Teknik Sectio Caesarea
Tidak terdapat teknik terstandar untuk operasi sectio caesarea (SC) atau biasa disebut operasi sesar atau caesarean section. Hal utama yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya komplikasi dan kerusakan terhadap organ sekitar.[2,3,9]
Persiapan Pasien
Persiapan pasien yang harus dilakukan sebelum sectio caesarea (SC) atau biasa disebut operasi sesar atau caesarean section dimulai dengan melakukan anamnesis terhadap pasien menanyakan riwayat perawatan antenatal, riwayat kehamilan sebelumnya, serta kondisi lain yang ditujukan untuk mencari adanya indikasi dan kontraindikasi.
Jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukan SC, maka dokter perlu menjelaskan tentang tujuan dan prosedur tindakan, kemudian meminta persetujuan pasien, baik secara lisan maupun tertulis, menggunakan informed consent. Lakukan pemeriksaan laboratorium, seperti darah lengkap, profil koagulasi, cross-match darah, dan pemeriksaan khusus bila diperlukan, misalnya pemeriksaan human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B.[3]
Konsultasi dengan spesialis anestesi juga diperlukan untuk melihat apakah pasien layak menjalani operasi atau tidak. Pasien yang akan melakukan SC harus berpuasa paling tidak 8 jam preoperasi untuk makanan padat, dan 2 jam preoperasi untuk cairan. Sebelum tindakan dilakukan, lakukan pemasangan akses intravena dan kateter Foley.[3]
Saat ini, beberapa rumah sakit di Indonesia telah menerapkan pedoman enhanced recovery after surgery (ERAS) pada operasi SC. Pedoman ini dilakukan untuk mempercepat pemulihan ibu setelah melahirkan, sehingga durasi rawat rumah sakit lebih cepat.[23]
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan angka kejadian infeksi maternal. Antibiotik yang disarankan adalah spektrum sempit yang efektif terhadap mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih, endometritis, dan infeksi luka. Antibiotik diberikan secara intravena dalam dosis tunggal, 60 menit sebelum dilakukan insisi. Contoh antibiotik yang dapat diberikan, antara lain:
- Golongan cephalosporin, seperti cefazolin, cefotaxime, atau cefotetan, dengan dosis 2 gram intravena (IV) bila berat badan pasien <120 kg atau 3 gram IV bila ≥120 kg
- Ampicillin-sulbactam 3 gram IV
Clindamycin 600 mg IV, atau vancomycin 1 gram IV dan gentamicin 1,5 mg/kg IV[3,10,11]
Peralatan
Peralatan untuk operasi sectio caesarea (SC) harus steril. Peralatan yang dibutuhkan selama operasi pada umumnya sudah dikelompokkan ke dalam set untuk SC. Selain itu, harus juga tersedia peralatan untuk tindakan asepsis, penjahitan insisi di akhir SC, dan peralatan yang mungkin diperlukan bayi, seperti vakum dan alat resusitasi neonatus.[2,3,9,15]
Set Instrumen Sectio Caesarea
Set instrumen sectio caesarea terdiri atas:
- Pisau bedah dan Bisturi no. 10
- Beberapa gunting, seperti gunting mayo lengkung (curved mayo scissor), gunting metzenbaum lengkung (curved metzenbaum scissor), gunting kasa, dan gunting benang
- Beberapa pinset, seperti pinset anatomis, pinset sirurgis (adson forcep), pinset ring (ring forcep), pinset alligator (rat tooth tissue forcep)
- Beberapa klem, seperti klem Kocher, klem Allis, hemostat lengkung, dan needle holder
- Beberapa retraktor, seperti retraktor Doyen, retraktor Richardson, retraktor Bull[2,3,9,15]
Peralatan Lainnya
Tidak hanya set SC, dibutuhkan juga peralatan lain, yaitu:
- Peralatan sebelum operasi dilakukan, misalnya alat pelindung diri (APD), seperti sarung tangan dan apron, alat-alat untuk membersihkan daerah insisi, misalnya kasa steril dan larutan chlorhexidine 4% atau povidone iodine, dan kateter indwelling
- Peralatan selama operasi selain set SC, misalnya vakum yang kadang diperlukan untuk membantu proses kelahiran, benang suture absorbable dan non-absorbable
- Peralatan untuk resusitasi neonatus[2,3,9,15]
Posisi Pasien
Pasien diposisikan pada posisi supinasi, dapat diberikan bantal tipis. Studi menunjukkan bahwa miring ke kiri lebih baik dibandingkan ke kanan. Pilihan anestesi yang biasa digunakan adalah anestesi spinal, tetapi dapat juga menggunakan anestesi umum (general anaesthesia).[16]
Prosedural
Teknik pembedahan yang dilakukan dapat berbeda-beda sesuai kondisi masing-masing pasien, namun prosedur sectio caesarea (SC) umumnya terbagi ke dalam beberapa fase, yaitu laparotomi, histerotomi, persalinan/ delivery, reparasi uterus, dan penutupan abdomen.[2,9,17]
Laparotomi
Laparotomi dilakukan untuk memberikan akses ke rongga peritoneum dan uterus dengan membuka lapisan abdomen. Membuka lapisan abdomen dilakukan dengan cara:
Insisi Kulit:
