Patofisiologi Karsinoma Sel Renal
Pengetahuan tentang patofisiologi karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) telah berkembang pesat sejak dekade 1990 dan telah berhasil mengidentifikasi kaitan RCC dengan berbagai sindrom familial, gen penekan tumor, dan onkogen. Pemahaman tentang sifat berbagai subtipe RCC yang berbeda tak hanya mempengaruhi klasifikasi histologi tumor, namun juga bermanfaat mengarahkan tata laksana pasien yang diperantarai oleh terapi target.
Mayoritas RCC bersifat sporadis dan melibatkan mutasi pada kedua alel pada gen tertentu. Sementara itu, pada sebagian kecil kasus, RCC bersifat familial yang ditandai mutasi bawaan pada satu alel dan disfungsi alel lainnya akibat mutasi lanjutan.
Karsinoma Sel Renal Sebagai Suatu Gangguan Genetik
Karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) merupakan suatu manifestasi gangguan genetik yang biasanya melibatkan kelainan pada gen Von Hippel-Lindau (VHL) dan protein polybromo-1 (PBRM-1). Gen VHL tergolong dalam suatu gen penekan tumor yang berperan penting pada perkembangan subtipe RCC tersering, clear cell renal cell carcinoma (ccRCC). Perubahan pada gen VHL dapat terjadi secara autosomal dominan (penyebab penyakit VHL) atau secara sporadis.[1]
Peran Gen VHL
Pada individu dengan penyakit VHL, salinan dari satu gen VHL mengalami inaktivasi pada seluruh sel sedangkan salinan lainnya masih normal. Pembentukan tumor bermula ketika alel pasangan gen yang abnormal tersebut mengalami gangguan fungsi akibat mutasi somatik atau delesi. Delesi kromosom 3p adalah bentuk kelainan genetik yang khas pada kasus ccRCC dan dianggap sebagai titik awal pembentukan tumor.[2,3]
Gen VHL memproduksi protein yang disebut protein VHL (pVHL) yang berfungsi sebagai protein penekan tumor. Protein VHL berinteraksi dengan membentuk kompleks senyawa VBC bersama sejumlah protein lain seperti elongin B, elongin C, dan cellulin 2. Kompleks VBC membantu degradasi protein intraseluler pada proteasom. Selain itu, pVHL turut mengatur kadar hypoxia-inducible factor 1 alpha dan 2 alpha (HIF1-α dan HIF2-α). Ikatan antara HIF1-α dan HIF2-α akan memicu transkripsi DNA sehingga terjadi peningkatan regulasi mRNA yang mengkode beberapa faktor pertumbuhan seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), platelet-derived growth factor beta (PDGFB), dan transforming growth factor alpha (TGFA). Ketiga faktor pertumbuhan ini sangat penting bagi pengendalian protein matriks ekstraseluler dan perkembangan tumor seperti ccRCC yang kaya vaskulariasi.[1,4]
Penemuan peran VEGF pada ccRCC berkaitan erat dengan perencanaan terapi, khususnya pada ccRCC yang bermetastasis. Inhibitor tirosin kinase yang menghambat reseptor VEGF seperti sunitinib dan pazopanib telah dikembangkan sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan ccRCC yang bermetastasis.[5] Antibodi monoklonal yang menargetkan VEGF seperti bevacizumab juga dapat menjadi pilihan terapi pada kasus metastasis ccRCC . Selain itu, sejumlah prototipe antagonis HIF2 diteliti potensi dan keamanannya sebagai terapi tunggal pada ccRCC dan penyakit VHL.[6,7]
Peran Gen PBRM-1
Gen PBRM-1 adalah gen penekan tumor yang mengkode protein BAF180 yang penting dalam patogenesis ccRCC. Protein BAF180 merupakan subunit kompleks remodelisasi nukleosom yang mengendalikan ekspresi beberapa gen dengan menargetkan struktur padat pada DNA. Hingga kini masih belum dapat dipastikan mekanisme dasar BAF180 sebagai suatu protein penekan tumor, namun studi pada hewan coba menunjukkan adanya peran BAF180 dalam mengendalikan siklus dan penuaan sel akibat replikasi.[8,9]
Kelainan Imunologi pada Karsinoma sel renal
