Teknik Electroconvulsive Therapy
Teknik electroconvulsive therapy atau ECT diberikan secara serial. Kebanyakan pasien membutuhkan 6‒12 kali tindakan. Tindakan ECT hanya dilakukan 1 kali sehari dengan jeda 24 jam setiap 2 atau 3 kali tindakan berurutan. Saat ini prosedur ECT dilakukan dengan anestesi untuk mengurangi kesakitan pada pasien.[3,9]
Persiapan Pasien
Persiapan untuk ECT mencakup persiapan untuk ECT dan tindakan anestesinya. Pasien diminta berpuasa minimal 6 jam sebelum dilakukan tindakan ECT.
Pemeriksaan Pra Anestesi
Pemeriksaan fisik awal bisa dilakukan oleh psikiater. Namun untuk pasien-pasien dengan risiko tinggi, pemeriksaan pra anestesi yang lengkap sebaiknya dilakukan oleh tim anestesi. Pengambilan riwayat medis dan pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Penekanan pada pemeriksaan riwayat penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit katup jantung, hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit paru obstruktif kronis, refluks gastroesofageal, dan riwayat anestesi sebelumnya.[3,9]
Riwayat lain yang perlu digali adalah riwayat trauma atau operasi kepala, kejang, keluhan neurologis fokal atau general, dan trauma/patologi muskuloskeletal.[9]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin, dan elektrolit. EKG 12 lead sebaiknya dilakukan, terutama pada pasien berusia 60 tahun ke atas.[4]
Obat-obatan
Obat-obat yang bisa membantu memperbaiki kondisi pasien agar lebih aman ketika dilakukan ECT sebaiknya tetap diberikan, misalnya obat antihipertensi, steroid, anti GERD, antiangina, dan antiaritmia. Namun pemberiannya minimal 3 jam sebelum dilakukan ECT dengan jumlah air untuk membantu menelan minimal.[4]
Obat-obat yang meningkatkan risiko bahaya ECT sebaiknya dihindari untuk diberikan selama tindakan ECT, misalnya diuretik seperti furosemide ,obat dengan efek hipoglikemia seperti glibenclamide , benzodiazepine long acting seperti diazepam dan clonazepam, lithium karbonat, antikonvulsan, suplemen yang mengandung magnesium, dan inhibitor asetilkolinesterase.[4]
Persiapan Ruangan
Ruangan yang akan digunakan untuk ECT sebaiknya adalah ruangan khusus untuk ECT yang nyaman dan cukup luas untuk mengakomodasi semua personil ECT. Ruangan ECT harus mempunyai akses ke troli emergensi, tabung oksigen, alat suction, telepon, dan lampu emergensi. Ruangan juga memungkinkan bila sewaktu-waktu diperlukan tindakan CPR.[2]
Semua ruangan ECT harus dilengkapi dengan peralatan berikut:
- Larutan atau gel yang bisa menghantarkan arus listrik
- Alat monitoring tanda vital dan fungsi kardiovaskular, termasuk pulse oximetry
- Sumber daya manusia: spesialis anestesi, psikiater yang melakukan prosedur ECT, dan anggota pendukung seperti perawat dan asisten perawat
- Peralatan anestesi dan resusitasi[4,9]
Persiapan Peralatan ECT
Alat ECT modern dilengkapi dengan fasilitas:
- Elektroda untuk disposable EEG
- Elektroda untuk menghantarkan stimulus dengan diameter minimal 5 cm untuk mencegah terjadinya luka bakar
- rus yang konstan, output bi-directional brief pulse square wave
- Alat ECT harus mempunyai memberikan daya listrik sebesar 1000 mC. Pada alat ECT dengan voltase 450 V, ini setara dengan daya sebesar 104 Joules
- Mampu menghantarkan berbagai parameter stimulus, termasuk pulse dengan durasi singkat
- Terhubung dengan monitor EEG dengan setidaknya 2 channel dan printer kertas
- Metode untuk mengukur impedansi sirkuit
- Mekanisme keamanan pada tombol untuk ECT untuk mencegah discharge secara tidak sengaja/kecelakaan
- Perawatan rutin oleh tenaga terlatih untuk peralatan medis
Posisi Pasien
Posisi pasien ketika akan dilakukan ECT adalah berbaring terlentang dengan kepala berada pada sisi alat ECT. Pasien berbaring tanpa bantal dan berpakaian longgar.
Prosedural
Prosedur ECT terdiri dari sebelum tindakan, sewaktu tindakan, dan setelah tindakan.
Sebelum Tindakan
Sebelum tindakan ECT, pasien diminta untuk berpuasa minimal 6 jam untuk mencegah regurgitasi ketika kejang. Setelah pasien berbaring sambungkan alat monitoring seperti cuff sphygmomanometer, lead EKG dan EEG untuk monitoring. Semua aksesoris berbahan logam yang ada pada pasien harus dilepaskan, termasuk gigi palsu. Sebaiknya pasien tidak mendapatkan obat sebelum ECT selain obat yang diperlukan untuk mengurangi risiko ECT (misalnya antihipertensi). Setelah semua siap, maka dilakukan tindakan anestesi umum.[2]
Sewaktu Tindakan
ECT dilakukan dengan menempatkan elektroda bilateral di atas lobus temporalis. Apabila ada kekhawatiran akan terjadi konfusi post-iktal, maka bisa digunakan elektroda unilateral pada hemisfer non-dominan. Namun, penempatan elektroda bilateral lebih efektif dibandingkan penempatan unilateral.[3,5]
Pasca stimulasi, akan timbul kejang tonik klonik dalam 5‒10 detik. Idealnya kejang selama 15‒120 detik. Bila kejang terjadi lebih dari 120 detik, maka harus dilakukan intervensi untuk menghentikan kejang.[1]
Selama kejang, harus dilakukan manuver untuk menjaga agar jalan nafas pasien tetap terbuka. Gunakan oropharyngeal airway seperti goedel maupun alat untuk mencegah pasien menggigit pada fase kejang. Dilakukan monitoring tanda vital, EKG, dan EEG selama kejang.[4]
Setelah Tindakan
Setelah tindakan, pindahkan pasien ke ruang pemulihan. Petugas terlatih harus memonitor jalan nafas, denyut nadi, tekanan darah, tanda adanya kejang tardive, saturasi oksigen, serta tingkat kesadaran dan orientasi pasien.[4]
Follow Up
Follow up dilakukan selama 24 jam pasca tindakan untuk melihat adanya efek samping pada pasien. Efek samping yang timbul pada pasien umumnya akan menghilang sendiri dan tidak membutuhkan intervensi. Pasien disarankan untuk mengurangi aktivitas fisik pasca tindakan ECT.[4]