Pendahuluan Injeksi Intramuskuler
Injeksi intramuskuler adalah tindakan memasukan obat atau sediaan biofarmasi cair, seperti kontrasepsi hormonal atau vaksin, menggunakan spuit ke dalam otot. Lokasi otot yang dipilih yakni otot yang memiliki vaskularisasi yang baik dan memungkinkan obat diserap lebih cepat dan efisien daripada yang diberikan dengan rute yang lain. Otot yang sering digunakan adalah otot deltoid, otot ventrogluteal, dan otot quadricep femoris.[1,2]
Tindakan injeksi intramuskuler utamanya digunakan untuk administrasi produk biofarmasi yang hanya dapat diberikan secara intramuskuler, seperti vaksin influenza dan injeksi toksin botulinum. Pemberian injeksi intramuskuler juga dapat bermanfaat pada pasien-pasien yang tidak kooperatif atau tidak patuh, seperti pada pasien schizophrenia.[2,3]
Injeksi intramuskuler juga menawarkan efek obat jangka panjang, mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan, seperti pada penggunaan kontrasepsi hormonal. Injeksi intramuskuler juga dapat digunakan ketika tolerabilitas obat oral buruk, ataupun untuk memastikan kepatuhan pengobatan misalnya pada pasien tuberkulosis.[2,3-5]
Kontraindikasi injeksi intramuskuler adalah penyuntikan pada area yang mengalami infeksi, trauma, cedera, atau atrofi otot. Injeksi intramuskuler juga dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami trombositopenia atau gangguan koagulasi. Kontraindikasi lain mengikuti kontraindikasi dari obat yang diberikan, misalnya adanya riwayat hipersensitivitas terhadap obat atau komponen lain dalam sediaan obat.[1,2]
Sebelum melakukan injeksi intramuskuler, obat yang akan disuntikan beserta jarum dan spuit yang akan digunakan harus disiapkan. Kemudian, dokter memilih area penyuntikan dan melakukan pemeriksaan lokalis pada area tersebut. Lakukan tindakan aseptik antiseptik pada area yang akan disuntik, dan selanjutnya menyuntikkan obat bada otot dengan sudut 90 derajat terhadap area penyuntikan.[2]
Komplikasi injeksi intramuskuler umumnya ringan, berupa nyeri pada area yang disuntik, bengkak, dan kemerahan. Pada kasus yang jarang, dapat terjadi fibrosis otot, kontraktur otot, abses di tempat suntikan, ganggren, dan cedera saraf. Cedera bahu terkait vaksinasi (shoulder injury related to vaccine administration/SIRVA) dan bursitis subdeltoid atau subakromial juga dapat terjadi, yang ditandai dengan nyeri bahu dan penurunan ruang gerak sendi setelah vaksinasi.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah risiko penularan penyakit, termasuk HIV dan hepatitis B. Petugas kesehatan perlu memastikan bahwa setiap pasien menggunakan jarum dan spuit yang berbeda (single use syringe).[2,6]