Pendahuluan Induksi Persalinan
Induksi persalinan dilakukan pada ibu hamil untuk menstimulasi kontraksi rahim guna memulai atau mempercepat proses persalinan, melalui pemberian oxytocin, misoprostol, atau penggunaan alat seperti balon kateter foley. Induksi persalinan dilakukan pada beberapa kondisi medis, seperti kehamilan postterm, ketuban pecah dini, atau kondisi lain yang membahayakan kesehatan ibu atau janin dan membutuhkan kelahiran segera untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.[1-3]
Induksi persalinan dipilih jika luaran ibu, janin, atau keduanya dianggap akan lebih baik dibandingkan manajemen ekspektan atau menunggu terjadinya persalinan spontan. Sebagai tambahan, induksi persalinan hanya dipertimbangkan ketika persalinan pervaginam bukan merupakan kontraindikasi.[3]
Indikasi maternal tersering untuk dilakukannya induksi persalinan adalah preeklampsia dengan gejala berat dan ketuban pecah dini. Indikasi fetal tersering untuk dilakukan induksi persalinan adalah intrauterine growth restriction, risiko kematian janin pada kehamilan postterm, dan indikasi lain yang berkaitan dengan kesejahteraan janin.[4]
Induksi persalinan dapat menurunkan angka persalinan sesar, kematian janin dalam kandungan, dan kebutuhan perawatan di unit neonatus. Namun, induksi persalinan juga berkaitan dengan kontraksi uterus yang berlebihan atau hiperstimulasi uterus yang dapat menyebabkan ruptur uteri dan atonia uteri.[1,2,4]
Pemberian oxytocin intravena merupakan metode induksi persalinan yang paling umum digunakan. Selain itu, induksi juga bisa dilakukan dengan penggunaan prostaglandin dalam bentuk gel, tablet, atau melalui membran amnion, ataupun dirangsang secara mekanik dengan pemasangan balon kateter foley. Induksi persalinan juga dapat dilakukan melalui amniotomi, ataupun penggunaan misoprostol atau dinoprostone.[2,4]
Penulisan pertama oleh: dr. Rachmah Trijayanti