Patofisiologi Delirium
Patofisiologi pasti terjadinya delirium masih belum diketahui, namun diduga melibatkan disfungsi neurotransmiter dopamine dan asetilkolin, serta proses neuroinflamasi.[3,7,11]
Neuroinflamasi
Bukti penelitian menunjukkan bahwa pada delirium terjadi proses neuroinflamasi subklinis yang menyebabkan aktivasi mikroglia dan astrosit. Ketika neuron terpapar stimulus berbahaya, sel-sel ini akan melepaskan berbagai sitokin dan mediator inflamasi yang menyebabkan terjadinya jejas neuronal dan kerusakan sawar darah otak.
Neuronal Aging
Proses degeneratif, seperti pada penyakit Parkinson, menyebabkan berbagai perubahan pada otak. Perubahan ini mencakup penurunan aliran darah dan densitas vaskular; berkurangnya neuron; perubahan pada sistem transduksi sinyal; serta perubahan neurotransmitter pengatur stres (stress-regulating neurotransmitters). Perubahan ini dapat menyebabkan defisit kognitif, termasuk delirium. Hipotesis ini juga menjelaskan kerentanan kelompok lansia mengalami delirium saat mengalami distress.
Stres Oksidatif
Distress pada tubuh, misalnya akibat infeksi atau kerusakan jaringan, akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga ketersediaan oksigen dalam darah menurun. Tubuh melakukan kompensasi dengan menurunkan metabolisme oksidatif di otak. Akibatnya, terjadi disfungsi otak yang menimbulkan gejala delirium. Kondisi ini juga memicu terbentuknya oksigen dan nitrogen reaktif yang memperparah kerusakan jaringan otak. Kerusakan ini bersifat menetap dan menyebabkan komplikasi berupa penurunan kognitif permanen.
Perubahan Neurotransmitter
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmiter, terutama asetilkolin dan dopamine.
Asetilkolin
Kadar asetilkolin ditemukan menurun pada pasien delirium. Kadar ini kembali normal setelah pasien tidak lagi delirium. Selain itu, obat-obatan antikolinergik, seperti scopolamine, terbukti dapat menyebabkan delirium.
Dopamine
Dopamine dan asetilkolin memiliki hubungan resiprokal (berlawanan). Terjadi peningkatan kadar dopamine pada delirium. Pemberian obat golongan penghambat dopamin, seperti haloperidol, juga dapat mengurangi gejala delirium.
Neurotransmitter Lain
Serotonin meningkat pada ensefalopati hepatik dan delirium septik. Sementara itu, glutamat dalam kadar tinggi berhubungan dengan kejadian delirium. Pada beberapa kondisi, misalnya hipoksia dan gagal hati, terjadi peningkatan Ca2+ yang mengakibatkan pelepasan glutamat berlebihan yang merusak neuron.
Pada delirium, juga telah dilaporkan adanya perubahan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA) dan histamin. Perubahan dapat berupa peningkatan atau penurunan, tergantung penyebab delirium.
Neuroendokrin
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium merupakan reaksi stres akut akibat kadar kortisol yang tinggi. Hormon ini berhubungan dengan peningkatan sitokin proinflamasi di otak dan kerusakan neuron. Hipotesis neuroendokrin juga menjelaskan timbulnya delirium pada pasien yang mendapat glukokortikoid eksogen.
Disregulasi Diurnal
Gangguan siklus sirkadian dapat mempengaruhi kualitas dan fisiologi tidur. Kekurangan tidur dapat memicu munculnya delirium, defisit memori, dan psikosis.
Melatonin adalah hormon pengatur siklus sirkadian. Suatu studi menunjukkan adanya hubungan antara kadar melatonin yang rendah dan kejadian delirium. Studi lain mengatakan bahwa pemberian melatonin eksogen pada pasien rawat inap mengurangi insiden delirium.[1,3,11,19]
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono