Teknik Induksi Persalinan
Terdapat beberapa teknik induksi persalinan antara lain induksi mekanis, pemberian oxytocin, misoprostol, amniotomi, dan membrane sweeping. Pemilihan metode induksi persalinan didasarkan pada evaluasi holistik kondisi maternal, klinis janin, usia kehamilan, serta pertimbangan terhadap faktor-faktor medis dan preferensi pasien.[1-4]
Persiapan pasien
Persiapan tindakan induksi persalinan termasuk informed consent dan persiapan pra-tindakan terhadap pasien dan/atau penunggu pasien.
Informed Consent
Informed consent harus diperoleh dari pasien sendiri atau pihak lain yang memiliki kewenangan dalam memberikan informed consent sesuai aturan hukum yang berlaku. Penjelasan sebaiknya dilakukan secara dua arah dan selalu pastikan pasien paham. Pastikan informed consent terdokumentasi dengan lengkap dan baik.[1]
Dokter dapat memberikan edukasi terhadap pasien sejak pasien melakukan antenatal care (ANC) terutama ketika kehamilan sudah aterm. Dokter dapat melakukan pemeriksaan dalam dan menentukan apakah pasien diindikasikan untuk induksi persalinan, apakah ada kontraindikasi persalinan pervaginam, serta metode apa saja yang dapat dipilih oleh pasien.[1,2]
Persiapan Pra-Tindakan
Pada pasien yang akan dilakukan induksi persalinan, lakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan dalam vagina terlebih dahulu. Dokter dapat menggunakan Bishop score untuk membantu memprediksi keberhasilan induksi persalinan.
Bishop score merupakan sistem dengan skor minimal 0 dan maksimal 13 poin. Skor lebih dari 8 menunjukkan pasien dapat diinduksi atau kemungkinan terjadinya persalinan pervaginam dengan induksi serupa dengan persalinan spontan. Skor kurang dari 6 dianggap tidak baik jika induksi diindikasikan, penggunaan agen pematangan serviks dapat dipertimbangkan.[6]
Tabel 1. Bishop Score
Skor | Dilatasi (cm) | Posisi Serviks | Effacement (%) | Station (-3 hingga +3) | Konsistensi serviks |
0 | Tertutup | Posterior | 0-30 | -3 | Keras |
1 | 1-2 | Tengah | 40-50 | -2 | Medium |
2 | 3-4 | Anterior | 60-70 | -1,0 | Lunak |
3 | 5-6 | - | 80 | +1, +2 | -- |
Sumber: dr. Utari Nur Alifah Suharto, Alomedika, 2023.[6]
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu:
- Dilatasi serviks, dokter dapat membuat estimasi diameter pembukaan serviks dalam satuan centimeter
- Posisi yang dinilai adalah posisi serviks terhadap kepala janin dan pelvis
Effacement yaitu penipisan atau pemendekan dari serviks dibanding keseluruhan serviks dan dibuat dalam persentase. 0% berarti kondisi serviks normal, belum memasuki persalinan. 50% berarti panjang serviks hanya setengahnya dari serviks normal. 100% berarti sudah terjadi effacement dan penipisan
- Station atau posisi kepala janin dibandingkan dengan spina ischiadica ibu. Station 0 berarti kepala janin berada pada spina ischiadica. Di atas spina ischiadica diberikan sistem scoring -3, -2, dan -1. Sedangkan di bawah spina ischiadica diberikan sistem scoring +1, +2, +3
- Konsistensi dari serviks ditentukan pada saat pemeriksaan apakah terasa keras, atau lunak. Keras dapat diibaratkan seperti menyentuh ujung hidung sedangkan lunak dapat diibaratkan seperti menyentuh bibir[6]
Peralatan
Komponen peralatan dalam tindakan induksi persalinan bergantung pada metode yang dipilih, seringkali dalam tindakan induksi persalinan dibutuhkan dua metode atau lebih. Perlengkapan yang harus ada yaitu:
- Partus set
- Sarung tangan steril
- Sarung tangan obstetri
- Spekulum vagina
- Kassa steril
- Peralatan induksi mekanik: laminaria, infus NaCl, kateter foley single atau double balloon
- Peralatan Induksi Surgikal: amnihook atau klem
- Peralatan Induksi Farmakologi: prostaglandin E2, misoprostol, atau oxytocin tergantung metode yang dipilih.
- Peralatan pemeriksaan penunjang seperti cardiotocography dan ultrasonography
- Peralatan monitoring seperti tensimeter, saturasi oksigen, atau monitor[1-4]
Prosedural
Prosedur dalam melakukan induksi persalinan bergantung pada metode yang dipilih.
Induksi Farmakologi
Prostaglandin sintetis dapat digunakan untuk pematangan serviks dan induksi persalinan. Prostaglandin berhubungan dengan risiko ruptur uteri pada pasien dengan skar pada uteri sehingga tidak bisa diberikan pada pasien yang menjalani partus percobaan setelah operasi caesar.
Pada pasien yang memenuhi kriteria untuk diberikan prostaglandin saat induksi persalinan maka denyut jantung janin dan kontraksi uterus harus dimonitor secara berkala.[2-4,8]
Misoprostol:
PGE1 misoprostol dapat diberikan secara intravaginal sebanyak 25 µg setiap 3 hingga 6 jam. Misoprostol juga dapat diberikan secara oral, bukal, dan sublingual. [2-4,8]
Misoprostol merupakan agen yang aman dan efektif untuk induksi persalinan pada pasien dengan membran intak. Risiko ruptur uteri pada penggunaan misoprostol menjadi perhatian, namun tidak terdapat perbedaan kejadian ruptur uteri antara penggunaan misoprostol dengan penggunaan agen lainnya.[9]
Dinoprostone:
PGE2 dinoprostone atau prostaglandin sintetik E2 memiliki dua sediaan yaitu gel dalam syringe 2,5 ml dengan kandungan 0,5 mg dan sediaan pervaginam dengan kandungan 10 mg. Sediaan pervaginam memiliki awitan kerja lebih lambat dibanding sediaan gel.[2-4,8]
Oxytocin:
Oxytocin sintetis merupakan metode farmakologis yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan. Oxytocin sintetis menyerupai oxytocin endogen yang diproduksi selama persalinan spontan dan secara serupa akan menstimulasi kontraksi uterus. Oxytocin paling sering diberikan melalui rute intravena dan dapat dititrasi naik berdasarkan frekuensi dan kekuatan kontraksi uterus.[2-4,8]
Kontraksi akan dimulai sejak 3 hingga 5 menit ketika oxytocin diberikan dan akan meningkat hingga mencapai level yang stabil pada plasma setelah 40 menit. Efek samping oxytocin yaitu takisistol pada uterus dan abnormalitas pada denyut jantung janin sehingga kontraksi uterus dan denyut jantung janin harus dipantau selama pemberian oxytocin.[2,4,8]
Terdapat dua regimen penggunaan oxytocin untuk menginduksi persalinan
- Regimen dosis rendah: diberikan dosis awal 0,5 hingga 2,0 mU per menit dengan dosis pemeliharaan 1,0 hingga 2,0 mU per menit setiap 15 hingga 60 menit
- Regimen dosis tinggi: diberikan dosis awal 6,0 mU per menit dengan dosis pemeliharaan 2,0 hingga 6,0 mU per menit setiap 15 hingga 40 menit
Penggunaan regimen dosis tinggi cenderung mempercepat waktu persalinan, tetapi juga dapat meningkatkan risiko efek samping seperti hiperstimulasi.[15]
Induksi Mekanik
Terdapat beberapa metode induksi mekanis, misalnya dengan dilator osmotik atau pemasangan balon kateter foley.
Dilator Osmotik:
Dilator osmotik merupakan salah satu metode induksi mekanik. Dilator osmotik dapat menggunakan Laminaria atau komponen sintetik seperti Lamicel® dan Dilapan®. Dilator merupakan komponen hidrofilik sehingga akan mengabsorbsi cairan dan membesar, yang mana akan menyebabkan dilatasi serviks.[2,4,8]
Infus Cairan Salin Ekstraamniotik:
Infus cairan salin ekstraamniotik juga merupakan metode induksi mekanik. Kateter akan digunakan untuk mengalirkan cairan normal salin ke dalam ruang antara dinding uterus dan amnion. Hasil yang diharapkan adalah terlepasnya prostaglandin. Laju yang diberikan untuk infus cairan salin sekitar 30-40 mL per jam.[2,3]
Pemasangan Balon Kateter Foley:
Kateter foley transervikal baik single balloon maupun double balloon dapat menjadi alternatif metode induksi mekanik. Kateter foley akan diletakkan melalui kanalis servikalis bersamaan dengan pematangan serviks. Balon kateter akan dikembangkan dan diletakkan di atas serviks interna dan akan disambungkan dengan traksi sehingga menimbulkan tekanan.
Pada double balloon, balon kedua akan diletakkan antara ostium eksternal. Dengan metode ini kateter dapat diletakkan hingga lebih dari 24 jam namun setelah kateter dilepas seringkali diperlukan metode induksi lain seperti dengan oxytocin atau amniotomi.
Cara memasang balon kateter foley adalah:
- Kateter dimasukkan ke dalam endoserviks dengan cara visualisasi langsung atau secara buta dengan menemukan serviks dengan jari pemeriksa dan membimbing kateter di atas tangan dan jari melalui endoserviks dan ke ruang potensial antara membran amnion dan segmen bawah rahim
- Reservoir balon diisi dengan 30 hingga 50 mL larutan salin fisiologis
- Balon ditarik kembali sehingga terletak di atas os interna[2,3,8]
Induksi Bedah/Amniotomi
Amniotomi merupakan tindakan bedah dengan melubangi membran amnion sehingga membran akan ruptur secara artifisial. Setelah air ketuban keluar diharapkan persalinan dapat terinduksi. Seringkali sulit untuk menentukan interval antara amniotomi terhadap terjadinya persalinan. Waktu yang lebih lama dari amniotomi ke persalinan akan meningkatkan risiko infeksi.
Cara melakukan amniotomi adalah:
- Lakukan pemeriksaan panggul untuk mengevaluasi serviks dan posisi bagian presentasi janin
- Rekam detak jantung janin sebelum dan setelah prosedur
- Pastikan bagian presentasi janin terletak dengan baik di serviks
- Keluarkan selaput ketuban di atas kepala janin dengan menggunakan jari pemeriksa
- Masukkan kait serviks melalui mulut serviks dengan cara meluncurkannya sepanjang tangan dan jari, sisi kait menghadap ke arah tangan
- Gores atau gunakan kait untuk memecahkan selaput ketuban
- Catat karakteristik cairan ketuban (jernih, berdarah, kental atau encer, mekonium)[2-4,8]
Metode Induksi Alternatif
Metode induksi persalinan lainnya mencakup stimulasi pada puting payudara dan membrane sweeping.
Stimulasi Puting:
Stimulasi pada puting payudara dapat menstimulasi kontraksi uterus karena adanya peningkatan level oxytocin. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan perdarahan postpartum pada pasien yang menjalani stimulasi puting payudara.[2,4,8,10]
Membrane Sweeping atau Stripping:
Sebelum melakukan membrane sweeping atau stripping, perlu dilakukan pemeriksaan pervaginam. Untuk wanita nullipara, disarankan melakukan membrane sweeping pada kunjungan antenatal pada minggu ke-40 dan ke-41. Sedangkan untuk wanita multipara, disarankan pada kunjungan antenatal minggu ke-41.
Prosedur membrane sweeping melibatkan memasukkan jari ke dalam serviks melampaui os interna, diikuti dengan tiga kali gerakan melingkar jari untuk menyebabkan pemisahan selaput ketuban dari segmen bawah rahim. Tindakan ini menyebabkan peningkatan signifikan dalam aktivitas fosfolipase A2 dan tingkat PGF2a, sehingga meningkatkan kemungkinan persalinan spontan dalam waktu 48 jam dan mengurangi kebutuhan untuk induksi dengan metode lain.
Efek samping potensial dari metode ini adalah ketidaknyamanan pasien selama prosedur, perdarahan vagina, pecahnya ketuban, dan terjadinya kontraksi saat prosedur dilakukan.[2,4,8,10]
Metode Induksi Kombinasi
Seringkali dibutuhkan kombinasi antara kedua metode seperti mekanik dan farmakologis, amniotomi dan farmakologis, atau dengan menambahkan metode alternatif. Tidak ada konsensus yang jelas untuk menentukan metode apa yang paling bagus karena banyaknya variasi individu untuk tiap pasien. Pastikan memilih metode yang sudah terbukti aman dan melakukan monitoring terhadap pasien dengan ketat.[2]
Dokter juga harus waspada apabila pasien secara mandiri di luar pengawasan tenaga kesehatan menggunakan metode induksi persalinan yang belum terbukti dan tidak direkomendasikan seperti penggunaan obat herbal, minyak-minyak tertentu, enema, atau metode lain yang berdasarkan mitos kepercayaan dan belum terbukti secara ilmiah.[4]
Pasien perlu diedukasi bahwa sebelum induksi persalinan haruslah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk melihat apakah terdapat kontraindikasi atau hal lain yang membahayakan ibu dan janin.[1-4,8]
Follow up
Setelah tindakan dilakukan, perlu adanya pemantauan berkelanjutan untuk menilai kesejahteraan janin dan tanda vital ibu. Dokumentasikan pemantauan secara bertahap dan segera waspada apabila kondisi kegawatan seperti hipoksia janin, ibu kelelahan, dan kondisi lain yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan persalinan pervaginam.[1-4,7]
Keberhasilan induksi persalinan ditandai dengan tercapainya persalinan pervaginam, meski begitu, batasan waktu melakukan induksi ini masih diperdebatkan. Gagal induksi ditandai dengan tidak tercapainya persalinan pervaginam atau tidak memungkinkan untuk dilanjutkan persalinan pervaginam sehingga dibutuhkan tindakan sectio caesarea.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Rachmah Trijayanti