Teknik Resusitasi Jantung Paru
Prinsip dasar teknik resusitasi jantung paru (RJP) adalah kompresi jantung dari luar dan bantuan napas sesegera mungkin, dengan interupsi seminimal mungkin. Pada penolong yang tidak terlatih, cukup lakukan kompresi tanpa pemberian napas buatan.[2-4]
Basic Life Saving (BLS) dan Advanced Cardiac Life Support (ACLS)
Bantuan hidup dasar (basic life saving) terdiri dari pengenalan dini terhadap henti jantung dan aktivasi sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), RJP segera, dan defibrilasi segera menggunakan automated external defibrillator (AED).[1]
BLS berdasarkan guideline American Heart Association (AHA) tahun 2020, terdiri atas 3 komponen, yaitu kompresi dada (circulation), jalan napas (airway), dan pernapasan (breathing) atau disingkat menjadi C-A-B.[2,3]
Sedangkan pada bantuan hidup tingkat lanjut (advanced cardiac life support), resusitasi jantung paru dilakukan menggunakan bantuan obat-obatan.[2,3]
Persiapan Pasien
RJP dilakukan segera dan tidak membutuhkan persiapan khusus, termasuk obat anestesi. Hal yang penting saat persiapan adalah memastikan bahwa lingkungan aman untuk melakukan RJP, tidak hanya untuk pasien tapi juga bagi penolong.[2-4]
Setelah memastikan lingkungan aman, penolong harus memastikan henti jantung pasien dengan pemeriksaan kesadaran, nadi, dan napas spontan.[2-4]
Pemeriksaan Kesadaran
Pemeriksaan kesadaran dapat menggunakan metode AVPU (alert, voice responsive, pain responsive, unresponsive). Pasien dikatakan alert apabila sadar penuh, jika tidak ada respon, berikan respon suara (voice), lalu beri rangsang nyeri (pain). Jika tidak ada respon sama sekali pasien dikategorikan sebagai unresponsive.[2-4]
Pemeriksaan Nadi
Pemeriksaan nadi dengan cepat dilakukan dengan meraba denyut arteri karotis atau arteri radialis. Penolong tidak boleh memeriksa denyut nadi >10 detik. Jika nadi tidak terasa dalam waktu tersebut, penyelamat harus memulai kompresi dada.[2,4]
Pemeriksaan Pernapasan
Pemeriksaan frekuensi dan pola pernapasan dilakukan dengan metode look-listen-feel. Metode ini dilakukan dengan melihat gerakan dada pasien, sambil mendekatkan telinga penolong ke hidung dan mulut pasien untuk mendengar dan merasakan hembusan udara dari sistem pernapasan.[2,4]
Aktifkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Saat menemukan orang dengan tanda henti jantung, yaitu tidak berespon, tidak teraba denyut nadi, dan tidak bernapas atau pola pernapasan abnormal, maka penolong harus segera memanggil bantuan untuk mengaktifkan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT).[1,2-4]
Peralatan
RJP dapat dilakukan tanpa peralatan khusus. Jika ada, peralatan yang diperlukan adalah alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan dan masker. Namun, RJP tetap harus dilakukan segera walaupun APD tidak ada. Belum ditemukan hubungan yang signifikan mengenai penularan penyakit melalui RJP.[1,2]
Alat tambahan yang dibutuhkan yaitu monitor elektronik yang dapat memberikan umpan balik terkait kompresi yang sedang dilakukan, dan defibrillator untuk memberikan kejut listrik ke jantung pasien. Jika tersedia, dapat digunakan alat kompresi dada mekanik. Pada sebuah studi meta analisis, ditemukan bahwa alat kompresi dada mekanik lebih superior dalam mengembalikan sirkulasi spontan daripada kompresi manual.[1,2]
Posisi Pasien
