan lutut, deformitas ortopedi, serta gangguan visual. Gangguan non-neurologis paling sering menimbulkan antalgic gait. Di sisi lain, penyebab neurologis lebih banyak menimbulkan variasi gangguan gait seperti spastic gait, parkinsonian gait, cerebellar ataxic gait, sensory ataxic gait, frontal gait, dan psychogenic gait.[3,4]
Antalgic Gait
Antalgic gait disebabkan oleh kondisi yang menyebabkan nyeri pada ekstremitas bawah, misalnya trauma, osteoarthritis, sprain pergelangan kaki, atau fraktur. Karakteristik antalgic gait adalah range of motion (ROM) yang berkurang, pincang, langkah pendek dan lambat, tidak mampu menopang berat badan, serta nyeri bertambah saat bergerak atau menopang berat badan.
Pasien akan lebih cenderung menopang berat badan pada kaki yang sehat sehingga pincang. Untuk mengurangi nyeri, pergelangan kaki pada sisi yang nyeri cenderung tetap (fixed position) saat bergerak.[4]
Spastic Gait
Spastic gait disebabkan oleh lesi pada traktus kortikospinalis pada level manapun dan bisa unilateral atau bilateral. Pada lesi unilateral maka tungkai yang terkena ditahan dalam posisi ekstensi dan fleksi plantar,sedangkan lengan ipsilateral sering fleksi. Terdapat sirkumduksi pada tungkai yang terkena selama fase ayunan setiap langkah. Penyebab umum kelainan ini adalah stroke atau lesi unilateral lain dari korteks serebral.
Jika lesinya bilateral, gaya berjalan spastik mungkin tampak kaku atau seperti menggunting karena peningkatan tonus pada otot adduktor. Penyebab umum gangguan spastic gait bilateral (spastis paraparesis) antara lan cerebral palsy, mielopati spondilotik serviks, dan multiple sclerosis.[5]
Cerebellar Ataxic Gait
Penyebab cerebellar ataxic gait adalah degenerasi serebelum, intoksikasi obat atau alkohol, multiple sclerosis, stroke, serta defisiensi vitamin B12 atau B1. Ciri-ciri gangguan ini adalah gaya berjalan wide-based, berjalan tidak stabil, dengan gerakan dan step length ireguler.
Orang dengan gait ini akan menunjukkan gerakan kompensasi berupa tubuh berayun ke samping dan sedikit membungkuk. Kelainan akan semakin tampak jika pasien berputar atau melakukan gerakan lebih kompleks, misalnya pada uji tandem gait).[6]
Parkinsonian Gait
Parkinsonian gait disebabkan oleh penyakit Parkinson atau dapat juga disebabkan oleh parkinsonism atipikal atau sekunder. Ciri-ciri gait ini adalah bradikinesia, rigiditas, postur tidak stabil, resting tremor, langkah pendek, berjalan lambat, narrow-based, dan ayunan tangan berkurang.
Pasien seperti menyeret kaki saat berjalan. Pasien akan sulit berubah posisi dari duduk ke berdiri tanpa bantuan tangan. Ketika pasien diajak bicara sambil berjalan, kelainan gait akan semakin jelas. Pasien juga lebih mudah untuk naik tangga dibandingkan berjalan di lantai datar. Selain itu, saat berputar, pasien menggunakan banyak langkah kecil-kecil.[7]
Sensory Ataxic Gait
Sensory ataxic gait disebabkan oleh gangguan proprioseptif akibat polineuropati sensori atau disfungsi kolumna dorsalis. Ciri-ciri gait ini adalah wide-based, berjalan tidak stabil dan lebih hati-hati dibandingkan cerebellar ataxic gait dengan step length yang pendek.
Pada gait ini, tidak hanya fungsi proprioseptif saja yang hilang, melainkan fungsi sensori distal turut hilang. Input sensori dari proprioseptif dapat digantikan oleh input visual. Akibatnya, pasien dapat berdiri dengan base sempit (tes Romberg) dan akan jatuh jika mata ditutup (tes Romberg dipertajam).[8]
Frontal Gait
Kelainan gait ini dikenal juga sebagai frontal gait ataxia, gait apraxia, magnetic apraxia, ataupun marche à petits pas. Frontal gait disorders disebabkan oleh degenerasi lobus frontal, multi infark, normal pressure hydrocephalus, atau penyakit Alzheimer.
Ciri-ciri frontal gait adalah lupa cara berjalan atau menginisiasi berjalan, sulit berdiri atau berubah posisi, dan keseimbangan terganggu. Setelah berjalan beberapa waktu, gait semakin membaik. Terkadang pasien berhenti, terutama saat berputar atau menemukan rintangan. Pasien juga dapat menunjukkan gejala lain akibat kerusakan lobus frontal.[4]
Psychogenic Gait
Psychogenic gait disebabkan oleh gangguan somatoform, misalnya malingering atau factitious. Ciri-ciri dari gangguan berjalan ini adalah gait yang aneh tetapi jarang menyebabkan jatuh atau cedera dan tidak ditemukan adanya gangguan neurologis lain. Psychogenic gait dicurigai jika gejala klinis pasien tidak konsisten, atau hilang timbul tanpa pola yang jelas.[9,10]
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono