Kontraindikasi Kateterisasi Uretra Pada Pria
Kateterisasi uretra dikontraindikasikan pada pasien dengan gejala trauma pada traktus urinarius bagian bawah, misalnya terjadi robekan pada uretra. Kondisi ini dapat ditemukan pada pasien laki-laki yang mengalami trauma pelvis seperti fraktur pelvis atau straddle-type injury.[1]
Gejala yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah ditemukannya prostat yang meninggi (high-riding) atau edema, hematom di perineum, atau keluarnya darah dari lubang uretra. Apabila kondisi ini ditemukan maka harus dilakukan pemeriksaan uretrogram untuk menghindari terjadinya robekan pada uretra sebelum dilakukan pemasangan kateter.[1]
Pada pasien-pasien yang tidak dapat menjalani kateterisasi uretra, dokter dapat melakukan kateterisasi suprapubik untuk mengatasi retensi urin.
Kontraindikasi relatif untuk kateterisasi uretra adalah adanya striktur uretra dan jika pasien menggunakan artificial sphincter. Pada kasus-kasus ini, sebaiknya dilakukan konsultasi tata laksana dengan spesialis urologi.[10]
Penggunaan Kateter Uretra yang Tidak Tepat
Epidemiologi menunjukkan hampir 50% pasien yang dirawat di rumah sakit menerima kateterisasi uretra, padahal sebetulnya tidak diperlukan. Indikasi tersering pemasangan kateter uretra yang tidak diperlukan adalah pada terapi inkontinensia urine. Risiko komplikasi akibat kateterisasi uretra, misalnya infeksi saluran kemih, lebih merugikan dibandingkan manfaat jangka pendek dari pemakaian kateter pada pasien dengan gangguan ini.
Penggunaan tidak tepat lainnya adalah untuk mendapatkan sampel urin pada pasien yang tidak dapat berkemih spontan. Selain itu, penggunaan tidak tepat juga bisa terjadi akibat usaha efisiensi waktu tenaga medis di rumah sakit, misalnya kateterisasi uretra pada pasien lanjut usia sehingga tidak perlu membantu pasien saat ingin ke toilet, meskipun pasien tidak ada gangguan berkemih, atau membiarkan kateter terpasang lebih lama dari seharusnya pada pasien postoperatif.[10–12]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra