Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Apakah Anda memiliki STR?
Alo, sebelum melanjutkan proses registrasi, silakan identifikasi akun Anda.
Ya, Daftar Sebagai Dokter
Belum punya STR? Daftar Sebagai Mahasiswa

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Diagnosis Delirium general_alomedika 2022-07-01T10:00:23+07:00 2022-07-01T10:00:23+07:00
Delirium
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Diagnosis Delirium

Oleh :
dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ
Share To Social Media:

Diagnosis delirium dibuat berdasarkan observasi pada pasien. Penegakan diagnosis delirium harus dimulai dengan identifikasi faktor penyebabnya dan penggalian gejala-gejala yang dialami.[4,12] Kriteria diagnosis yang digunakan dalam penegakan diagnosis adalah berdasarkan DSM 5 atau ICD 11.[8]

Anamnesis

Anamnesis lengkap sangat penting dalam penegakan diagnosis delirium. Pertama kali harus didapatkan informasi mengenai onset perubahan status mental, perjalanan gejala, dan apakah gejala-gejala delirium muncul bersamaan dengan gejala-gejala penyakit lain (misalnya dispneu atau dysuria). Tanyakan pula apakah delirium timbul bersamaan dengan penggunaan obat tertentu, baik penggunaan obat baru, peningkatan dosis, atau kombinasi obat. Gejala-gejala ini mungkin berfluktuasi sepanjang waktu.[4,7]

Gejala Menurut Caregiver

Ketika dilakukan wawancara, pasien mungkin sulit untuk diajak komunikasi. Karena itu sumber informasi terbaik adalah caregiver pasien. Tanyakan kepada caregiver apakah pasien terlihat bingung atau mempunyai konsentrasi yang buruk. Tanyakan apakah pasien mengalami agitasi atau gelisah; mengantuk atau mengalami fluktuasi kesadaran; serta kurang komunikatif atau merespon dengan lambat. Tanyakan juga apakah pasien tampak kesulitan mengikuti perintah atau mengalami perubahan mood.[4]

Penggunaan Obat-obatan

Riwayat konsumsi obat-obatan yang lengkap sangat penting pada delirium, hal ini termasuk konsumsi alkohol, penggunan obat-obat yang dijual bebas seperti diphenhydramine, dan chlorpheniramine, ataupun penggunaan suplemen.[3,7]

Selain itu diperlukan juga riwayat medis pasien, yang mencakup gangguan-gangguan medis yang mungkin menjadi faktor risiko atau faktor pemicu delirium.[3,4]

Instrumen Penilaian

Ada berbagai instrumen yang dikembangkan untuk mendeteksi delirium, misalnya Confusion Assessment Method (CAM), CAM-ICU, 4AT test, dan Nursing DElirium SCreening (Nu-DESC). CAM merupakan instrumen yang paling sering digunakan dengan sensitivitas 94–100% dan spesifisitas 90–95%. CAM tersedia dalam versi Bahasa Indonesia dan sudah diuji kesahihannya.[13]

Ada juga instrumen yang dikembangkan untuk mendeteksi delirium pada pasien stroke, yaitu PANDA yang terdiri dari 5 komponen:

  • Prior delirium (riwayat delirium)

  • Alkohol
  • Keparahan stroke
  • Dementia
  • Gangguan sensoris[15]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik lengkap dan neurologis harus dilakukan untuk mencari dan menyingkirkan kemungkinan etiologi gangguan fisik yang memicu delirium. Pemeriksaan fisik harus mencakup tanda vital, beserta pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen. Pemeriksaan neurologis harus mencakup evaluasi temuan neurologis fokal awitan baru yang menunjukkan kemungkinan etiologi intrakranial, misalnya stroke.[7]

Penampilan fisik pasien dengan delirium mungkin akan terlihat bingung atau pelupa, serta sulit berkonsentrasi atau memusatkan perhatian. Pasien dapat tampak agitasi atau hipoaktif, dan cenderung emosional.[4]

Diagnosis Banding

Diagnosis banding delirium adalah gangguan mental organik lainnya, seperti dementia, serta gangguan psikosis seperti schizophrenia.[4,5] Yang membedakan delirium dari gangguan-gangguan tersebut adalah onset yang relatif cepat, adanya tingkat kesadaran fluktuatif, dan disorientasi pada delirium. Gejala-gejala gangguan psikiatri lainnya umumnya relatif stabil dalam periode waktu tertentu. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa delirium dapat komorbid dengan kondisi-kondisi di atas.[7]

Dementia

Dementia merupakan salah satu faktor risiko delirium. Sebaliknya, delirium juga menjadi faktor risiko dan tanda mulai terjadinya dementia. Gejala yang saling tumpang tindih membuat keduanya sulit dibedakan. Selain itu, delirium dan dementia sering terjadi bersamaan pada pasien lansia.

Perbedaan mencolok keduanya adalah waktu munculnya gejala. Perubahan kesadaran dan kognitif pada delirium terjadi akut dalam beberapa hari. Sementara pada dementia, gejala terjadi hingga bertahun-tahun.

Status Epileptikus Nonkonvulsi

Status epileptikus nonkonvulsi adalah perubahan perilaku dan mental yang akut. Gejala yang sering muncul adalah gerakan involunter pada wajah, nistagmus, afasia, dan automatisasi (misalnya gerakan mengunyah). Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dapat membedakan status epileptikus nonkonvulsi dan delirium.

Depresi

Sekitar 42% pasien delirium hipoaktif terdiagnosis sebagai depresi. Pasien depresi kadang dapat menunjukkan gejala kognitif, namun kesadaran dan atensi masih normal.

Schizophrenia

Pada delirium dapat muncul gejala psikosis yang biasanya berupa halusinasi visual yang mendadak dan berfluktuasi. Sementara itu, pada schizophrenia, gejala timbul tidak secara akut, serta akan disertai gejala psikosis lain seperti waham.[4,5,7]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis, melainkan untuk mencari etiologi delirium. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sebaiknya dilakukan sesuai dengan indikasi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi ginjal, dan fungsi hepar. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi penyebab delirium seperti anemia, gagal hati ataupun gagal ginjal, serta gangguan elektrolit

Selain itu, sesuai dengan kecurigaan bisa juga dilakukan pemeriksaan urinalisis, kultur urine, rontgen toraks, dan EKG. Pemeriksaan tambahan lain yang mungkin bermanfaat pada kondisi tertentu mencakup pemeriksaan toksikologi darah dan urine, analisis gas darah bila terdapat hiperkapnea, pemeriksaan radiologis otak bila terdapat kecurigaan gangguan neurologi atau trauma, serta pungsi lumbal bila terdapat kecurigaan meningitis atau ensefalitis.[7] Pada delirium, pemeriksaan EEG bisa menunjukkan hasil penurunan konektivitas fungsional, perubahan arus informasi dua arah, dan perubahan topologi jaringan neural.[3]

Kriteria Diagnostik ICD 11

Kriteria diagnosis delirium berdasarkan ICD 11 adalah:

  • Adanya gangguan atensi, orientasi, dan kewaspadaan yang berkembang dengan cepat, dalam hitungan jam sampai hari, biasanya bermanifestasi sebagai konfusi atau gangguan neurokognitif yang signifikan dengan gejala-gejala yang bersifat transien. Gejala mungkin berfluktuasi, tergantung pada kondisi atau etiologi yang mendasari
  • Gangguan yang terjadi menunjukkan adanya perubahan dari fungsi individual dasar pasien
  • Delirium bisa jadi merupakan konsekuensi fisiologis langsung dari kondisi medis lain (selain gangguan mental), efek fisiologis dari penyalahgunaan zat atau obat, termasuk gejala putus zat, disebabkan oleh faktor etiologis multipel lainnya, atau faktor etiologi yang belum diketahui
  • Gejala-gejala yang muncul tidak bisa dijelaskan oleh adanya atau berkembangnya gangguan neurokognitif (misalnya gangguan amnestik, mild cognitive disorder, atau dementia) atau oleh gangguan mental lainnya (misalnya schizophrenia atau gangguan psikotik lainnya, gangguan mood, gangguan stress pasca trauma, gangguan disosiatif)
  • Gejala-gejala yang timbul tidak memenuhi kriteria untuk sindrom intoksikasi zat atau putus zat atau obat yang sudah dikenal, meskipun delirium bisa menjadi komplikasi dari sindrom intoksikasi atau putus zat[6]

Kriteria Diagnostik DSM-5

Kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM-5 adalah:

  1. Adanya gangguan atensi/perhatian (misalnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian) dan kesadaran/kewaspadaan (misalnya penurunan orientasi terhadap lingkungan)
  2. Gangguan tersebut berkembang dengan cepat (biasanya dalam hitungan jam sampai hari), yang menunjukkan adanya perubahan dari atensi dan kewaspadaan dasar (baseline), dan derajat keparahannya cenderung berfluktuasi sepanjang hari
  3. Bisa ditemukan adanya gangguan kognisi (misalnya defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, gangguan kemampuan visuospasial, atau persepsi)
  4. Gangguan pada kriteria A dan C tidak bisa dijelaskan oleh adanya gangguan neurokognitif lain yang sudah ada sebelumnya, yang sudah ditegakkan, atau yang sedang berkembang, dan tidak berkembang pada konteks penurunan tingkat kesadaran yang berat, misalnya keadaan koma
  5. Terdapat bukti berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa gejala-gejala yang timbul merupakan konsekuensi fisiologis langsung dari kondisi medis lainnya, intoksikasi zat, atau gejala putus zat (misalnya karena penyalahgunaan zat atau pemberian obat), atau paparan terhadap racun, atau akibat etiologi yang multipel[5]

