Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Apakah Anda memiliki STR?
Alo, sebelum melanjutkan proses registrasi, silakan identifikasi akun Anda.
Ya, Daftar Sebagai Dokter
Belum punya STR? Daftar Sebagai Mahasiswa

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Teknik Defibrilasi general_alomedika 2022-08-02T09:33:28+07:00 2022-08-02T09:33:28+07:00
Defibrilasi
  • Pendahuluan
  • Indikasi
  • Kontraindikasi
  • Teknik
  • Komplikasi
  • Edukasi Pasien
  • Pedoman Klinis

Teknik Defibrilasi

Oleh :
dr. Reren Ramanda
Share To Social Media:

Teknik defibrilasi yang baik akan menghasilkan kejut listrik yang merangsang sel jantung selama periode refrakter untuk menghasilkan respons pasca syok yang berkepanjangan. Hal ini dapat menghilangkan irama yang ireguler dan diharapkan akan muncul irama baru yang normal. Perlu dicatat bahwa defibrilasi merupakan tindakan gawat darurat yang harus dilakukan dengan sigap dan cekatan.

Saat melakukan defibrilasi, harus dilakukan resusitasi jantung paru secara simultan. Selanjutnya begitu irama shockable dikenali pada pasien henti jantung, segera dilakukan defibrilasi. Prosedur defibrilasi dilakukan bersama siklus resusitasi jantung paru pada pasien sambil dilakukan pemasangan akses intravena dan medikasi sesuai kebutuhan.[1-4]

Saat ini lebih dianjurkan melakukan defibrilasi dengan teknik kejut tunggal dengan dosis energi yang adekuat dari pada defibrilasi yang dilakukan dengan memberikan kejutan berulang dari dosis energi terendah hingga tertinggi. Defibrilasi dengan memberikan gelombang kejut berulang terbukti dapat meningkatkan kerusakan miokardium pada pasien dengan semakin banyaknya pengulangan.[17]

Selain itu, pemberian dosis energi yang adekuat juga sangat penting, karena dosis energi yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan cedera miokardium. Sehingga saat ini defibrillator bifasik lebih dianjurkan karena dapat memberikan luaran kejut yang sama efektifnya dengan defibrilator monofasik dengan perbandingan energi yang lebih rendah.[17]

Persiapan Pasien

Saat mempersiapkan prosedur defibrilasi, pasien tetap menjalani resusitasi jantung paru (RJP) secara simultan. Sebelum defibrillator pad diletakkan di area dada, petugas terlebih dahulu melepaskan aksesoris dan pakaian yang melekat di area dada. Begitu persiapan peralatan selesai dilakukan, pasien segera diberikan defibrilasi.[3,18]

Demi keamanan, petugas harus memastikan bahwa masker oksigen atau nasal kanul dijauhkan dari area dada pasien. Hal ini dilakukan sebagai prosedur pencegahan terjadinya kebakaran apabila terjadi kesalahan saat penggunaan defibrillator paddle sehingga timbul percikan bunga api saat defibrilasi berlangsung.[2]

Sebelum memberi kejut (shock), penonton dan tenaga kesehatan harus dipastikan tidak kontak dengan pasien atau alasnya. Pasien dipindahkan dari tanah yang basah atau lembab sebelum diberikan kejut.[1-4]

Peralatan

Peralatan yang dibutuhkan pada prosedur defibrilasi antara lain adalah cardiac monitor dengan alat defibrilasi manual atau alat automated external defibrillator (AED). Khusus pasien pediatri dengan berat badan di bawah 10 kg atau berusia di bawah 1 tahun, paddle defibrillator harus diganti dengan infant pad. Bila tidak terdapat infant pad, defibrillator pad dewasa dapat digunakan tapi dengan menjaga agar kedua bagian tidak bersentuhan.[1,3]

Penggunaan peralatan defibrilasi tipe bifasik lebih disarankan daripada yang monofasik karena dapat mengembalikan denyut jantung dengan dosis listrik yang lebih rendah dari pada tipe monofasik. Saat ini penggunaan self adhesive pad juga lebih disarankan dan telah digunakan secara luas untuk menggantikan defibrillator paddle.[2,18]

Selain peralatan utama defibrilasi, perlu pula dipersiapkan peralatan penunjang, seperti gel konduksi, intubation kit, peralatan oksigenasi, infus set, monitor saturasi oksigen, monitor denyut nadi, serta peralatan resusitasi jantung paru lainnya.[16]

Posisi Pasien

Pasien saat prosedur defibrilasi harus ditempatkan di lokasi yang aman, datar, serta jauh dari paparan air dan bahan mudah terbakar. Pasien yang akan dilakukan prosedur defibrilasi diposisikan berbaring supinasi.[3,18]

Prosedural

Pasien diposisikan supinasi. Prosedur defibrilasi jantung yang berkualitas baik memerlukan beberapa pelaksana yang terlatih dan respon yang cepat dan sesuai. Prosedur defibrilasi dipersiapkan secara simultan bersama prosedur resusitasi jantung paru. Pelaksana pertama harus langsung memulai resusitasi jantung paru (RJP) dengan kompresi dada, dan pelaksana kedua mengambil dan menyalakan defibrillator, meletakkan elektroda atau paddle dan memeriksa ritme jantung.[8]

Pemeriksaan ritme harus cepat dan singkat, dan bila terdapat ritme yang teratur maka dilakukan pemeriksaan nadi. Kalau ada keraguan tentang ada tidaknya nadi, kompresi dada harus segera dilanjutkan. Langkah berikutnya ditentukan oleh alat yang tersedia, yaitu defibrillator otomatis atau manual.[8]

Pemosisian Pad

Pad pertama  diletakkan di sepanjang batas atas kanan sternum (area parasternal dekstra di sekitar ruang interkosta kedua). Pad lainnya ditempatkan di apeks jantung, pada garis midaksilaris sinistra pada ruang interkosta ke enam. Posisi alternatif lain adalah posisi anteroposterior, anterior-infraskapular kiri dan anterior infraskapular kanan.[3,19,20]

Pedoman Advanced Cardiac Life Support (ACLS) tahun 2010 memberikan rekomendasi letak perlekatan self adhesive pad pada saat pemasangan pad AED. Alat AED ditempatkan pada posisi sternal-apikal (anterolateral). Pad AED kanan ditempelkan pada dada kanan bagian anterosuperior di bawah klavikula, dan pad kiri ditempelkan pada dada kiri bagian inferior-lateral, sisi lateral dari payudara kiri.[21]

Posisi alternatif yang dapat menggantikan posisi utama tadi adalah dengan penempatan biaksilaris. Pada metode ini, pad AED ditempelkan pada sisi lateral kanan dan kiri dinding dada atau dengan menempelkan pad kiri pada posisi standar di apikal dan pad kanan pada bagian kanan atau kiri  dari punggung atas pasien.[21]

Hal lainnya yang harus diperhatikan antara lain adalah jarak implan dengan pad. Setidaknya terdapat jarak 2,5 cm antara lokasi penempelan pad dan peralatan implan di tubuh pasien. Apabila pasien menerima terapi dengan transdermal medication patch pada area penempelan pad, maka patch tersebut harus dilepas dan dibersihkan dulu agar tidak mengganggu transfer energi kejut. Selain patch obat, rambut dada juga dapat mengganggu penempelan pad, sehingga sebaiknya rambut dada dicukur terlebih dahulu sebelum pad dipasang.[21]

Defibrilator

Defibrillator Otomatis (Automated External Defibrillator)

Pada defibrillator otomatis, alat akan secara otomatis mendeteksi irama jantung dari pad yang telah ditempelkan di dada pasien. Saat alat mendeteksi irama pulseless ventricular tachycardia dan fibrilasi ventrikel, bila alat merupakan AED semiotomatis maka alat akan memberikan sinyal agar operator menekan tombol shock. Pada AED otomatis, alat akan dengan sendirinya melakukan charge, menyatakan ‘clear’ untuk menjauhkan orang di sekeliling, dan memberi kejut secepatnya.[22]

RJP harus dilanjutkan secepatnya setelah kejut telah dihantarkan tanpa pemeriksaan ritme atau nadi terlebih dahulu, dan dimulai dengan kompresi dada. RJP dilanjutkan selama dua menit sebelum pemeriksaan ritme berikutnya.[8]

Defibrillator Manual

Pada defibrillator manual, bila ritme yang terlihat adalah VT atau VF maka pelaksana pertama melanjutkan RJP dan pelaksana kedua melakukan charge pada alat. Sesudah charge dilakukan, RJP dihentikan untuk memastikan area sekeliling pasien clear dan pelaksana kedua memberi kejut secepatnya. Pelaksana pertama segera memulai kembali RJP selama dua menit, setelah itu baru pemeriksaan ritme jantung.[23]

Dosis Kejut

Terdapat defibrillator bifasik dan monofasik. Pada defibrillator bifasik, dosis awal yang dianjurkan adalah antara 120 joule sampai 200 joule. Pada defibrillator monofasik, dosis yang dianjurkan adalah 360 joule. Setelah daya terisi penuh, lingkungan sekitar pasien diperiksa apakah telah bebas dari kontak dengan pasien. Setelah aman dapat dilakukan shock.[3,4]

Pada pasien anak, dosis defibrilasi yang diberikan adalah 2 joule/kg. Selanjutnya, dosis dapat dinaikkan menjadi 4 joule/kg dengan dosis maksimal adalah 10 joule/kg. Untuk setiap pengulangan defibrilasi, dosis yang diberikan minimal sama atau lebih tinggi dari dosis sebelumnya.[3-5]

Wearable and Implantable Cardioverter Defibrillator (WCD and ICD)

Wearable cardioverter defibrillator (WCD) dan implantable cardioverter defibrillator (ICD) merupakan jenis khusus  lain dari defibrilasi. Kedua alat ini dapat memantau ritme jantung secara kontinu dan memberi kejut jika diperlukan. WCD berbentuk rompi dengan alat defibrilasi di dalamnya. Sementara itu, ICD merupakan alat berukuran kecil dengan baterai yang diimplantasikan langsung dalam tubuh pasien.[14]    

Penggunaan Obat Pada Defibrilasi

Apabila VF atau  pulseless VT bertahan setelah pemberian kejut pertama dan RJP selama 2 menit, pasien dapat diberikan medikasi. Pengobatan yang diberikan adalah vasopresor dengan tujuan meningkatkan aliran darah miokardium saat RJP dan mencapai return of spontaneous circulation (ROSC). Puncak efek pemberian vasopresor intravena (IV) atau intraosseous (IO) adalah sekitar 1-2 menit setelah pemberian.

Obat antiaritmia lini pertama untuk henti jantung adalah amiodarone, yang telah dibuktikan secara klinis dapat meningkatkan ROSC pada pasien dengan refractory VF atau pulseless VT. Amiodarone dapat dipertimbangkan bila ritme gagal diperbaiki oleh defibrilasi, RJP, atau terapi vasopresor.

Jika amiodarone tidak tersedia, pasien juga dapat diberikan lidocaine walaupun lidocaine belum terbukti untuk meningkatkan ROSC. Obat magnesium sulfate hanya boleh diberikan kepada pasien dengan torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.[10]

Vasopresor

Tujuan pemberian vasopresor adalah untuk meningkatkan aliran darah di miokardium untuk dapat mencapai ROSC. Belum ditemukan perbaikan pasien hingga discharge atau perbaikan neurologis dengan penggunaan vasopresor. Obat vasopressor yang dapat digunakan adalah: epinefrin dalam dosis  1 mg IV/IO setiap 3–5 menit. Epinefrin juga dapat diberikan 2–2,5 mg endotrakeal bila akses IV/IO tidak didapat.

Saat ini vasopressin sudah dikeluarkan dari algoritma ACLS karena pemberian epinefrin bersama vasopressin terbukti tidak memberikan manfaat apapun dibanding pemberian epinefrin saja, sehingga vasopressin dikeluarkan agar algoritma bisa menjadi lebih sederhana.[23,24]

Antiaritmia

Belum ada bukti bahwa pemberian obat antiaritmia dapat meningkatkan kesintasan, tetapi amiodarone telah ditemukan dapat meningkatkan kesintasan jangka pendek dibandingkan dengan placebo atau lidocaine. Pilihan obat antiaritmia yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

  • Amiodarone: Dosis awal 300 mg IV/IO, kemudian diikuti oleh satu dosis lanjutan 150 mg IV/IO
  • Lidocaine: dapat diberikan bila amiodarone tidak tersedia; obat ini belum dibuktikan efektif untuk meningkatkan kesintasan. Dosis awal adalah 1–1,5 mg/kg IV, jika ritme bertahan dapat diberi dosis tambahan 0,5–0,75 mg/kg IV dengan interval 5-10 menit, hingga dosis maksimal 3 mg/kg
  • Magnesium Sulfat: 1 – 2 g yang diencerkan di 10 ml dextrose 5% secara bolus IV/IO. Pemberian magnesium sulfat via IV dapat membantu terminasi torsades de pointes, tetapi tidak disarankan untuk VT polimorfik/ireguler dengan interval QT yang normal[23,24]

Follow Up

Follow up yang dilakukan setelah gelombang kejut defibrilasi diberikan adalah segera melanjutkan tindakan resusitasi jantung paru selama 2 menit. Baru kemudian petugas memeriksa denyut nadi dan gambaran gelombang EKG pasien untuk menentukan apakah kondisi VF atau pulseless VT telah tertangani, bila belum, prosedur defibrilasi dilanjutkan kembali.[2,3]

Saat prosedur defibrilasi sedang berlangsung, selain pemberian tindakan resusitasi jantung paru, segera dilakukan pemasangan akses intravena. Setelah akses terpasang, pasien dapat segera diberikan obat-obatan seperti injeksi epinefrin 1 mg tiap 3-5 menit setelah prosedur defibrilasi gagal mengembalikan denyut jantung pasien ke normal. Selain epinefrin, pasien juga dapat diberikan amiodarone 300 mg sebagai antiaritmia.[3,25,26]

Siklus defibrilasi dan medikasi terus dilakukan secara bergantian dengan selang 2 menit dilakukan teknik resusitasi jantung paru yang adekuat hingga tercapai kondisi return of spontaneous circulation (ROSC) atau tim gawat darurat menentukan resusitasi jantung paru harus dihentikan.[23,24]

Perawatan Ruang Intensif dan Konsultasi Spesialis

Pasien dengan henti jantung yang diresusitasi harus dirawat di ruang intensif dengan pengawasan ketat karena memiliki risiko tinggi rekurensi. Perlu dilakukan pemeriksaan lengkap dari sistem saraf pusat, miokardium, dan sistem tubuh lainnya untuk mengetahui kerusakan yang disebabkan oleh hipoksemia, iskemia dan reperfusi yang terjadi saat resusitasi. Pemeriksaan juga harus dilakukan untuk mencari etiologi henti jantung.[6,8]

Sekitar setengah dari pasien dengan henti jantung memiliki tanda-tanda infark miokard akut, yang memerlukan terapi segera. Konsultasi ke bagian kardiologi harus dilakukan untuk semua pasien yang selamat dari henti jantung, dan revaskularisasi perlu dipertimbangkan.

RJP yang dilakukan lebih dari sepuluh menit dianggap kontraindikasi untuk terapi trombolisis. Pasien dengan risiko tinggi rekurensi VF dapat dilakukan pemasangan automated implantable cardioverter defibrillators (AICDs).[8]

Post Cardiac Arrest Care

Perawatan pasien pasca resusitasi adalah hal yang sangat penting karena mayoritas kematian terjadi 24 jam setelah henti jantung. Pemberian perawatan yang sesuai dapat mengurangi mortalitas akibat gangguan hemodinamika yang dapat menyebabkan kegagalan multiorgan dan brain injury. Tujuan awal post cardiac arrest care adalah untuk meningkatkan perfusi sistemik, mengembalikan homeostasis metabolik, dan mendukung fungsi organ agar fungsi neurologis dipertahankan.[6,27]

Prinsip post-cardiac arrest care adalah sebagai berikut:

  • Memastikan dan mempertahankan jalur nafas segera setelah ROSC, terutama pada pasien tidak sadar. Bila pasien saat awal dipasangkan supraglottic airway, sebaiknya diganti dengan endotracheal tube

  • Oksigen yang digunakan sebaiknya dikurangi menjadi jumlah yang paling rendah untuk mencapai saturasi oksigen arterial ≥94% untuk menghindari toksisitas oksigen
  • Tanda vital dan EKG sebaiknya dipantau terus menerus hingga ICU, hingga pasien mencapai kondisi yang stabil. Penyebab tersering henti jantung adalah penyakit kardiovaskular dan iskemia koroner, bila ada kecurigaan infark miokard akut sebaiknya segera ditangani
  • Diperlukan perhatian khusus untuk mencari penyebab henti jantung, setelah pasien ROSC. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk mencari dan memperbaiki kondisi kardiak, elektrolit, toksikologi, pulmonal, dan neurologis[27]

Pengaturan Suhu Tubuh

Pengaturan dan pemantauan suhu tubuh secara ketat adalah hal yang penting dilakukan pada pasien pasca henti jantung. Pasien yang koma setelah resusitasi dapat diberikan terapi hipotermia selama 12-24 jam (penurunan suhu hingga 32-34 C). Di beberapa penelitian klinis, hipotermia dapat meningkatkan fungsi neurologis dan mengurangi mortalitas.[6,27]

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Graciella N T Wahjoepramono

Referensi

1. Nichol G, et al. Defibrillation for Ventricular Fibrillation: A Shocking Update. Journal of the American College of Cardiology. Volume 70, Issue 12, 19 September 2017.
2. Soar J, et al. European Resuscitation Council Guidelines 2021: Adult advanced life support. Resuscitation. 2021. https://www.resuscitationjournal.com/action/showPdf?pii=S0300-9572%2821%2900063-0
3. Goyal A, Chhabra L, Sciammarella JC, et al. Defibrillation. Statpearls. 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499899/
4. Li W, Xie J, Peng L, Wei L, Wang S, Li Y. [Recent advances in external cardiac defibrillation techniques]. Sheng Wu Yi Xue Gong Cheng Xue Za Zhi. 2020 Dec 25;37(6):1095-1100. Chinese. doi: 10.7507/1001-5515.202003013.
5. Hunt EA, Duval-Arnould JM, Bembea MM, Raymond T, Calhoun A, Atkins DL, Berg RA, Nadkarni VM, Donnino M, Andersen LW; American Heart Association’s Get With The Guidelines–Resuscitation Investigators. Association Between Time to Defibrillation and Survival in Pediatric In-Hospital Cardiac Arrest With a First Documented Shockable Rhythm. JAMA Netw Open. 2018 Sep 7;1(5):e182643. doi: 10.1001/jamanetworkopen.2018.2643. Erratum in: JAMA Netw Open. 2018 Oct 5;1(6):e184644.
6. Kang Y. Management of post-cardiac arrest syndrome. Acute Crit Care. 2019;34(3):173-178.
8. Foglesong A, Mathew D. Pulseless Ventricular Tachycardia. StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554467/
9. Compton, SJ. Ventricular Tachycardia Guideline. Medscape. 2017. https://emedicine.medscape.com/article/159075-guidelines
10. Ludhwani D, Goyal A, Jagtap M. Ventricular Fibrillation. StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537120/10.
11. Faddy SC, Powell J, Craig JC. Biphasic and monophasic shocks for transthoracic defibrillation: a meta analysis of randomised controlled trials. Resuscitation 2003; 58:9.
12. Morrison LJ, Dorian P, Long J, et al. Out-of-hospital cardiac arrest rectilinear biphasic to monophasic damped sine defibrillation waveforms with advanced life support intervention trial (ORBIT). Resuscitation 2005; 66:149.
13. Wik L, Hansen TB, Fylling F, et al. Delaying defibrillation to give basic cardiopulmonary resuscitation to patients with out-of-hospital ventricular fibrillation: a randomized trial. JAMA 2003; 289:1389.
14. Piccini JP, Allen LA, Kudenchuk PJ, Page RL, Patel MR, Turakhia MP. Wearable Cardioverter-Defibrillator Therapy for the Prevention of Sudden Cardiac Death. A Science Advisory From the American Heart Association. Circulation. 2016; 133: 1715-1727.
15. Al-Khatib SM, Stevenson WG, Ackerman MJ, et al. 2017 AHA/ACC/HRS Guideline for Management of Patients With Ventricular Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart Rhythm Society. J Am Coll Cardiol 2018; 72:e91.
16. Shah, SN. Defibrillation and Cardioversion. Medscape. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/80564-overview#a5
17. Knight BP. Cardioversion for specific arrhythmias. Uptodate. 2021.
18. Panchal AR, et al. Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2020;142:S366–S468. https://www.ahajournals.org/doi/full/10.1161/CIR.0000000000000916?rfr_dat=cr_pub++0pubmed&url_ver=Z39.88-2003&rfr_id=ori%3Arid%3Acrossref.org
19. Ionmhain, ÚN. Defibrillation Basics. Life in the Fastlane. 2020. https://litfl.com/defibrillation-basics/
20. AHA. ACLS Provider Manual Supplementary Material. 2016. https://ahainstructornetwork.americanheart.org/idc/groups/ahaecc-public/@wcm/@ecc/documents/downloadable/ucm_481402.pdf
21. Field JM, Hazinski MF, Sayre MR, et al. Part 1: executive summary: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010; 122:S640.
22. US FDA. Automated External Defibrillators (AEDs). 2022. https://www.fda.gov/medical-devices/cardiovascular-devices/automated-external-defibrillators-aeds
23. Nolan JP, Maconochie I, Soar J, Olasveengen TM, Greif R, Wyckoff MH, Singletary EM, Aickin R, Berg KM, Mancini ME, Bhanji F, Wyllie J, Zideman D, Neumar RW, Perkins GD, Castrén M, Morley PT, Montgomery WH, Nadkarni VM, Billi JE, Merchant RM, de Caen A, Escalante-Kanashiro R, Kloeck D, Wang TL, Hazinski MF. Executive Summary 2020 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science With Treatment Recommendations. Resuscitation. 2020 Nov;156:A1-A22. doi: 10.1016/j.resuscitation.2020.09.009.
24. Soar J, Berg KM, Andersen LW, et al. Adult Advanced Life Support: 2020 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendations. Resuscitation. 2020;156:A80-A119. doi:10.1016/j.resuscitation.2020.09.012
25. Merchant RM, et al. Part 1: Executive Summary: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2020;142:S337–S357. https://www.ahajournals.org/doi/full/10.1161/CIR.0000000000000918?rfr_dat=cr_pub++0pubmed&url_ver=Z39.88-2003&rfr_id=ori%3Arid%3Acrossref.org
26. Goyal,SK. What is the advanced cardiac life support (ACLS) algorithm for cardiopulmonary resuscitation and defibrillation for ventricular fibrillation (VF)?. Medscape. 2018. https://www.medscape.com/answers/158712-105864/what-is-the-advanced-cardiac-life-support-acls-algorithm-for-cardiopulmonary-resuscitation-and-defibrillation-for-ventricular-fibrillation-vf
27. American Heart Association. ACLS Healthcare Provider Post–Cardiac Arrest Care Algorithm. 2020. https://cpr.heart.org/-/media/CPR-Files/CPR-Guidelines-Files/Algorithms/AlgorithmACLS_PCAC_200622.pdf

