Penatalaksanaan Kolelitiasis
Penatalaksanaan kolelitiasis (cholelithiasis) atau batu empedu meliputi observasi, medikamentosa, atau tindakan operatif. Penanganan disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit.[4,6,8]
Observasi
Kolelitiasis seringkali ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pemeriksaan penunjang untuk kondisi lainnya. Kasus yang bersifat asimtomatik sebaiknya dilakukan pendekatan terapi observasi gejala dan follow up klinis.[4,6,8]
Sekitar 2‒4% pasien asimtomatik menjadi bergejala dalam follow up tahunan. Beberapa faktor risiko transisi ini adalah adanya batu empedu yang multipel, temuan kolesistografi negatif, dan pasien usia muda.[11]
Medikamentosa
Pada pasien asimtomatik atau simptomatik yang menolak tindakan operatif, ataupun tidak memenuhi syarat pembedahan, dapat direkomendasikan untuk diberikan terapi medikamentosa disolusi oral atau extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL).[2-4,8]
Analgesik
Analgetik lini pertama dapat diberikan obat antiInflamasi nonsteroid (OAINS), seperti diklofenak, ketoprofen, indometasin, atau paracetamol. Opsi lain bisa berikan analgetik golongan narkotika, seperti meperidine atau buprenorfin. OAINS dipilih karena efek analgesik yang setara dengan obat golongan narkotika, tetapi dengan efek samping yang lebih rendah.
Agen antispasmodik, seperti butilscopolamina, merupakan alternatif untuk merelaksasi dan mengurangi spasme kantung empedu.[2-4]
Terapi Disolusi Oral
Obat disolusi disarankan untuk pasien kolelitiasis asimtomatik dengan batu empedu kolesterol. Selain itu, bisa diberikan juga pada pasien simptomatik yang mempunyai kontraindikasi terapi pembedahan, atau dengan batu empedu berukuran kurang dari 15 mm dengan fungsi kantung empedu yang normal.[11]
Jenis obat disolusi batu empedu adalah asam ursodeoksikolat atau asam kenodeoksikolat. Kedua obat ini berfungsi menurunkan sekresi kolesterol bilier oleh hepar, menyebabkan pembentukan cairan empedu tak terkonjugasi, dan meningkatkan pelarutan kristal dan batu kolesterol. Kelemahan terapi ini adalah membutuhkan waktu observasi yang panjang dan rekurensi yang tinggi (>50%).[4,11]
Terapi disolusi oral akan bermanfaat pada pasien dengan batu empedu multipel, ukuran batu kurang dari 15 mm, atau dengan hasil pemeriksaan CT-Scan dengan nilai CT kurang dari 60 HU. Studi oleh Tomida et al mengenai pemberian obat ursodeoksikolat jangka panjang (18 tahun) pada 527 peserta, melaporkan bahwa obat tersebut dapat menurunkan secara signifikan risiko nyeri traktus bilier dan komplikasi kolesistitis akut pada pasien kolelitiasis, bahkan pada pasien simtomatik[11,12]
Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL)
ESWL cukup efektif dilakukan pada pasien kolelitiasis kolesterol dengan fungsi kantung empedu normal. Prosedur ini memiliki efektivitas biaya yang setara dengan prosedur kolesistektomi pada batu empedu kecil (<4 ㎤). Meski demikian, prosedur ini memiliki tingkat rekurensi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kolesistektomi. Sebanyak 36% pasien yang telah melalui prosedur ESWL, perlu dilakukan kolesistektomi pada periode follow up berikutnya.[8,11]
Pembedahan Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah penanganan utama pada kolelitiasis simtomatik. Pada pasien asimtomatik, dapat dianjurkan untuk dilakukan kolesistektomi pada kondisi tertentu, misalnya pada pasien dengan anemia hemolitik, risiko tinggi kanker kantung empedu, atau sirosis hepatis yang direncanakan untuk transplantasi hati.[3,4,6,11,13]
Kolesistektomi dapat dilakukan dengan teknik laparoskopi dan laparotomi. Teknik laparoskopik lebih unggul dalam hal mengurangi masa rawat inap, waktu pemulihan, nyeri pasca operasi, dan biaya tindakan. Angka kejadian perdarahan perioperatif kolesistektomi laparoskopik juga terhitung rendah, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan golongan darah dan penyimpanan darah preoperatif secara rutin pada kolesistektomi laparoskopik.[3,10,11]
Teknik laparoskopik dijadikan pilihan utama di rumah sakit yang memiliki fasilitas ini. Kolesistektomi laparoskopik awal dalam rentang 72 jam setelah onset gejala mempunyai manfaat yang signifikan, baik dari sisi medis maupun sosioekonomi.[3,10,11]
Meskipun sudah direncanakan untuk dilakukan operasi laparoskopi, sekitar 3,6‒8% kasus dilakukan pergantian teknik intraoperatif menjadi laparotomi. Hal ini dapat disebabkan karena kantung empedu tidak tervisualisasi secara jelas, ditemukan inflamasi berat, atau terdapat tanda-tanda yang mengarah pada keganasan. Tanda keganasan misalnya ukuran batu empedu yang besar (>3 cm), pasien wanita lansia, atau ditemukan kondisi porcelain gallbladder.[2,11,14]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini