Penatalaksanaan Konstipasi
Penatalaksanaan konstipasi yang utama adalah modifikasi gaya hidup, mencakup perubahan diet, hidrasi, dan aktivitas fisik. Jika konstipasi disebabkan oleh suatu kelainan organik, maka terapi disesuaikan dengan kondisi yang mendasari.[1,3,15-17]
Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi meliputi modifikasi diet dan gaya hidup dasar. Hal ini penting untuk ditekankan agar mencegah keluhan berulang.
Asupan Serat dan Cairan Cukup
Pasien disarankan untuk meningkatkan asupan cairan. Suatu uji klinis pada pasien dengan konstipasi kronik menunjukkan bahwa konsumsi air mineral hingga 2 liter per hari dapat meningkatkan frekuensi buang air besar dibandingkan konsumsi air kurang lebih 1 liter per hari. Temuan tersebut dihubungkan dengan kandungan magnesium dalam air mineral yang memiliki efek laksatif.
Melengkapi diet dengan serat memiliki manfaat di antaranya menahan air, sebagai pelumas pada tinja, meningkatkan massa feses, serta merangsang peristaltik. Terdapat rekomendasi untuk mengonsumsi serat 20-30 gram/hari dan menghindari makanan yang dapat memicu konstipasi.[3,11,15]
Aktivitas Fisik Cukup
Efek dari olahraga atau aktivitas fisik diperankan melalui modulasi mekanisme antiinflamasi dan antioksidatif. Pasien harus didorong untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai toleransi, dimulai dengan rekomendasi sederhana berjalan kaki 20 menit setiap hari.[1]
Kebiasaan Defekasi
Pasien diedukasi agar tidak menahan buang air besar, menghindari mengejan, membiasakan buang air besar setelah makan (melatih reflek postprandial bowel movement) atau saat waktu yang dianggap sesuai.[16]
Konsumsi Probiotik
Konsumsi probiotik dilaporkan dapat meringankan gejala konstipasi, memperbaiki tingkat motilitas usus, dan meningkatkan jumlah tinja. Probiotik terutama bekerja dalam memperbaiki regulasi peptida, neurotransmitter, faktor neurotropik, dan mikrobiota usus.[17]
Terapi Farmakologis
Tata laksana farmakologis untuk konstipasi mencakup penggunaan bulk-forming agent, stool softener, laksatif lubrikan, prokinetik, agen osmotik, dan laksatif stimulan.
Laksatif Osmotik
Laksatif osmotik merupakan ion dan molekul yang tidak dapat diserap dan bekerja secara osmotik dengan menarik air ke dalam lumen usus. Laksatif tipe ini akan meningkatkan volume tinja, menurunkan konsistensi, dan memperbaiki peristaltik.
Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah polietilen glikol (PEG), laktulosa, sorbitol, manitol, dan magnesium sulfat. Laksatif osmotik cukup sering digunakan karena mudah dalam penggunaannya dan harga yang terjangkau. Laktulosa dan PEG direkomendasikan untuk pengobatan konstipasi kronis. Kedua obat ini dapat digunakan sebagai terapi lini pertama pada konstipasi kronis. Dosis penggunaan sebagai berikut:
- Laktulosa: 10-20 gram atau dapat ditingkatkan sampai 40 gram, per oral, diberikan dalam satu dosis per hari
- Polietilen glikol: 17 gram dilarutkan dalam 120-240 ml air, per oral, digunakan sekali sehari, selama maksimal 7 hari
- Sorbitol: 30-150 ml sebagai larutan 70% diberikan satu kali secara oral, atau 120 mL sebagai larutan 25-30% diberikan satu kali sebagai enema[3,11,15]
Laksatif Stimulan
Laksatif stimulan seperti bisacodyl dan sennoside bekerja dengan merangsang peristaltik sehingga menyebabkan pengosongan usus. Obat ini umumnya diberikan pada pasien yang tidak respons dengan pencahar atau laksatif osmotik. Efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan obat ini diantaranya nyeri perut, distensi, diare, mual, dan muntah. Dosis yang digunakan adalah:
- Bisacodyl: 5-15 mg, diberikan satu kali sehari, maksimal 30 mg, per oral
- Sennoside: 15 mg, satu kali sehari, per oral[3,11]
Laksatif Lubrikan
Laksatif berupa lubrikan berperan dalam tatalaksana konstipasi dengan cara melubrikasi usus dan mencegah absorpsi air di usus. Contoh dari obat ini adalah paraffin oil yang dimasukkan ke dalam anus. Bisa juga diberikan sediaan mineral oil, namun sayangnya belum ada di Indonesia.[3]
Bulk Forming Agent
Bulk forming agent merupakan golongan laksatif yang bekerja dengan menyerap cairan di intestinal, sehingga konsistensi feses menjadi lebih lunak dan mudah dikeluarkan. Contoh dari golongan ini adalah psyllium dan metilselulosa. Sayangnya obat ini belum tersedia di Indonesia dan penggunaannya juga terbatas karena adanya efek samping yang dilaporkan seperti kembung, distensi perut, hingga nyeri atau kram.[3,18]
Stool Softener
Salah satu contoh obat golongan stool softener adalah natrium dokusat yang bekerja menurunkan tegangan permukaan air dan minyak pada tinja sehingga memungkinkan air untuk menembus ke tinja. Bukti studi terkait penggunaan obat ini masih terbatas dan efektivitasnya dilaporkan lebih rendah dibandingkan obat golongan lain.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. Junita br Tarigan