Posisi pasien terbaik untuk RJP adalah terlentang (supinasi) pada permukaan yang keras, sehingga kompresi jantung di area sternum menjadi efektif. Posisi penolong yang melakukan kompresi dada harus lebih tinggi daripada pasien, untuk mencapai regangan lengan yang cukup sehingga dapat menggunakan berat badannya untuk mengkompresi dada. Jika terdapat 2 orang, penolong yang lain berada di sebelah kepala pasien untuk melakukan bantuan napas.[1,2]
Di rumah sakit, posisi yang sesuai dapat diperoleh dengan menurunkan tempat tidur pasien atau petugas kesehatan menggunakan tangga kecil. Sedangkan di luar rumah sakit, posisi pasien berbaring di lantai dan penolong berlutut di samping pasien.[1,2]
Prosedur Bantuan Hidup Dasar
Prosedur standar RJP berdasarkan pedoman AHA tahun 2020, terdiri dari kompresi dada (circulation), jalan napas (airway), dan pernapasan (breathing), yang disingkat menjadi C-A-B. RJP harus segera dilakukan dalam waktu <2 menit sejak pasien henti jantung. Angka survival berkurang 10‒15% setiap menitnya jika pasien tidak segera ditolong dengan resusitasi jantung paru.[1-3]
RJP pada neonatus dan RJP pada bayi dan anak memiliki prosedur yang berbeda dengan pasien dewasa.[5,6]
Prosedur Circulation / Kompresi Dada
Penolong meletakkan tumit salah satu tangan di atas sternum pasien, sementara tangan lainnya di atas tangan pertama dengan jari-jari yang bertautan. Siku diekstensikan dan badan seperti dijatuhkan ke pasien.[2-5]
Syarat kompresi dada yang baik adalah:
- Kompresi diulang sebanyak 30 kali, dengan kecepatan 100‒120 kali/menit
- Kompresi dilakukan dengan cepat dan kuat, dengan kedalaman minimal 5 cm dan maksimal 6 cm
- Pastikan dada recoilsempurna, yaitu kembali ke posisi awal sebelum ditekan kembali
- Rasio kompresi:ventilasi dengan 1 orang penolong adalah 30:2, sedangkan dengan 2 penolong adalah 15:2
- Satu kali rasio kompresi:ventilasi disebut 1 siklus RJP. Untuk mencegah penurunan kualitas kompresi dada akibat kelelahan, penolong diganti setiap 5 kali siklus
- Kompresi diizinkan untuk berhenti sementara (<10 detik), yaitu saat pemberian 2 kali ventilasi
- Fase jeda kompresi dada sebelum dan sesudah dilakukan shockharus seminimal mungkin[2-5]
Pada resusitasi jantung paru yang dilakukan tanpa ventilasi (hanya kompresi dada), kompresi dilakukan terus-menerus sampai petugas kesehatan profesional datang. Penggunaan alat kompresi dada mekanik hanya dianjurkan jika tidak ada petugas kesehatan yang bisa melakukan kompresi dada dengan baik.[1-4]
Prosedur Airway / Jalan Napas
Penolong mengamankan jalan napas dengan manuver head-tilt dan chin-lift. Selain itu, pastikan tidak ada sumbatan jalan napas dengan melihat apakah terdapat benda asing yang menyumbat. Penggunaan oropharyngeal airway atau selang intubasi dapat membantu mengamankan jalan napas.[2,3]
Prosedur Breathing / Pernapasan
Saat ini, pemberian napas buatan mulut ke mulut pada pasien dewasa sudah tidak dianjurkan. Pemberian ventilasi dilakukan menggunakan bag-valve-mask (BVM), jika tidak ada maka penolong cukup melakukan kompresi dada saja.[2,3]
Prosedur bantuan napas yang baik adalah:
- Pastikan tidak ada celah antara masker BVM dengan wajah pasien
Bagdiremas dengan satu tangan selama +1 detik, untuk memasukkan sekitar 500 mL udara ke paru-paru pasien
- Ventilasi dilakukan tidak lebih dari 8‒10 napas/menit, untuk mencegah pasien mengalami hiperventilasi
- Rasio kompresi:ventilasi dengan 1 orang penolong adalah 30:2, sedangkan dengan 2 penolong adalah 15:2.
