Teknik Pembuatan Visum Kasus Kekerasan Seksual pada Anak
Teknik pembuatan visum kasus kekerasan seksual pada anak perlu memperhatikan berbagai tanda klinis yang mungkin berkaitan dengan kekerasan seksual, seperti memar, petekie, ataupun laserasi pada organ genitalia. Perhatikan pula adanya bekas cairan mani atau sampel rambut pubis dari pelaku kekerasan yang mungkin masih ada di tubuh pasien, serta adanya tanda infeksi menular seksual.[4,7,8]
Persiapan Pasien
Serupa dengan pembuatan visum et repertum pada umumnya, pembuatan visum pada kasus kekerasan seksual anak dapat dilakukan pada korban hidup maupun mati.
Persiapan pada Korban Hidup
Dokter perlu mengingat bahwa korban merupakan individu di bawah umur yang mungkin merasa takut atau trauma atas kejadian yang menimpanya. Oleh sebab itu, selain dari wawancara yang detail, aspek penting dari pengerjaan visum adalah pendekatan yang sensitif dan empatetik.
Melindungi anak yang mengalami pelecehan seksual dari trauma emosional tambahan selama pemeriksaan fisik sangatlah penting. Penilaian singkat mengenai status perkembangan, perilaku, mental, dan emosional juga harus dilakukan. Lakukan pemeriksaan fisik yang hati-hati tetapi menyeluruh, serta pemeriksaan penunjang yang relevan untuk mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan seksual.
Sebelum melakukan tindakan forensik, dokter juga harus menjelaskan prosedur Tindakan kepada korban atau wali korban dan mendapat persetujuan tertulis (informed consent). Selain melakukan pemeriksaan forensik, dokter tetap wajib memberi pengobatan yang dibutuhkan oleh pasien untuk mengatasi trauma fisik dan psikologis yang dialami.[1,3,5,9]
Persiapan pada Korban Mati
Pada korban mati, autopsi baru bisa dilakukan jika ada surat permohonan tertulis dari penyidik. Autopsi juga baru bisa dilakukan setelah keluarga korban mengetahui dan memahami tujuan dari tindakan autopsi tersebut. Jika keluarga korban tidak ditemukan atau tidak diketahui, maka penyidik harus menunggu selama 2x24 jam sebelum melakukan autopsi.
Dalam pembuatan visum, dokter yang melakukan autopsi perlu mendapat informasi lisan yang jelas mengenai kejadian yang berkaitan dengan kematian korban. Hal ini penting untuk menghindari kesalahpahaman. Selain itu, petugas berwenang harus hadir dan mengikuti jalannya autopsi untuk memastikan proses sesuai prosedur. Untuk kasus tertentu, ekshumasi dapat dilakukan untuk pemeriksaan lebih lanjut guna proses penyelidikan.[1,3,5,9]
Peralatan
Untuk pemeriksaan pada korban hidup, peralatan yang diperlukan serupa dengan pemeriksaan fisik pada umumnya. Pada kasus didapatkan sampel bukti, seperti cairan mani atau rambut pubis, maka akan diperlukan wadah tertutup untuk meletakkan sampel yang akan dianalisis lebih lanjut.
Peralatan khusus berikut akan dibutuhkan saat melakukan autopsi atau pemeriksaan dalam:
- Kamar autopsi
- Meja autopsi
- Peralatan autopsi, seperti timbangan, penggaris, meteran, gergaji, pisau bedah
- Alat pemeriksaan untuk pemeriksaan tambahan
- Alat tulis dan kamera untuk keperluan dokumentasi[9]
Ketentuan Umum Pembuatan Visum et Repertum
Serupa dengan pembuatan visum et repertum pada kasus lain, visum kasus kekerasan seksual pada anak perlu dibuat memenuhi ketentuan umum berikut:
- Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa, bernomor, dan bertanggal
- Mencantumkan kata “Pro Justitia” di bagian atas kiri
- Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan dan tidak menggunakan istilah asing.
- Ditandatangani dan diberi nama jelas, serta berstempel instansi pemeriksa tersebut
- Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
- Hanya diberikan kepada penyidik yang meminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing–masing yang asli
- Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun[1,3,5,9]
Prosedural
Pada kasus kekerasan seksual pada anak, prosedur pembuatan visum dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yakni pemeriksaan dan penulisan visum. Pada pemeriksaan untuk pembuatan visum kasus kekerasan seksual, prosedur yang dilakukan kurang lebih mirip dengan pembuatan visum pada umumnya, hanya saja ada penekanan di area anogenital dan area lain yang terindikasi terlibat dalam hubungan seksual, misalnya payudara.
Pemeriksaan Klinis
Anamnesis mencakup pertanyaan mengenai riwayat kejadian, gejala yang dialami anak, serta perubahan perilaku atau kesehatan fisik yang terjadi setelah dugaan kekerasan. Dokter harus menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, sehingga anak atau pengasuh dapat memberikan informasi dengan nyaman dan tanpa tekanan.Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi visual terhadap seluruh tubuh anak, dengan fokus khusus pada area anogenital untuk mencari tanda kekerasan.
Temuan fisik yang mungkin muncul meliputi luka akut, memar, petekie, abrasi, atau laserasi pada labia, penis, skrotum, perineum, posterior fourchette, atau vestibulum. Pemeriksaan juga mencakup evaluasi kondisi hymen untuk mencari adanya memar, abrasi, atau laserasi. Penting untuk mendokumentasikan setiap temuan secara rinci, termasuk ukuran, lokasi, dan karakteristik luka. Foto medis sebaiknya diambil jika memungkinkan
Selain itu, pemeriksaan mungkin menemukan tanda-tanda lain, seperti infeksi menular seksual (IMS) gonore dan klamidia. Perlu dicatat bahwa tanda IMS tidak selalu berarti adanya kekerasan seksual tetapi dapat memberikan petunjuk penting bagi penyidik. Ambil juga sampel laboratorium yang relevan, misalnya cairan mani atau rambut pubis pelaku, yang mungkin masih ada di tubuh korban. Anak perempuan usia reproduksi harus menjalani tes kehamilan dan diberikan kontrasepsi darurat jika ada indikasi.[2,4,7,8]
Catatan Khusus:
Perlu diketahui bahwa sebagian besar korban kekerasan seksual tidak mengalami luka umum atau hanya ditemukan luka ringan. Tidak adanya luka tidak menutup kemungkinan terjadinya kekerasan seksual, terutama jika ada ancaman atau korban dalam pengaruh minuman, obat-obatan, atau keduanya. Demikian pula, adanya luka dapat mengindikasikan aktivitas seksual yang konsensual, karena gambaran luka pada hubungan seksual konsensual dan non-konsensual sulit dibedakan, terutama jika ada unsur sadomasokisme.
Aspek penting dari pembuatan visum pada kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah menentukan ada-tidaknya kekerasan dan kontak seksual. Kekerasan didefinisikan sebagai setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Persetubuhan didefinisikan sebagai masuknya penis ke dalam vagina, seluruhnya atau sebagian, dengan atau tanpa ejakulasi. Tanda pasti persetubuhan adalah ditemukannya cairan mani atau sperma pada liang senggama dan kehamilan. Segala macam kontak seksual yang tidak melibatkan penetrasi, tidak konsensual, dan dikerjakan untuk memenuhi birahi pelakunya semata, dapat disebut sebagai perbuatan cabul.[1,3,5,9]
Pemeriksaan Penunjang
Dalam kaitannya dengan pembuatan visum, pemeriksaan penunjang yang diperlukan mencakup pemeriksaan toksikologi, kuku jari tangan, dan swab. Pemeriksaan urin diperlukan untuk mendeteksi kehamilan dan skrining obat yang mungkin digunakan pelaku untuk melumpuhkan korban. Skrining obat-obatan paling baik dilakukan dalam kurun 72 jam setelah aktivitas seksual.
Pemeriksaan pada kuku jari tangan dilakukan untuk mengidentifikasi DNA pelaku. Sementara itu, swab dilakukan pada noda bercak kering atau basah yang ditemukan pada tubuh korban. Swab juga dilakukan pada rongga mulut, genitalia eksterna, kanal vagina, dan serviks untuk melihat tanda penetrasi. Swab pada rongga mulut sebaiknya dilakukan dalam 24 jam, sedangkan pada area anus adalah 48 jam dan di area vagina hingga 5 hari.[11,12]
Penulisan Visum et Repertum
Penulisan visum pada kasus kekerasan seksual pada anak perlu memiliki beberapa bagian, termasuk pembukaan, pendahuluan, pemberitaan, dan kesimpulan. Berikut merupakan penjelasannya.
Pembukaan:
Bagian pembukaan dari visum terdiri atas kop surat, tulisan Pro Justitia di pojok kiri atas, judul Visum Et Repertum beserta nomor surat di bawah tulisan Visum et Repertum.
Pendahuluan:
Bagian pendahuluan harus berisikan:
- Tanggal dan nomor surat, nama serta instansi pengirim surat permintaan visum
- Nama dan instansi dokter pembuat visum
- Tempat, tanggal, dan waktu pemeriksaan korban
- Identitas korban sesuai dengan yang tercantum dalam surat permintaan visum
Pemberitaan:
Pemberitaan merupakan fakta hasil temuan pada korban, mulai dari korban datang hingga korban pulang. Di pemberitaan dicantumkan:
- Hasil singkat anamnesis dan kronologis kejadian
- Kondisi umum korban (baik, murung, tidak mau berbicara); tingkat kesadaran; penampilan luar (kondisi fisik dan pakaian acak-acakan atau pakaian telah terganti)
- Pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan genitalia, dan pemeriksaan non-genitalia (misalnya mulut atau anus, tergantung relevansi dengan kasus)
- Pemeriksaan penunjang, perawatan medis, dan pengobatan bila ada
- Hasil konsultasi dengan sejawat departemen lain (misalnya dokter spesialis ginekologi, kulit dan kelamin, anak, dan psikiatri) jika diperlukan.
Kesimpulan:
Kesimpulan visum harus menjawab delik pidana. Kesimpulan merupakan hasil interpretasi yang dibuat berdasarkan argumen dengan dasar ilmiah atas fakta temuan dari hasil pemeriksaan terhadap korban yang telah tercantum di pemberitaan. Pada kasus kekerasan seksual anak, kesimpulan sebaiknya mengandung komponen:
- Usia atau estimasi usia, jenis kelamin korban, serta status gizi (sesuai indeks massa tubuh)
- Tanda-tanda kekerasan (luka-luka atau keracunan), serta penyebab kekerasan pada bagian tubuh selain kelamin dan dubur yang relevan dengan kasus
- Tanda spesifik untuk perbuatan cabul atau penetrasi
Penutup:
Penutup berisikan pernyataan penyusun visum bahwa data dan keterangan yang dituliskan dalam dokumen adalah benar hasil pemeriksaan yang sungguh telah dibuat berdasarkan keilmuan dan teknologi sebaik-baiknya yang dimiliki dengan mengingat ikrar sumpah jabatan seorang dokter serta sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Komponen Akhir:
Komponen akhir pada penulisan visum untuk kasus kekerasan seksual pada anak adalah tempat dan tanggal visum disusun, serta nama lengkap dan gelar dokter pemeriksa dan penyusun visum.[1-4,7-9]
Follow Up
Pada kasus korban hidup, dokter perlu memberikan penanganan dan pengobatan setelah pemeriksaan untuk visum selesai. Ini bisa mencakup pemberian profilaksis HIV pasca pajanan, dukungan psikologis, dan rehabilitasi.
Selain pemberian pencegahan HIV, korban kekerasan seksual juga memerlukan pemeriksaan darah untuk mendeteksi infeksi HIV, hepatitis B, maupun hepatitis C. Pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan saat korban datang ke fasilitas pelayanan kesehatan pertama kali, kemudian diulang dalam 6 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan bila status HIV pelaku tidak diketahui.
Pemeriksaan hepatitis B sebaiknya dilakukan saat korban datang ke fasilitas pelayanan kesehatan pertama kali, dan diulang dalam 6 bulan. Sementara itu, pemeriksaan hepatitis C sebaiknya dilakukan saat korban datang ke fasilitas pelayanan kesehatan pertama kali, lalu dalam 3 dan 6 bulan jika status hepatitis C pelaku tidak diketahui.
Tes kehamilan harus dilakukan pada korban perempuan usia reproduksi pada saat pertama datang. Kontrasepsi darurat dapat diberikan bila ada indikasi. Tes kehamilan lanjutan dan perawatan mungkin diperlukan dalam beberapa kasus, tergantung pada waktu terjadinya pelecehan seksual.[1,4,10-12]