Kelainan imunologi telah lama dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penting pada patofisiologi karsinoma ginjal. Komponen sitotoksik pada sistem imun berperan dalam mengenali dan menekan pertumbuhan sejumlah kanker, termasuk karsinoma sel renal (RCC). Namun, sel kanker pada RCC dapat memodifikasi dirinya untuk melawan sel T sitotoksik melalui jaras tertentu sehingga dapat bertahan hidup dan memicu progresivitas penyakit. Salah satu jaras imunologi yang berkaitan dengan kegagalan sistem imun dalam melawan RCC adalah jaras programmed death-1 (PD-1).[10,11]
Respons Imun Sitotoksik terhadap RCC
Pada individu sehat, sistem imun sitotoksik memiliki kemampuan dalam mengenali antigen asing yang terdapat pada permukaan sel kanker. Hal tersebut akan mengaktifkan limfosit T sitotoksik dan pelepasan sejumlah sitokin seperti interferon, interleukin-2, dan tumor necrosis factor (TNF). [12] Sitokin inilah yang berperan dalam memicu kematian sel kanker. Hal ini didukung oleh adanya bukti infiltrasi sel imun seperti sel T (CD4 dan CD8), sel T regulatorik, sel dendritik, dan sel natural killer (NK), makrofag, dan sel B pada berbagai tahap diferensiasi.[13]
Infiltrasi sel imun ini biasanya mendominasi area sekitar vaskuler dan stroma tumor RCC. Meskipun mekanisme dasarnya belum diketahui, infiltrasi sel imun di sekitar tumor ini berkaitan dengan respons RCC terhadap imunoterapi maupun imunosupresi signifikan pada pasien dengan tumor dorman dalam waktu yang panjang.
Jaras Programmed Death-1 pada RCC
Sementara itu, reseptor PD-1 merupakan protein pada membran sel T CD8 yang diaktifkan oleh protein permukaan PD ligand-1 dan -2 (PD-L1 dan PD-L2). PD-L1 terdapat pada permukaan berbagai sel pengenal antigen dan beberapa sel kanker, termasuk sel RCC. [14,15] Fungsi PD-1 yang telah teraktivasi oleh PD-L1 adalah menekan sistem imun sitotoksik dengan menginduksi apoptosis limfosit T sitotoksik. [16,17] Pada situasi yang terkendali, hal ini akan mencegah kekacauan respons autoimun ketika tubuh terpapar antigen asing. Dengan kata lain, PD-1 merupakan suatu protein anti-imunitas yang dapat menekan sistem imun serta menurunkan jumlah sel T sitotoksik yang menyerang antigen dan sel kanker.
Sejumlah sel kanker, termasuk ccRCC, dapat mengekspresikan PD-L1 pada permukaan selnya sehingga memungkinkan sel kanker dalam mengelabui sistem imun sitotoksik. Pada kondisi semacam ini, pemberian antibodi penghambat PD-1 seperti nivolumab dan pembrolizumab berpeluang sebagai terapi pilihan lini kedua khususnya pada pasien dengan ccRCC yang telah bermetastasis.[10,11]
Gangguan Metabolik pada Karsinoma sel renal
Gangguan metabolik pada jalur glutaminase turut berpengaruh pada kesintasan sel kanker pada pasien dengan karsinoma sel renal (RCC). Hal ini disebabkan oleh kemampuan sel kanker dalam menghindari dampak stres metabolik yang dipaparkan oleh sistem imun dan berbagai obat kemoterapi.
Peran Jalur Glutaminase pada Karsinoma sel renal
Glutamin merupakan asam amino yang penting dalam sintesis DNA pada sel karsinoma sel renal dan berbagai sel kanker lainnya. Sel kanker memproses glutamin dengan cara yang berbeda dibandingkan sel normal dan berkaitan dengan kerja enzim glutaminase. Glutaminase mengubah glutamin menjadi glutamat yang kemudian meningkatkan produksi aspartat melalui siklus Krebs. Aspartat sangat penting untuk pembentukan pirimidin dan maturasi sel.[18]
Pada sel yang mengalami mutasi gen VHL, glutamin diperlukan untuk sintesis asam lemak esensial, sitrat, dan glutathione. Glutathione tergolong dalam suatu senyawa antioksidan yang penting bagi sel untuk melawan stres oksidatif, khususnya yang dipicu oleh sistem imun. Oleh sebab itu, inhibisi jalur glutaminase dapat menimbulkan penundaan siklus sel kanker akibat penurunan pembentukan pirimidin dan kematian sel yang diperantarai oleh stres oksidatif.[19,20]