Kontraindikasi Defibrilasi
Komplikasi Defibrilasi

Artikel Terkait

  • Wearable Defibrillator untuk Pasien Infark Miokard
    Wearable Defibrillator untuk Pasien Infark Miokard
  • Penanganan Fibrilasi Ventrikel pada Setting Gawat Darurat
    Penanganan Fibrilasi Ventrikel pada Setting Gawat Darurat
Diskusi Terkait
dr. Muhammad Raihan Farrasky
Dibalas 01 Oktober 2024, 08:37
Tindakan defibrilasi maupun kardioversi pada kasus drowning?
Oleh: dr. Muhammad Raihan Farrasky
1 Balasan
Apakah perlu dilakukan tindakan Defibrilasi atau Kardioversi pada kasus drowning jika ditemukan gambaran Shockable, mengingat adanya gangguan kalium pada...
dr.Andrew Logan
Dibalas 12 Maret 2019, 17:35
Defibrilasi cardiac arrest pada ibu hamil
Oleh: dr.Andrew Logan
2 Balasan
Izin bertanya Ts, pada ibu hamil yang mengalami cardiac arrest dan VFNT membutuhkan defibrillator, bagaimanakah peletakan pad nya, apakah sama saja dengan...

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Alomedika.com All Rights Reserved.