 

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono

Referensi

3. Vlisides P, Avidan M. Recent Advances in Preventing and Managing Postoperative Delirium. F1000Res 2019;8:607.
4. Australian Commission on Safety and Quality in Health Care. Delirium Clinical Care Standard. 2021. https://www.safetyandquality.gov.au/sites/default/files/2021-09/delirium_clinical_care_standard_2021.pdf
5. APA. Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Arlington VA: American Psychiatric Publishing; 2013.
6. WHO. International Classification of Disease 11 for Mortality and Morbidity Statistic. 2019. https://icd.who.int/browse11/l-m/en
7. Marcantonio ER. Delirium in Hospitalized Older Adults. N Engl J Med 2017;377:1456–66.
8. Glynn K, McKenna F, Lally K, O’Donnell M, Grover S, Chakrabarti S, et al. How do delirium motor subtypes differ in phenomenology and contributory aetiology? a cross-sectional, multisite study of liaison psychiatry and palliative care patients. BMJ Open 2021;11:e041214.
12. Pérez-Ros P, Martínez-Arnau F. Delirium Assessment in Older People in Emergency Departments. A Literature Review. Diseases 2019;7:14.
13. Ocagli H, Bottigliengo D, Lorenzoni G, Azzolina D, Acar AS, Sorgato S, et al. A Machine Learning Approach for Investigating Delirium as a Multifactorial Syndrome. IJERPH 2021;18:7105.
14. Adiwinata R, Oktaliansah E, Maskoen TT. Angka Kejadian Delirium dan Faktor Risiko di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. jap 2016;4:36–41.
15. Nakamizo T, Kanda T, Kudo Y, Sugawara E, Hashimoto E, Okazaki A, et al. Development of a clinical score, PANDA, to predict delirium in stroke care unit. Journal of the Neurological Sciences 2020;415:116956.

Epidemiologi Delirium
Penatalaksanaan Delirium

Artikel Terkait

  • Aspek Farmakologis Penanganan Delirium Hiperaktif pada Penyakit Parkinson
    Aspek Farmakologis Penanganan Delirium Hiperaktif pada Penyakit Parkinson
  • Kontroversi Benzodiazepin sebagai Tata Laksana Delirium
    Kontroversi Benzodiazepin sebagai Tata Laksana Delirium
  • Penurunan Fungsi Kognitif Akibat Anestesi Pasca Operasi pada Geriatri
    Penurunan Fungsi Kognitif Akibat Anestesi Pasca Operasi pada Geriatri
  • Intervensi Nonfarmakologi untuk Mencegah Delirium
    Intervensi Nonfarmakologi untuk Mencegah Delirium
  • Pemanfaatan Antipsikotik pada Delirium Pasca Operasi
    Pemanfaatan Antipsikotik pada Delirium Pasca Operasi

Lebih Lanjut

Diskusi Terkait
dr. Uditia Alham Sakti, Sp.KJ
Dibuat 03 September 2024, 01:06
Delirium pada pasien dengan gangguan ginjal kronik
Oleh: dr. Uditia Alham Sakti, Sp.KJ
0 Balasan
Delirium adalah gangguan kesadaran dan fungsi kognitif yang berkembang secara cepat dan sering disebabkan oleh berbagai faktor medis atau lingkungan. Pada...
dr. Hudiyati Agustini
Dibalas 08 Agustus 2023, 09:29
Intervensi Nonfarmakologi untuk Mencegah Delirium - Artikel SKP Alomedika
Oleh: dr. Hudiyati Agustini
1 Balasan
ALO Dokter, Delirium adalah kondisi neurofisiologi akut yang sering ditemukan dalam setting rawat inap. Gangguan ini mempunyai onset akut dan cepat, serta...
dr.Tri Ratnawati
Dibuat 06 Agustus 2023, 19:17
Mnemonic "FAKTA" dalam delirium
Oleh: dr.Tri Ratnawati
0 Balasan
F= Fuktuatif--> gejala yang terjadi pada delirium bersifat naik turun atau fluktuatifA=Akut---> kondisi delirium terjadi secara akut K= Kondisi medis umum...

Lebih Lanjut

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Alomedika.com All Rights Reserved.