Untuk insisi kulit pada prosedur SC, lakukan secara transversal, berupa garis lurus, 3 cm di atas simfisis pubis. Jika diperlukan memperluas insisi, gunakan gunting, bukan pisau bedah. Cara insisi seperti ini menghasilkan waktu operasi yang lebih singkat dan menurunkan angka kejadian demam postoperatif.[3,17]
Lapisan Subkutan:
Buka lapisan subkutan secara diseksi tumpul. Diseksi tumpul, misalnya dengan tangan, lebih disarankan karena mengurangi risiko trauma dan memperpendek durasi operasi. Tangani perdarahan bila ada.[3,17]
Lapisan Fascia:
Terdapat beberapa teknik untuk membuka fascia. Umumnya, dilakukan insisi kecil transversal dengan pisau bedah dan kemudian dilebarkan dengan gunting fascia.[3,17]
Lapisan Otot Rektus:
Lapisan otot rektus dapat dipisahkan secara tumpul. Hindari transeksi otot dan diseksi fascia rektus.[3,17]
Membuka Rongga Peritoneum:
Rongga peritoneum dapat dibuka secara tumpul dengan jari. Bukaan yang dibuat harus dipastikan adekuat untuk akses ke uterus. Diseksi secara tajam terkadang diperlukan, terutama bila terdapat adhesi cukup banyak.[2,9,17]
Histerotomi
Histerotomi adalah prosedur membuka uterus dengan insisi. Operator harus mewaspadai letak plasenta dan letak bayi sebelum membuka uterus. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
- Insisi inisial dilakukan dengan pisau bedah secara transversal atau vertikal. Pisahkan lapisan serosa vesikouterina dan miometrium segmen bawah uterus secara tumpul dengan menyisipkan gunting dan mendorong ke sisi lateral pada kedua sisi. Peritoneum akan terangkat dan vesika urinaria secara perlahan terpisah dari lapisan miometrium
- Pisahkan vesika urinaria dan miometrium dengan diseksi tumpul pada ruang antara vesikouterina. Bladder flap tidak perlu dibuat
- Lakukan insisi miometrium dengan hati-hati. Klem Allis dapat digunakan untuk membantu elevasi miometrium. Pastikan akses ke segmen bawah uterus cukup
- Insisi uterus dibuat sebesar 1–2 cm pada bagian midline, secara transversal pada bagian bawah uterus (Monroe-Kerr). Insisi transversal lebih disarankan, karena perdarahan lebih sedikit, reaproksimasi lebih mudah, dan risiko ruptur lebih kecil. Insisi vertikal, baik secara klasik atau vertikal rendah, dapat dilakukan pada perlengketan vesika urinaria, persalinan postmortem, atau pada keadaan patologi pada segmen bawah uterus yang membuat insisi transversal tidak dapat dilakukan
- Setelah akses ke dalam rongga uterus didapat, insisi histerotomi yang dibuat dapat dilebarkan secara tumpul dengan tangan operator atau gunting kassa. Insisi uterus dilebarkan secara transversal dengan menarik secara vertikal ke arah sefalokaudal dengan kedua jari telunjuk[2,9,17]
Persalinan
Proses persalinan dimulai setelah uterus berhasil dibuka dan dimulai dengan pengeluaran bayi, manajemen tali pusat, pemberian oksitosin, dan melahirkan plasenta.
Melahirkan Kepala:
Bila presentasi kepala, selipkan tangan ke dalam rongga uterus di antara simfisis dan kepala bayi untuk mengeluarkan kepala. Elevasikan kepala bayi secara perlahan dengan jari dan telapak melalui insisi. Setelah kepala masuk ke dalam insisi, berikan dorongan transabdominal pada fundus untuk mengeluarkan kepala. Ekstraksi dengan forceps atau vakum dapat dilakukan bila diperlukan.[2,9,17]
Memeriksa Lilitan Tali Pusat:
Setelah kepala berhasil dilahirkan, periksa ada atau tidaknya lilitan tali pusat dengan menyusui leher bayi dengan jari. Lepaskan lilitan bila ada.[2,9,17]
Melahirkan Bahu:
Kelahiran bahu dimulai dari anterior. Rotasikan kepala ke arah oksiput transversal. Pegang kedua sisi kepala dengan kedua tangan. Lakukan traksi ke bawah secara perlahan hingga bahu anterior masuk ke insisi histerotomi. Untuk melahirkan bahu posterior, lakukan traksi ke atas secara perlahan untuk melahirkan bahu posterior. Lanjutkan traksi ke luar secara perlahan sampai seluruh bagian tubuh bayi lahir.[2,9,17]
Manajemen Tali Pusat:
Setelah bayi berhasil dilahirkan, lakukan pemeriksaan tali pusat dan klem. Penjepitan tali pusat tertunda dapat dilakukan dengan menilai manfaat dan risiko. Klem pada 2 titik dan potong tali pusat di antara kedua klem.[2,9,17]
Pemberian Oksitosin:
Oksitosin diberikan intravena bolus lambat sebanyak 5 IU, atau infus sebanyak 20 IU dalam 1 liter cairan normal saline (NS) selama 1 jam.[2,9,17]
Mengeluarkan Plasenta:
Plasenta umumnya keluar secara spontan. Bila plasenta belum lahir, lakukan traksi tali pusat terkendali. Metode ini lebih baik dibandingkan mengeluarkan plasenta secara manual.[2,9,17]
Reparasi Uterus
Setelah bayi dan plasenta lahir, pastikan tidak terdapat jaringan yang tertinggal dan tangani perdarahan sebelum melakukan reparasi uterus. Lakukan reaproksimasi uterus dan tutup insisi histerotomi. Proses reparasi atau penutupan uterus meliputi penutupan insisi uterus dan miometrium.
Menutup insisi uterus dapat dilakukan dengan benang suture. Teknik jahitan dapat dilakukan secara kontinu atau interrupted. Jahitan kontinu running-lock selapis (single layer) hingga seluruh lapisan miometrium dinilai lebih baik dibandingkan penutupan 2 lapis. Benang catgut kromik 2-0 dinilai lebih baik untuk prosedur ini. Benang suture absorbable 1-0 atau delayed-absorbable juga dapat digunakan.[2,9,17]
Penutupan Abdomen
Sebelum menutup abdomen, operator dan asisten operasi harus memastikan bahwa seluruh instrumen operasi sudah lengkap dan tidak ada yang tertinggal di dalam rongga abdomen. Lakukan pengecekan organ dan pastikan tidak terjadi cedera pada organ. Penutupan abdomen dimulai dengan membersihkan darah dan cairan amnion dengan suction dan irigasi.[2,9,17]
Tutup setiap lapisan abdomen secara berurutan. Pastikan lapangan operasi kering dan tangani perdarahan bila ada. Lapisan peritoneum visceral ataupun parietal tidak perlu ditutup. Posisikan otot rectus abdominis sesuai letak anatomisnya. Bila diperlukan, dapat dilakukan 1 atau 2 jahitan figure-of-eight dengan benang kromik nomor 1.[2,9,17]
Lapisan fascia ditutup dengan teknik jahitan simple-running, jarak antar jahitan ≤1 cm. Gunakan benang delayed-absorbable monofilament no. 1 atau no. 2, dan pastikan tegangan pada benang jahit yang tidak menyebabkan strangulasi. Lapisan subkutaneus dijahit hanya bila ketebalan lebih dari 2 cm. Penutupan yang dilakukan harus meminimalisir pembentukan seroma dan hematoma.[2,9,17]
Kulit dapat ditutup dengan jahitan subkutikuler dengan benang suture delayed-abosorbable atau non-absorbable 4-0. Penggunaan benang suture lebih baik dibandingkan stapler.[2,9,17]
Follow-Up
Pasca dilakukan operasi sectio caesarea (SC), pasien harus mendapatkan observasi secara ketat. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
Monitoring Tanda-tanda Vital
Observasi rutin pasca anestesi setiap 30 menit selama 2 jam pertama pasca operasi dilanjutkan setiap 1 jam atau lebih cepat hingga pasien stabil. Selain itu, perlu dilakukan pemantauan jalan napas, hemodinamik, dan stabilitas kardiorespiratori hingga pasien dapat berkomunikasi kembali.[3,7,9]
Perawatan Luka
Untuk mencegah infeksi, luka dari operasi perlu dirawat dengan baik, dengan memperhatikan higienitas. Penggantian perban dilakukan 24 jam pasca SC. Penting juga untuk melakukan pemantauan gejala demam dan tanda infeksi lain, misalnya nyeri bertambah intensitasnya, kemerahan, dan karakteristik lendir. Lakukan juga pemeriksaan separasi atau dehisensi luka.[3,7,9]
Mobilisasi Awal
Mobilisasi dapat dimulai dengan miring ke kiri dan kanan dan dilanjutkan setelah pelepasan kateter. Kateter Foley dapat dilepas 12–24 jam pasca operasi. Apabila terdapat retensio urin dalam 6 jam pertama, penggunaan kateter dapat diperpanjang selama 12–24 jam.[3,7,9]
Pemulangan Pasien dan Kontrol Kembali
Apabila tidak terdapat komplikasi, pasien dapat dipulangkan setelah 2–4 hari pascaoperasi. Sebelum pemulangan, pasien harus diedukasi mengenai pemilihan kontrasepsi, pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, menghindari sanggama 4–6 minggu postpartum.
Berikan antinyeri berupa anti-inflamasi non-steroidal, misalnya natrium diklofenak, atau analgesik lain bila tidak ada kontraindikasi. Lakukan profilaksis deep vein thrombosis (DVT), bila diperlukan, dan pantau lokia. Kunjungan kembali ke dokter sebaiknya dalam waktu 4–6 minggu pascaoperasi.[3,7,9]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra