Pendahuluan Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) merupakan pertolongan pertama yang sangat penting dalam penanganan henti jantung mendadak. Henti jantung mendadak masih menjadi penyebab kematian terbanyak di dunia, yaitu sekitar 300.000 kasus/tahun di Amerika Serikat. Survival rate <10% pada out of hospital cardiac arrest (OHCA) dan <20% pada in hospital cardiac arrest (IHCA).[1]
Henti jantung umumnya karena penyakit struktur jantung, di mana kasus terbanyak adalah penyakit jantung koroner (70%). Penyebab lain di antaranya gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, kelainan arteri koroner kongenital, displasia aritmogenik ventrikel kanan, kardiomiopati obstruktif, dan tamponade jantung. Selain itu, penyebab nonstruktur jantung yang dapat menyebabkan henti jantung seperti sindrom Brugada, sindrom Wolff-Parkinson-White, dan sindrom long QT congenital.[2-4]
Etiologi non-kardiak yang dapat menyebabkan henti jantung yaitu perdarahan intrakranial, emboli paru, pneumotoraks, henti napas, toksisitas, overdosis obat, ketidakseimbangan elektrolit, sepsis, hipotermi, dan trauma.[2-4]
Salah satu cara untuk menyelamatkan nyawa pasien henti jantung adalah bantuan hidup dasar (basic life saving / BLS). Bantuan hidup dasar terdiri dari pengenalan dini terhadap henti jantung dan aktivasi sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), resusitasi jantung paru (RJP), dan defibrilasi menggunakan automated external defibrillator (AED).[1]
RJP adalah serangkaian tindakan penyelamatan nyawa, untuk meningkatkan kemungkinan seseorang hidup setelah mengalami henti jantung. RJP terdiri dari komponen kompresi dada dan ventilasi. Pada satu dekade terakhir, pembahasan tentang pentingnya kualitas RJP telah banyak dilakukan.[1]