- Pada pasien yang terintubasi, ventilasi diberikan kontinyu dengan kecepatan 1 kali setiap 6 detik, atau 10 kali/menit) selama kompresi dada dilakukan[1-4]
Follow Up Saat Resusitasi
Pemantauan saat tindakan RJP adalah memastikan kompresi dilakukan dengan baik, yaitu:
- Kecepatan 100‒120 kali/menit
- Kedalaman minimal 5 cm dan maksimal 6 cm
- Pastikan dada recoilsempurna[2-5]
Banyak studi yang menyimpulkan bahwa survival rate akan lebih tinggi jika kompresi lebih banyak. Namun, kompresi yang terlalu cepat (>140 kali/menit) berhubungan dengan kedalaman kompresi yang tidak adekuat.[10]
Kedalaman kompresi yang adekuat akan meningkatkan tekanan intratorakal dan jantung, sehingga menghasilkan aliran darah ke jantung dan otak. Kompresi dada yang terlalu dalam berhubungan dengan cedera tulang dada yang tidak mengancam nyawa.[2,3]
Rekoil penuh diperlukan untuk menjamin aliran darah balik vena, tekanan perfusi koroner, dan aliran darah miokardium. Penolong sebaiknya tidak bertumpu di atas dada pasien di antara kompresi, agar rekoil dada tetap penuh.[2,3]
Follow Up Setelah Resusitasi
Pasien dengan sirkulasi spontan kembali perlu mendapat perawatan khusus, agar tidak kembali mengalami henti jantung. Terlepas dari apapun penyebab henti jantung, kerusakan banyak organ dapat terjadi akibat hipoksemia, iskemi, dan reperfusi yang terjadi selama henti jantung dan resusitasi.[3,10]
Penanganan pasca RJP mencakup identifikasi dan tata laksana penyebab henti jantung, dikombinasikan dengan penilaian kerusakan organ untuk mengurangi dampak buruk.[3,10]
Ventilasi dan Oksigenasi
Pasien yang berhasil melewati fase henti jantung harus segera mendapat ventilasi dan oksigenasi yang cukup, yaitu:
- Saturasi oksigen dipertahankan ≥94%
- Kecepatan terapi oksigen awal 10−12 kali/menit
- Kecepatan kemudian dititrasi hingga mencapai target PET CO235−45 mmHg
- Hiperventilasi harus dihindari, karena dapat meningkatkan tekanan intratorakal yang berakibat menurunkan curah jantung
Terapi Cairan
Terapi cairan diberikan untuk menangani kondisi hipotensi. Terapi dengan cairan normal salin atau ringer laktat sebanyak 10‒20 mL/kgBB loading.[2]
Terapi Vasopresor
Jika tekanan darah tidak naik dengan terapi cairan, obat-obatan vasopresor dapat digunakan, seperti epinefrin, dopamin, atau norepinefrin. Dosis pemberian sebagai berikut:
- Epinefrin: 0,1−0,5 µg/kgBB/menit
- Dopamin: 5−10 µg/kgBB/menit
- Norepinefrin: 0,1−0,5 µg/kgBB/menit [3,10]
Diberikan melalui infus intravena selama 4−6 jam, sampai akses vena sentral terpasang. Perlu diperhatikan bahwa infus vasopresor harus melalui jalur vena yang besar (fossa cubiti), tidak boleh melalui vena kecil seperti di punggung tangan.[3,10]
Targeted Temperature Management (TTM)
TTM adalah mencapai 32−36°C dalam waktu 24 jam. Kerusakan otak dan instabilitas kardiovaskular adalah faktor utama penentu survival setelah henti jantung. TTM adalah satu-satunya intervensi yang terbukti dapat membantu pemulihan fungsi neurologis akibat fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel.[3,10]
Mencari Penyebab Henti Jantung
Setelah RJP selesai, dokter harus mencari penyebab henti jantung agar bisa ditangani. Salah satunya adalah dengan melakukan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) 12 lead. Penyebab yang harus ditangani adalah: hipovolemia, hipoksia, asidosis, hipokalemia, hiperkalemia, hipotermi, tension pneumothorax, tamponade jantung, keracunan, trombosis paru, dan trombosis koroner.[3,10]
Jika pasien dicurigai mengalami infark miokard, protokol lokal untuk tata laksana infark miokard harus dijalankan.[3,10]
Follow Up Sebelum Keluar Rumah Sakit
Penyintas henti jantung sebelum keluar dari rumah sakit, direkomendasikan untuk menjalani penilaian rehabilitasi multimodal, dan pengobatan gangguan fisik, neurologis, kardiopulmonal, dan kognitif. Pasien juga harus menerima perencanaan pemulangan yang komprehensif dan multidisiplin.
Lengkap dengan rekomendasi perawatan medis, rehabilitasi, dan rencana kembali dalam aktivitas kerja atau sosial. Oleh karena itu, kecemasan, depresi, stress pasca trauma, dan kelelahan pada penyintas henti jantung perlu dinilai secara terstruktur.[3,10]