Teknik Transplantasi Jantung
Teknik transplantasi jantung dilakukan dengan sayatan melalui sternum, mengeluarkan jantung resipien, dan menggantikannya dengan jantung donor. Selama operasi berlangsung, resipien menggunakan mesin cardiopulmonary bypass yang menggantikan fungsi jantung dan paru pasien.[6,8]
Berbeda dengan transplantasi hati atau ginjal, donor pada transplantasi jantung harus dikonfirmasi mengalami kematian otak dan perlu dipastikan memiliki kinerja hemodinamik jantung yang baik tanpa kelainan anatomis bermakna.[6,8]
Donor
Donor jantung potensial diidentifikasi dan dicocokkan dengan resipien. Di negara maju, pencocokan ini dilakukan oleh lembaga khusus, misalnya United Network for Organ Sharing (UNOS) di Amerika Serikat. Di Indonesia, lembaga serupa belum tersedia dan transplantasi jantung belum pernah dilakukan.
Survei primer donor meliputi konfirmasi kematian otak, verifikasi persetujuan donasi, golongan darah ABO, demografi, identifikasi komorbiditas potensial (termasuk perilaku berisiko tinggi, riwayat penyalahgunaan zat, dan mekanisme kematian), kebutuhan resusitasi jantung paru (RJP), serta durasi dari inisiasi RJP hingga kembalinya tanda vital.
Penilaian spesifik untuk jantung mencakup kebutuhan dukungan inotropik, stabilitas hemodinamik, trauma toraks, penanda enzim jantung, elektrokardiografi (EKG), dan angiografi koroner.
Setelah evaluasi lengkap, kinerja hemodinamik jantung, inspeksi visual dan manual, serta evaluasi akhir dilakukan oleh ahli bedah yang akan melaksanakan transplantasi.[6,8]
Kriteria Donor
Secara umum, seseorang dapat menjadi donor jantung bila memenuhi kriteria:
- Usia di bawah 55 tahun
- Tidak ada riwayat trauma toraks atau penyakit jantung
- Tidak ada hipoksemia atau hipotensi memanjang
- Hemodinamik stabil, yaitu mean arterial pressure (MAP) >60 mmHg dan central venous pressure (CVP) 8–12 mmHg
- Sokongan inotropik <10 mg/kg/menit
- Hasil EKG, ekokardiografi, dan angiografi koroner dalam batas normal
- Negatif untuk HIV, hepatitis B, dan hepatitis C[8]
Ekokardiografi dilakukan segera pada donor. Bila fraksi ejeksi <45% atau donor membutuhkan dukungan inotropik, ekokardiografi serial diperlukan untuk evaluasi. Pada donor berusia >40 tahun atau donor lebih muda dengan faktor risiko penyakit arteri koroner, pemeriksaan angiografi koroner diindikasikan.[18]
Pengaturan Waktu Prosedur
Pengaturan waktu donor dan resipien penting untuk meminimalisir waktu iskemik allograft dan durasi cardiopulmonary bypass. Waktu iskemik donor sebaiknya <6 jam, idealnya <4 jam.
Operasi resipien dimulai sebelum kedatangan jantung donor untuk mengurangi waktu iskemik. Umumnya, diperlukan waktu sekitar 1 jam dari sayatan kulit hingga kedatangan donor pada pasien tanpa riwayat sternotomi. Pada pasien dengan riwayat sternotomi, waktu dapat diperpanjang hingga 2 jam.[6,8]
Persiapan Pasien
Pasien dievaluasi 2–3 hari oleh tim transplantasi. Edukasi diberikan terkait risiko, manfaat, dan prognosis transplantasi. Evaluasi mencakup investigasi prognosis dan identifikasi kontraindikasi. Keputusan akhir ditentukan melalui diskusi multidisiplin di pusat transplantasi.[6]
Pemeriksaan Laboratorium
Sebelum transplantasi, pasien menjalani pemeriksaan:
- Darah lengkap, koagulasi (PT, aPTT)
- Fungsi ginjal, fungsi hati, profil lipid, urinalisis
- Kecocokan imunologi: golongan darah dan panel reactive antibody (PRA)
- Skrining infeksi: hepatitis, HIV, EBV, CMV, HSV, tuberkulosis
- Skrining keganasan: PSA, Pap smear
Kandidat positif hepatitis C atau HIV memerlukan evaluasi tambahan sesuai pedoman terbaru, dan dapat dipertimbangkan bila terapi antiviral berhasil serta fungsi organ memadai.[6-9]
Pemeriksaan Pencitraan
Ekokardiografi digunakan untuk menilai fraksi ejeksi dan fungsi jantung. Pada kardiomiopati, perlu dilakukan arteriografi koroner untuk memastikan etiologi tidak dapat ditangani dengan revaskularisasi atau bedah konvensional. Rontgen toraks digunakan untuk menapis kelainan toraks.
Pada wanita, mammogram abnormal perlu dievaluasi lebih lanjut sebelum transplantasi.[6,9]
Pemeriksaan Kapasitas Fungsional
Kapasitas fungsional dinilai dengan uji latihan sepeda atau treadmill dengan pengukuran ventilasi dan pertukaran gas. Peak VO₂ <10 mL/kg/menit merupakan prediktor kuat prognosis buruk. Ambang peak VO₂ untuk pasien dengan beta-blocker adalah <12 mL/kg/menit, sedangkan pasien tanpa beta-blocker adalah <14 mL/kg/menit.
Bila pasien tidak mencapai latihan maksimal (RER <1,05), slope ventilasi menit/produksi CO₂ >35 menandakan prognosis buruk. Tes jalan 6 menit berguna sebagai penilaian tambahan, tetapi tidak menggantikan peak VO₂.[6,13,15]
Pemeriksaan Kateterisasi Jantung Kanan
Kateterisasi jantung kanan merupakan evaluasi wajib, yang perlu diulang setiap 3–6 bulan pada pasien daftar tunggu. Pemeriksaan mencakup tekanan atrium kanan, pulmonary capillary wedge pressure (PCWP), tekanan arteri paru, saturasi vena campuran, curah jantung, serta resistensi vaskular sistemik dan paru. Tekanan pengisian yang meningkat meski terapi optimal menandakan prognosis buruk.[6,13]
Posisi Pasien
Pasien diposisikan supinasi di meja operasi.[8]
Prosedural
Sebelum operasi, pasien dipuasakan, dan area dada disterilkan dengan chlorhexidine 4%. Tim transplantasi berkoordinasi dengan badan transplantasi untuk memastikan donor jantung sesuai. Setelah donor terkonfirmasi kompatibel, anestesi umum diberikan. Jantung resipien dieksisi terlebih dahulu agar waktu iskemik donor seminimal mungkin.[6,8]
Kardiektomi Resipien
Langkah kardiektomi resipien meliputi:
- Lakukan sternotomi medial dan bentuk pericardial cradle.
- Isolasi dan diseksi aorta, arteri pulmonal, vena cava superior, dan vena cava inferior.
- Lewatkan jerat pita umbilikus di sekitar vena cava superior dan inferior.
- Setelah pemberian heparin, kanulasi aorta asendens distal, vena cava superior, dan vena cava inferior untuk cardiopulmonary bypass.
- Inisiasi cardiopulmonary bypass.
- Lakukan cross-clamp pada aorta resipien dan kencangkan jerat vena cava.
- Pisahkan aorta dan arteri pulmonal tepat di atas katup semilunar.
- Eksisi atrium kanan secara komplit.
