Komplikasi Transplantasi Jantung
Komplikasi pasca transplantasi jantung dapat berupa reaksi penolakan, gangguan psikiatri akibat terapi steroid, allograft vascular disease, dan keganasan. Komplikasi juga bisa berupa komplikasi pasca tindakan operasi pada umumnya, seperti perdarahan dan infeksi.
Kesintasan pasien pasca transplantasi jantung telah jauh meningkat dibandingkan ketika tindakan ini diperkenalkan. Hal ini utamanya berkaitan dengan kemajuan pada teknologi kedokteran dan terapi imunosupresan. Secara umum, penyebab utama kematian setelah transplantasi jantung yaitu kegagalan cangkok, infeksi oportunistik, penolakan allograft akut, vaskulopati allograft jantung, serta limfoma dan keganasan lainnya.
Reaksi Penolakan
Reaksi penolakan terhadap organ donor masih merupakan salah satu penyebab utama kematian pasca transplantasi jantung. Reaksi penolakan diklasifikasikan menjadi hyperacute rejection, acute cellular rejection (ACR), atau antibody-mediated rejection (AMR).[2]
Hyperacute Rejection
Hyperacute rejection atau reaksi penolakan hiperakut adalah komplikasi paling dikuatirkan di masa lalu, sebelum keberadaan cross-matching dan terapi imunosupresif yang efektif. Reaksi penolakan hiperakut dimediasi oleh antibodi preformed terhadap allograft di tubuh resipien. Manifestasi reaksi penolakan hiperakut adalah kegagalan graft berat dalam beberapa menit hingga beberapa jam pertama pasca transplantasi. Tanpa agen inotropik, plasmapheresis, dan imunosupresi intens, resipien biasanya tidak dapat bertahan hidup.[1,2]
Acute Cellular Rejection
Acute cellular rejection (ACR) merupakan reaksi penolakan yang paling sering terjadi pada resipien transplantasi jantung. ACR terjadi akibat T-cell mediated response dengan infiltrasi makrofag dan limfosit yang dapat mengakibatkan nekrosis miosit.[2,9]
Antibody-mediated Rejection
Antibody-mediated rejection (AMR) muncul ketika antibodi resipien menyerang antigen HLA donor pada endotel allograft. Hal tersebut memicu kaskade komplemen dan mengakibatkan kerusakan jaringan via jalur inflamasi.[2]
Infeksi
Infeksi adalah sebab utama kematian pada tahun pertama pasca transplantasi jantung, dan tetap merupakan ancaman seumur hidup bagi pasien yang mengalami imunosupresi secara kronis. Pada bulan pertama pasca operasi, infeksi umumnya disebabkan oleh bakteri dan berhubungan dengan infeksi luka dan kateter. Organisme penyebab umumnya nosokomial, seperti Legionella, Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella, dan Escherichia coli.[1,2]
Allograft Vascular Disease
Allograft vascular disease atau cardiac allograft vasculopathy (CAV) adalah panarteritis difus yang dimediasi sistem imun dengan penebalan longitudinal lamina intima arteri koroner. CAV juga merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas jangka panjang pasca transplantasi. CAV dapat muncul dini sejak 1 tahun pertama pasca transplantasi, dan hal itu dihubungkan dengan penyakit yang lebih agresif dan prognosis yang lebih buruk.[1,2]
Faktor risiko CAV meliputi riwayat reaksi penolakan, donor berusia tua, keberadaan antibodi anti-HLA donor, ischemia-reperfusion injury, dan faktor risiko tradisional untuk aterosklerosis koroner. CAV simptomatik dapat menimbulkan dispnea, disfungsi ventrikel kiri, hingga kematian jantung mendadak. Standar baku emas diagnosis CAV adalah angiografi koroner, yang dapat dilakukan setahun sekali.[2]
Keganasan Pasca Transplantasi Jantung
Keganasan merupakan salah satu penyebab tersering mortalitas jangka panjang pada resipen transplantasi jantung. Seluruh agen imunosupresi, kecuali steroid, diperkirakan berkontribusi menjadi faktor risiko keganasan.[2]
Risiko keganasan organ solid de novo diperkirakan sebesar 10,7% dalam 1 hingga 5 tahun setelah transplantasi. Kebanyakan tumor yang timbul disebabkan oleh virus, misalnya human papilloma virus (HPV), virus Epstein-Barr (EBV), dan human herpes virus 8 (HHV8). Keganasan yang paling sering dilaporkan adalah karsinoma sel skuamosa kulit pada 10% penyintas 5 tahun dan 18% pada penyintas 10 tahun.[6]
Disfungsi Ginjal
8,6% resipien dilaporkan memiliki kreatinin serum di atas 221 mol/L, atau memerlukan terapi pengganti ginjal dalam tahun pertama setelah transplantasi. Peningkatan risiko kematian hingga 4 kali lipat telah dilaporkan dengan adanya disfungsi ginjal kronis.[6]
Hipertensi
Terapi antihipertensi diperlukan pada sekitar 70% pasien yang menjalani transplantasi jantung. Insidensi komplikasi ini dilaporkan lebih tinggi pada pasien laki-laki yang mendapat siklosporin. Hipertensi juga berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi ginjal dan CAV.[6]
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada resipien transplantasi jantung diduga disebabkan oleh dislipidemia yang sudah ada sebelumnya atau sekunder karena imunosupresi. Penggunaan pravastatin dini setelah transplantasi dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup 1 tahun, penurunan insiden penolakan, dan CAV.[6]
Diabetes
Resipien transplantasi jantung lebih berisiko mengalami diabetes mellitus. Pasien yang mengalami diabetes lebih berisiko mengalami disfungsi ginjal dan CAV, tapi tidak mempengaruhi kesintasan secara umum.[6]
Kesintasan Pasca Transplantasi
Median kesintasan dari transplantasi jantung dilaporkan sebesar 11 tahun pada pasien dewasa dan 16 tahun pada anak. Kesintasan 1 tahun saat ini dilaporkan telah melebihi 85% pada dewasa dan 90% pada anak.
Faktor resipien yang mempengaruhi mortalitas antara lain kebutuhan penggunaan jantung artifisial sebelum transplantasi, kebutuhan ventilasi mekanik, dan dialisis. Indikasi transplantasi berupa kardiomiopati iskemik dan noniskemik berkaitan dengan prognosis lebih baik. Sementara itu, pasien dengan riwayat penyakit jantung bawaan, kardiomiopati restriktif, dan transplantasi ulang berkaitan dengan kesintasan yang lebih rendah.
Usia donor lebih tua dan waktu iskemia jantung donor berkepanjangan terkait dengan peningkatan risiko mortalitas 1 tahun dari resipien. Di lain pihak, usia resipien yang lebih muda berkaitan dengan peningkatan kesintasan dibandingkan usia lebih lanjut.[20,21]