- Retraksi jantung inferior untuk memaparkan kubah atrium kiri, buka, dan lanjutkan pemanjangan insisi ke arah anulus katup mitral secara sirkumferensial.[6,8]
Implantasi Jantung Donor
Jantung donor dikeluarkan dari wadah, dan waktu warm ischemic dimulai. Evaluasi donor dilakukan terkait adanya patensi foramen ovale, defek katup, atau anomali kongenital. Dua teknik utama implantasi jantung donor adalah transplantasi ortotopik dan transplantasi heterotopik.[4,8,9]
Transplantasi Ortotopik:
Teknik transplantasi ortotopik paling umum digunakan, yaitu mengeksisi jantung resipien dan menyisakan cuff atrium kiri dan kanan. Anastomosis donor–resipien dilakukan pada:
- Atrium kanan donor → cuff atrium kanan resipien
- Atrium kiri donor → cuff atrium kiri resipien
- Aorta donor → aorta resipien
- Arteri pulmonal donor → arteri pulmonal resipien[8]
Transplantasi Heterotopik:
Sementara itu, transplantasi heterotopik jarang digunakan, dengan angka survival lebih rendah. Teknik ini tidak mengeksisi jantung resipien. Jantung donor ditanam berdampingan dalam rongga toraks. Anastomosis dilakukan antara atrium donor–resipien, serta aorta dan arteri pulmonal donor dengan resipien.[6,8,9]
Imunosupresi
Strategi imunosupresi bertujuan mencegah reaksi imun resipien terhadap allograft dan membatasi toksisitas obat. Regimen dibagi menjadi induksi, rumatan, dan tata laksana penolakan.[9]
Prinsip Umum Imunosupresi
Risiko penolakan tertinggi terjadi dalam 3–6 bulan pertama pasca transplantasi, sehingga intensitas imunosupresi ditingkatkan pada periode ini. Kemudian, pemberian imunosupresif diturunkan secara bertahap.
Gunakan kombinasi dosis rendah dari beberapa obat dengan toksisitas tidak tumpang tindih. Hindari imunosupresi berlebihan untuk mencegah infeksi oportunistik dan keganasan.[9,18,19]
Terapi Induksi Imunosupresi
Sekitar 40–50% pusat transplantasi menggunakan terapi induksi perioperatif. Agen yang digunakan adalah:
- Antagonis reseptor IL-2: basiliximab
- Antibodi poliklonal anti-thymocyte
- Antibodi monoklonal: alemtuzumab[9,18]
Terapi Rumatan Imunosupresi
Pada tahap rumatan atau pemeliharaan, biasanya diberikan kombinasi tiga golongan imunosupresan, yaitu:
- Inhibitor calcineurin: siklosporin, tacrolimus
- Antimetabolit: azathioprine, mycophenolate mofetil
- Kortikosteroid: prednison, methylprednisolone
Obat baru, seperti inhibitor mTOR (sirolimus, everolimus), dapat digunakan pada pasien dengan nefrotoksisitas akibat inhibitor calcineurin, atau risiko tinggi vaskulopati alograf.[9,18,19]
Follow Up
Berdasarkan pedoman terbaru, yaitu American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) tahun 2022 dan International Society for Heart and Lung Transplantation (ISHLT) tahun 2024, interval follow up tidak perlu lagi “sampai setahun sekali”.
Follow up dilakukan pasien pasca transplantasi jantung secara bertahap sesuai risiko klinis.
- Biopsi endomiokardial: Mingguan pada bulan pertama, kemudian interval diperpanjang (2 mingguan, bulanan, hingga 3–6 bulanan sesuai risiko). Digunakan untuk mendeteksi penolakan akut.
- Kunjungan klinis: Intensif di bulan pertama, lalu dikurangi secara bertahap hingga kontrol tahunan pada pasien stabil.
- Angiografi koroner atau CT koroner: Dilakukan secara berkala (setiap 1–2 tahun) untuk memantau perkembangan cardiac allograft vasculopathy (CAV).
- Pemantauan non-invasif baru: Tes gen ekspresi atau donor-derived cell-free DNA (dd-cfDNA) digunakan di beberapa pusat sebagai alternatif atau pelengkap biopsi untuk deteksi penolakan.[6,9,20]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini